Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
Manusia adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan yang di berikan banyak kelebihan dari makhluk yang lain, selain karena keistimewaannya manusia juga mahkluk yang unik dan utuh. Manusia sebagai makhluk filosofis memang tidak ada habis-habisnya di bahas oleh para pemikir dari zaman Yunani sampai dengan sekarang. Kerumitan organisasi tubuhnya beserta substansi non material yang imanen dalam dirinya yang sulit di terjemahkan oleh nalar menjadi penegas bahwa mendeskripsikan manusia bukanlah perkara mudah. Tidaklah salah ketika manusia diposisikan sebagai makhluk misterius. Namun pada posisi itu pula manusia menjadi kajian yang menarik untuk dibahas dan hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji tentang manusia, karya dan dampak karyanyaterhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya[1]. Dalam pengertian secara bahasa, manusia disebut Insan, di mana dalam bahasa arabnya berasal dari kata Nasiya yang bearti lupa, dan jika dilihat dari kata dasarnya, al-Uns berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan kata jinak dipakai karena mempunyai arti di mana manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekitarnya.[2]
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, manusia bukanlah kerangka dan wujud
yang nyata saja, akan
tetapi lebih dari itu,
manusia adalah ruh samawi yang
bersemanyam di tubuh yang berasal dari tanah, manusia tidak
lain adalah unsur inmaterial spiritual yang disimpan oleh Allah SWT pada
tubuh manusia, maka dengan
unsur itu manusia
mampu
berfikir, bernalar, merasa dan mengetahui, sebagaimana dengan unsur itu manusia mengatur bumi dan memperhatikan kerajaan di langit.[3]
Murtadha
Muthahhari
tentang manusia lebih menitik
beratkan sisi positif
dan negatif
pada manusia dan lebih menjelaskan sifat dasar yang ada pada manusia. Manusia memiliki
banyak kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan makhluk lain.
Manusia
memiliki ciri khas yang secara prinsip berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang
membedakannya dari hewan adalah pada iman, ilmu dan terbentuk dari kumpulan
terpadu dari apa yang
disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada makhluk yang lain[4].
Pembahasan mengenai manusia tidak pernah habis, dalam
tafsir al-Maraghi perspektif
manusia ditinjau dari kata Al-Insan maupun Basyar sama-sama mewakili proses penciptaan dari tanah
akan tetapi kata Basyar lebih nampak
ke fisik. Adapun dalam tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab menjabarkan kedua
kata tersebut dengan sangat detail. Kata Al-Insan menampung
perbedaan-perbedaan dalam bidang keruhanian, keimanan dan akhlak. Sedangkan
kata Basyar memaknai manusia dari sisi lahiriah yang tampak dari manusia
adalah kulitnya bukan seperti binatang yang terihat dengan jelas bulunya. Kata Basyar
penekanannya pada sosok yang tampak pada manusia pada umumnya dan tidak berbeda
antara manusia satu dengan yang lainnya, misalnya jumlah kelengkapan anggota
tubuh, dorongan syahwat rasa takut dan cemas dll. Jadi terlihat jelas
penjelasan M. Quraish Shihab atas kedua kata tersebut.[5].
Selain
dari dua kata di atas ada satu kata lagi dalam al-Qur’an yang merujuk pada kata
manusia yaitu kata An-Nas. Manusia sebagai An-Nas adalah
makhluk sosial, ketika memahami konsep An-Nas konteks kekinian maka akan
merujuk kepada komunitas manusia, di zaman sekarang sudah tidak ada batasan lagi dalam pergaulan antar golongan
atau jenis manusia, bagaimana antara orang Erofa dan Asia, Amerika dan Afrika
sudah bisa berbaur dan bahkan sudah banyak yang melakukan perkawinan dan
mempunyai keturunan, baik kerena suatu kepentingan ataupun berdasarkan rasa
suka. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia membutuhkan orang lain kerena
manusia dari dulu dan bahkan sekarang semakin terlihat kontras perbedaan satu
sama lain, ada yang kaya berlebihan dan ada yang sangat miskin, ada yang
memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda dengan yang lain. Dengan demikian
mereka tetap saling membutuhkan.
Kata An-Nas pada umumnya
dihubungkan dengan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 13,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal[6]”
Terkhusus
pada ayat ini akan ditekankan pada kata ta’arofuu yang diambil dari kata
‘arafa yang berarti mengenal. Kata yang digunakan ayat ini mengandung
makna timbal baik. Dengan demikian, ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan
satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi
manfaat. Kerena itu, ayat ini menekankan untuk saling mengenal. Perkenalan itu
dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna
meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt[7].
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa
manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita,
kemudian berkembang
menjadi suku dan bangsa,
untuk saling kenal-mengenal. Sebagai makhluk sosial, manusia
secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak
dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga)
hingga ke yang paling besar dan kompleks,
yaitu bangsa dan umat manusia.
