Kamis, 22 September 2022

Manusia Dalam Perspektif Al-Qur'an

 Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si

Manusia adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan yang di berikan banyak kelebihan dari makhluk yang lain, selain karena keistimewaannya manusia juga mahkluk yang unik dan utuh. Manusia sebagai makhluk filosofis memang tidak ada habis-habisnya di bahas oleh para pemikir dari zaman Yunani sampai dengan sekarang. Kerumitan organisasi tubuhnya beserta substansi non material yang imanen dalam dirinya yang sulit di terjemahkan oleh nalar menjadi penegas bahwa mendeskripsikan manusia bukanlah perkara mudah. Tidaklah salah ketika manusia diposisikan sebagai makhluk misterius. Namun pada posisi itu pula manusia menjadi kajian yang menarik untuk dibahas dan hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji tentang manusia, karya dan dampak karyanyaterhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya[1]. Dalam  pengertiasecara  bahasamanusia  disebut  Insan,  di  mana  dalam bahasa arabnya berasal dari kata Nasiya yang bearti lupa, dan jika dilihat dari kata dasarnya, al-Uns berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan kata jinak dipakai karena mempunyai arti di mana manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekitarnya.[2]

Menurut Yusuf Al-Qardhawi, manusia bukanlah kerangka dan wujud yang nyata saja, akan tetapi lebih dari itu, manusia adalah ruh samawi yang bersemanyam di tubuh yang berasal dari tanah, manusia tidak lain adalah unsur inmaterial spiritual yang disimpan oleh Allah SWT pada  tubuh  manusia,  maka  dengan  unsur  itu  manusia  mampu  berfikir,  bernalar, merasa dan mengetahui, sebagaimana dengan unsur itu manusia mengatur bumi dan memperhatikan kerajaan di langit.[3] 

Murtadha Muthahhari  tentang manusia  lebih  menitik  beratkan  sisi  positif  dan  negatif  pada manusia dan lebih menjelaskan sifat dasar yang ada pada manusia. Manusia memiliki banyak kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan makhluk lain. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsip berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan adalah pada iman, ilmu dan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada makhluk yang lain[4].

Pembahasan mengenai manusia tidak pernah habis, dalam tafsir al-Maraghi perspektif manusia ditinjau dari kata Al-Insan maupun Basyar sama-sama mewakili proses penciptaan dari tanah akan tetapi kata Basyar lebih nampak ke fisik. Adapun dalam tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab menjabarkan kedua kata tersebut dengan sangat detail. Kata Al-Insan menampung perbedaan-perbedaan dalam bidang keruhanian, keimanan dan akhlak. Sedangkan kata Basyar memaknai manusia dari sisi lahiriah yang tampak dari manusia adalah kulitnya bukan seperti binatang yang terihat dengan jelas bulunya. Kata Basyar penekanannya pada sosok yang tampak pada manusia pada umumnya dan tidak berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya, misalnya jumlah kelengkapan anggota tubuh, dorongan syahwat rasa takut dan cemas dll. Jadi terlihat jelas penjelasan M. Quraish Shihab atas kedua kata tersebut.[5].

            Selain dari dua kata di atas ada satu kata lagi dalam al-Qur’an yang merujuk pada kata manusia yaitu kata An-Nas. Manusia sebagai An-Nas adalah makhluk sosial, ketika memahami konsep An-Nas konteks kekinian maka akan merujuk kepada komunitas manusia, di zaman sekarang sudah tidak ada batasan lagi dalam pergaulan antar golongan atau jenis manusia, bagaimana antara orang Erofa dan Asia, Amerika dan Afrika sudah bisa berbaur dan bahkan sudah banyak yang melakukan perkawinan dan mempunyai keturunan, baik kerena suatu kepentingan ataupun berdasarkan rasa suka. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia membutuhkan orang lain kerena manusia dari dulu dan bahkan sekarang semakin terlihat kontras perbedaan satu sama lain, ada yang kaya berlebihan dan ada yang sangat miskin, ada yang memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda dengan yang lain. Dengan demikian mereka tetap saling membutuhkan.

Kata An-Nas pada umumnya   dihubungkan   dengan   fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam QS. Al-Hujurat: 13,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

 

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal[6]

            Terkhusus pada ayat ini akan ditekankan pada kata ta’arofuu yang diambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. Kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal baik. Dengan demikian, ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Kerena itu, ayat ini menekankan untuk saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt[7].  

