A. Latar
Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya dilahirkan di dunia masih
bersifat suci, dalam keadaan kosong[1]. Manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Kuasa, semenjak kehadirannya di dunia telah dibekali Allah Swt.
dengan potensi-potensi edukatif. Potensi tersebut, yaitu pendengaran,
penglihatan, dan akal (hati). Dengan potensi tersebut manusia dapat
mengembangkan dirinya. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat
78
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم
مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ
وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa seorang manusia yang terlahir ke dunia
pada dasarnya tidak memiliki ilmu pengetahuan sedikit pun tentang sesuatu namun
bersamaan dengan itu pula, Allah Swt Yang Maha Pengasih dan Penyayang telah
menganugerahkan kepada sang bayi tersebut dengan potensi-potensi edukatif,
sehingga dengan potensi-potensi yang ada manusia dapat berkembang dan
mengembangkan dirinya dalam hidup dan kehidupannya menuju titik kesempurnaannya.
Potensi-potensi ini mestinya disyukuri dan disadari sebagai amanah dari
Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan dipertangungjawabkan dihadapan-Nya. Potensi-potensi tersebut dapat berkembang
secara wajar apabila manusia mendapatkan bantuan pendidikan.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW. dinyatakan bahwa “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah atau bersih maka
lingkungan sekitar di luar diri sang bayi yang akan memberikan warna atau
pengaruh terhadap corak hitam putihnya perjalanan hidup sang bayi tersebut”.
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang John Locke dengan teori tabularasa
bahwa seorang anak yang terlahir ke dunia bagaikan kertas putih yang belum
dituliskan tinta dengan warna apa pun[2].
Dari hadits dan pendapat seorang John Locke di atas, dapat disimpulkan
bahwa kehadiran seorang anak ke dunia dalam keadaan lemah tak berdaya kemudian
manusia tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dimana sang anak
tersebut berada sehingga lama kelamaan berkembang menjadi manusia yang
mengetahui banyak hal. Hal ini terjadi karena potensi-potensi edukatif manusia
tersebut telah dikembangkan dan difungsikan secara berproses dan terus menerus.
Dengan adanya pendidikan potensi-potensi edukatif secara alamiah diharapkan dapat berkembang secara wajar menuju titik kesempurnaan dan pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan manusia yang disebut sebagai insan kamil, manusia sempurna lahir maupun batin yang dapat memfungsikan potensi-potensi edukatif tersebut secara seimbang sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Dari pemaparan di atas tentu menjadi sangat penting konsep wayu di atas mengenai potensi edukatif alam diri manusia untuk dikembangkan lebih jauh lagi khususnya dalam bidang pendidikan, tentu konsep al-Qur’an dengan susunan tata bahasa arab yang sempurna tidak bisa diabaikan begitu saja, melihat urutan potensi sedukatif dalam Q.S An-Nahl; 78, lebih dahulu menyebutkan kata pendengaran, penglihatan kemudian baru memahami dengan hati. Tentu hal ini mengindikasikan adanya urutan atau sistematika dalam pembelajaran. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yaitu sistematika pembelajaran dalam perspektif al-Qur’an (Q.S An-Nahl:78)
B. Pembahasan
1. Pendengaran
Pendengaran berasal dari kata “dengar” yang berarti dapat menangkap suara
(bunyi) dengan telinga; menurut; mengindahkan[3].
Dalam istilah
bahasa Arab disebut sebagai Sam’an bentuk
masdar dari asal kata kerja Samia’ – Yasmau’ yang artinya pendengaran. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 78 Allah menyebutkan Sam’an atau pendengaran pada urutan pertama dilanjutkan dengan Absor (penglihatan) dan Af-idah (akal atau hati).
Arti tersebut mengindikasikan bahwa orang yang mendengar tidak hanya
menjadikan indra pendengarannya sebagai alat untuk menanggapi stimulus bunyi,
namun juga ada upaya menuruti dan melaksanakannya dengan baik dan benar.
Berarti ada upaya memahami berbagai pesan yang diterimanya melalui suara
(bunyi). Kebenaran pemahaman akan suara yang didengarnya terlihat dari
pelaksanaan dari apa yang dikehendaki oleh pemberi pesan suara (komunikator).
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis memaknai kata mendengar dalam arti
luas, yakni mengakomodasi informasi dan ilmu pengetahuan, baik yang sifatnya
wahyu maupun penemuan-penemuan manusia yang sudah menjadi teori dan berusaha
mengaplikasikannya dengan baik dan benar. Betapa pentingnya atau urgensi dari
suatu media yang disebut sebagai pendengaran. Karena media ini yang paling
pertama kali menjalankan fungsinya ketika sang anak hadir ke dunia ini sehingga
kita dapat saksikan mengapa ketika sang anak lahir ke dunia yang pertama kali
kita lakukan adalah mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga
kiri.
Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dalam hadis dari Rafi‘.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
(رواه الترمذي و أبو داود)
Artinya:
“Dari Abdullah bin Abi Rafi‘, dari ayahnya berkata: “Saya melihat Rasulullah
saw. mengazani telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah” (HR
al-Tirmizi dan Abu Dawud).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam berupaya mengoptimalkan
potensi pendengaran anak dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid pada
awal kelahiran dan merupakan upaya pembiasaan terhadap anak mendengarkan kalimat-kalimat
yang baik.