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya
adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah
seorang dari putrinya dengan Abu Hind, tetapi mereka tidak mau dengan alasan
tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah satu
bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh al-Qur’an dengan menegaskan
bahwa kemuliaan di sisi Allah Swt bukanlah kerena keturunan atau garis
kebangsawanan tetapi kerena ketaqwaan. Asbabun nuzul ayat ini jelas menegaskan
kesatuan asal-usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan
manusia.[8]
Menurut
Muthohari, manusia memiliki tahap kehidupan sosial, dimana meski terjadi kemajuan dalam teknik dan teknologi, namun
manusia mengalami kemuduran dari segi spiritual dan moral.[9] Manusia
dalam perspektif an-Nas yaitu sebagai
makhluk sosial sampai kapanpun tidak akan pernah habis untuk dikaji, khususnya
dalam kehidupan modern yang serba canggih, lewat media sosial dan seperangkat
android yang canggih dimana tidak ada batasan lagi bagi manusia untuk bergaul
dari berbagai kalangan dan komunitas, namun persoalan yang muncul saat ini
apakah memang benar manusia sebagai makhluk sosial saat ini benar-benar peduli
dengan lingkungannya atau hanya sekedar ikut trend saja. Sebagai contoh ada
seseorang sedekah di foto dan di upload lewat media sosial, setelah itu
selesai, kemudian membentuk komunitas grup di medsos alasannya untuk menyambung
silaturahim namun silaturahimnya tidak jalan yang ada jadi ajang pamer.
Kemudian banyak teman di media sosial hingga jutaan namun nama tetangga saja
tidak tahu.
Melihat fenomena di atas dengan berbagai problem yang nampak saat ini dengan kemajuan teknelogi yang mempermudah jalannya akses bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan bersosisalisasi dengan mudah, namun yang terjadi adalah sebaliknya manusia tidak pernah benar-benar hidup bermasyarakat dan saling peduli satu sama lain.
Juliawati (2018, Esensi Manusia Dalam Perspektif Murtadha Muthahhari,
UIN Ar-Raniri Banda Aceh.
Dalam Islam
manusia di pandang sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki
unsur dan jiwa yang berakal, bernafsu, dan bertanggung jawab kepada Allah SWT. Sedangkan dalam pandangan filsafat manusia memiliki posisi yang
sangat urgen karena manusia yang mampu berpikir dengan akal yang bisa membedakan antara baik dan buruk. Selain itu pula, manusia mampu
mengatur
dan
mengelola segala sesuatu yang
ada
dialam. Menurut Murtdha
Muthahhari manusia adalah makhluk
evolusi terakhir maka manusia memiliki
karakteristik yang khas yang membedakan dengan makhluk yang
lain
di dalam dunia
ini. Ia mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kehewanan dan
kemanusiaan, oleh karena itulah baginya karakteristik yang
khas
dari manusia adalah
iman
dan ilmu.Iman dan ilmu sangat berkaitan, pemisahan keduanya akan
menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk
memuaskan kerakusan,
kepongohan,ambisi, penindasan dan lain-lain. Muthahhari juga menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan antara iman
dan
ilmu (sains).[1]
Burhanudin. Deskripsi
Al-Insan. Dalam jurnal tersebut dijelaskan
mengenai makna kata Al-Insan dalam tinjuau bahasa, mengkaji sinonim dari
kata tersebut dan bagaimana pemaknaan dalam al-Qur’an. Dan kesimpulan akhir
yang didapat adalah bahwa Al-Insan adalah makhluk yang berfikir dan
punya daya nalar, makhluk yang berilmu, beradab dan bisa bersosialisasi.[2]
Gafar (2016), Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an, IAIN
Sultan Qaimuddin Kendari. Semakin mendalami manusia maka semakin tidak tahu karena
begitu banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam
mengkajinya, sehingga wajar jika muncul sebuah pernyataan
(terlepas dari perdebatan apakah hadis atau perkataan sahabat)
bahwa orang yang mengetahui akan dirinya berarti dia telah mengetahui Tuhannya. Betapa membingungkannya manusia, hingga bermunculan
berbagai teori tentangnya. Di antara teori tersebut
adalah teori evolusi
yang ditawarkan
Charles Darwin yang
diyakini benar
oleh sekelompok orang. Teori tersebut
merupakan hasil
penelitian yang membutuhkan pembuktian keabsahan teori tersebut. Teori evolusi yang menyatakan
bahwa
spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain,
namun ketika dibandingkan makhluk
hidup dengan fosil-fosil
mereka, ditemukan bahwa mereka tidak berubah
setelah jutaan tahun lamanya.[3]
[1] Juliawati (2018, Esensi Manusia Dalam Perspektif Murtadha Muthahhari, UIN
Ar-Raniri Banda Aceh
[2] Dedeng Rosidin
dan Endang Burhanudin, Deskripsi Al-Insan, UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, 2007
[3] Gafar (2016), Manusia
Dalam Perspektif Al-Qur’an, IAIN Sultan Qaimuddin Kendari
[1] Soenarjo,dkk, al –Qur’an dan terjemahannya, (Semarang:
Toha Putra, 1989), hlm, 13.
[2] Musa Asy‟ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir,
(Yogyakarta: Lesfi, 1999), hlm, 214
[3]Abdul
Latif
Faqih, Rahasia
Segitiga:
Menyempurnakan
hidup
dengan Surah
An-Nas (Jakarta: Hikmah, 2008),
hlm, 18
[4] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya,
(Jakarta: Lentera, 2002
), hlm, 214
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta, Lentera hati , 2012, Cet Ke-5, Vol-6, hlm, 456
[6] Lihat QS. Al-Hujurat: 13
[7] M.
Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah,…,……. Vol-12, hlm, 617
[8] M.
Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah,…,…….. Vol-12, hlm, 616
[9] Purnomo, Konsep Manusia Dalam Pemikiran
Murthadha Muthahharidan Relevansinya Denganpembangunan Masyarakat
Indonesi, UIN Raden Intan Lampung, 2018, hlm, 110