Ayat di atas juga menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal-mengenal. Sebagai makhluk sosial, manusia secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga) hingga ke yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang dari putrinya dengan Abu Hind, tetapi mereka tidak mau dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah satu bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah Swt bukanlah kerena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi kerena ketaqwaan. Asbabun nuzul ayat ini jelas menegaskan kesatuan asal-usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia.[8]

Menurut Muthohari, manusia memiliki tahap kehidupan sosial, dimana meski terjadi  kemajuan dalam teknik dan teknologi, namun manusia mengalami kemuduran dari segi spiritual dan moral.[9] Manusia dalam perspektif an-Nas yaitu sebagai makhluk sosial sampai kapanpun tidak akan pernah habis untuk dikaji, khususnya dalam kehidupan modern yang serba canggih, lewat media sosial dan seperangkat android yang canggih dimana tidak ada batasan lagi bagi manusia untuk bergaul dari berbagai kalangan dan komunitas, namun persoalan yang muncul saat ini apakah memang benar manusia sebagai makhluk sosial saat ini benar-benar peduli dengan lingkungannya atau hanya sekedar ikut trend saja. Sebagai contoh ada seseorang sedekah di foto dan di upload lewat media sosial, setelah itu selesai, kemudian membentuk komunitas grup di medsos alasannya untuk menyambung silaturahim namun silaturahimnya tidak jalan yang ada jadi ajang pamer. Kemudian banyak teman di media sosial hingga jutaan namun nama tetangga saja tidak tahu.

Melihat fenomena di atas dengan berbagai problem yang nampak saat ini dengan kemajuan teknelogi yang mempermudah jalannya akses bagi manusia untuk hidup bermasyarakat dan bersosisalisasi dengan mudah, namun yang terjadi adalah sebaliknya manusia tidak pernah benar-benar hidup bermasyarakat  dan saling peduli satu sama lain. 

Juliawati (2018, Esensi Manusia Dalam Perspektif Murtadha Muthahhari, UIN Ar-Raniri Banda Aceh.  Dalam Islam  manusia  di  pandang  sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki   unsur dan jiwa yang berakal, bernafsu,  dan bertanggung jawab kepada Allah SWT. Sedangkan dalam pandangan filsafat manusia memiliki posisi yang sangat urgen karena manusia yang mampu berpikir dengan akal yang bisa  membedakaantara  baidan burukSelaiitu  pulamanusia  mampu mengatur   dan mengelola segala sesuatu yang ada dialam. Menurut Murtdha Muthahhari manusia adalah makhluk evolusi terakhir maka manusia memiliki karakteristik yang khas yang membedakan dengan makhluk yang lain di dalam dunia ini. Ia mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kehewanan dan kemanusiaan, oleh karena itulah baginya karakteristik yang khas dari manusia adalah iman   dan   ilmu.Iman   dan   ilmu   sanga berkaitan,   pemisahan   keduany akan menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan  kerakusan,  kepongohan,ambisi,  penindasan  dalain-lain.  Muthahhari juga menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan antara iman dan ilmu (sains).[1]

 Burhanudin. Deskripsi Al-Insan. Dalam jurnal tersebut dijelaskan mengenai makna kata Al-Insan dalam tinjuau bahasa, mengkaji sinonim dari kata tersebut dan bagaimana pemaknaan dalam al-Qur’an. Dan kesimpulan akhir yang didapat adalah bahwa Al-Insan adalah makhluk yang berfikir dan punya daya nalar, makhluk yang berilmu, beradab dan bisa bersosialisasi.[2]

Gafar (2016), Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an, IAIN Sultan Qaimuddin Kendari. Semakin mendalami manusia maka semakin tidak tahu karena begitu banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam mengkajinya, sehingga wajar jika muncul sebuah pernyataan (terlepas dari perdebatan apakah hadis atau perkataan sahabat) bahwa orang yang mengetahui akan dirinya berarti dia telah mengetahui Tuhannya. Betapa membingungkannya manusia, hingga bermunculan berbagai teori tentangnya. Di antara teori tersebut adalah teori evolusi  yang  ditawarkan  Charles  Darwin  yang  diyakini  benar oleh sekelompok orang. Teori tersebut merupakan hasil penelitian yang membutuhkan pembuktian keabsahan teori tersebut Teori    evolus yang   menyatakan   bahwa   spesies makhluk hidup terus-menerus berevolusi menjadi spesies lain, namun ketika dibandingkan makhluk hidup dengan fosil-fosil mereka, ditemukan bahwa mereka tidak berubah setelah jutaan tahun lamanya.[3]



[1] Juliawati (2018, Esensi Manusia Dalam Perspektif Murtadha Muthahhari, UIN Ar-Raniri Banda Aceh

[2] Dedeng Rosidin dan Endang Burhanudin, Deskripsi Al-Insan,  UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, 2007

[3] Gafar (2016), Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an, IAIN Sultan Qaimuddin Kendari


[1] Soenarjo,dkk, al –Quran dan terjemahannya, (Semarang:  Toha Putra, 1989), hlm, 13.

[2] Musa Asyari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (Yogyakarta: Lesfi, 1999), hlm, 214

[3]Abdul  Latif  Faqih,  Rahasia  Segitiga:  Menyempurnakan  hidup  dengan  Surah  An-Nas (Jakarta: Hikmah, 2008), hlm, 18

[4] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya, (Jakarta: Lentera, 2002 ), hlm, 214

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera hati , 2012, Cet Ke-5, Vol-6, hlm, 456

[6] Lihat QS. Al-Hujurat: 13

[7] M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah,…,……. Vol-12, hlm, 617

[8] M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah,…,…….. Vol-12, hlm, 616

[9] Purnomo, Konsep Manusia Dalam Pemikiran Murthadha Muthahharidan Relevansinya Denganpembangunan Masyarakat Indonesi, UIN Raden Intan Lampung, 2018, hlm, 110