Surat An-Nahl
ayat 78 juga menggunakan kata Sam’an
(pendengaran) bukan Udzunun yang artinya telinga. Ini juga mengisyaratkan bahwa Udzunun yang berarti telinga merupakan bentuk Isim atau kata benda sedangkan Sam’an merupakan sigat masdar yang diambil dari kata kerja Samia’ – Yasmau’ – Sam’an.
Ini menunjukan
bahwa aktifitas belajar merupakan sebuah aktifitas yang selalu aktif dan
energik dengan memfungsikan pendengaran sebagai salah satu media (potensi) yang
dapat mengantarkan sang anak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang segala
sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya. Melalui potensi pendengaran inilah manusia
dapat menangkap informasi atau makna yang didengar dari lingkungan di luar
dirinya. Semakin banyak informasi yang akan diserap maka akan semakin banyak
makna atau pengetahuan yang akan diperoleh.
Dalam proses
pendidikan dan pembelajaran potensi atau media pendengaran memiliki peran yang
sangat penting dalam menunjang kelancaran saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Seperti yang sudah dijelaskan di atas untuk memulai mencari tahu
sesuatu manusia atau seorang peserta didik harus mendegar informasi terlebih
dahulu tentang suatu hal baru kemudia akan mencari tahu sesuatu tersebut dan
ingin melihatnya secara nyata.
2. Penglihatan
Penglihatan berasal dari kata “lihat” yang
berarti “menggunakan mata untuk memandang; memperhatikan; mengamati”[4].
Dalam al-Qur’an diambil dari kata Absor (Penglihatan). Absor
merupakan
bentuk masdar yang diambil dari kata kerja Basiro
– Yabsiru – Absor yang berarti penglihatan.
Ketika sang anak dilahirkan ke dunia, potensi penglihatan atau absor
ini sudah ada pada anak tersebut namun belum dapat memainkan fungsinya. Potensi
tersebut akan berfungsi secara bertahap atau berproses sesuai dengan
perkembangan usia sang anak tersebut. Apa yang dilihat oleh anak tersebut akan
tersimpan pada memori otak dan akan menghasilkan persepsi atau pemahaman
tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya.
Melalui
potensi penglihatan inilah siapapun dapat melakukan pengamatan (observasi) terhadap suatu objek atau
benda yang dilihatnya. Melalui observasi atau pengamatan inilah bisa
mendapatkan pengetahuan atau informasi tentang sesuatu. Sebagaimana diketahui
bahwa aktifitas belajar merupakan akumulasi antara aktifitas mendengar,
melihat, berpikir atau memahami dan
bertindak. Potensi penglihatan merupakan salah satu potensi edukatif manusia
yang dapat menunjang kelancaran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Melalui
potensi penglihatan ini sang anak dapat membaca atau mempelajari hal-hal yang
bersifat tekstual maupun kontekstual. Semakin banyak hal yang dibaca atau
dilihat oleh sang anak maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang
didapatinya. Dengan melakukan kegiatan membaca inilah potensi penglihatan
manusia dapat dikembangkan.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa melihat tidak hanya sebuah proses jatuhnya
cahaya ke kornea mata dan diterjemahkan dalam warna dan bentuk, akan tetapi
dapat dimaknai sebagai upaya pengamatan dan penelitian. Melihat berarti
meneliti, memperhatikan segala fenomena yang terjadi baik pada diri manusia
ataupun alam semesta yang lebih luas.
Allah
swt. menerangkan dalam QS Ali ‘Imran/3: 190.
إِنَّ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal’
Ayat tersebut dapat dimaknai bahwa alam semesta dengan berbagai fenomenanya
merupakan sesuatu yang harus dipelajari, diamati, atau diteliti oleh manusia
untuk membuatnya semakin yakin akan kekuasaan Allah swt. Sehingga ilmu yang
baik adalah ilmu yang semakin mendekatkan kepada Allah swt. Oleh karena itu,
perlu integrasi dan interkoneksi sains dan teknologi dalam kajian keislaman.
Begitu pun sebaliknya, perlu integrasi dan interkoneksi Wahyu dalam
pembelajaran sains dan teknologi.
Bila pendengaran dan penglihatan dimaknai dengan potensi yang sifatnya
sekedar memahami yang empiris, maka cukup dengan menciptakan media pembelajaran
yang mengstimulus keduanya agar dapat menerima/memahami materi pembelajaran
sebagai bekal dalam mengelola bumi dalam kapasitasnya sebagai khalifah. Namun
lebih dari sekedar itu, mestinya kedua potensi tersebut mengantarkan kepada
semakin yakinnya manusia kepada Sang Maha Pencipta dan membawanya kepada tujuan
penciptaan yaitu ‘abd. Betapa banyak orang yang pada zahirnya mendengar
dan melihat, namun pada hakikatnya dia tuli dan buta. Sebagaimana disebutkan
dalam QS al-Baqarah/2:7.
خَتَمَ
ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَٰرِهِمۡ
غِشَٰوَةٞۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٧
Artinya: “Allah
telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang kafir (yang jauh dari rahmat Allah)
tidak mau lagi melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak mau lagi mendengar
nasihat, yang demikian itu pada hakikatnya adalah orang yang tuli lagi buta.
Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya mengarahkan potensi ini kepada
semakin dekatnya manusia kepada Allah.
Berdasarkan uraian di atas meneruskan lanjutan konsep dari pendegaran, maka
melihat adalah potensi kedua atau urutan yang kedua, setelah menerima informasi
yang cukup, manusia atau peserta didik akan mencari tahu atau ingin melihat apa
yang sebenarnya yang di dengar.
3. Hati
Istilah “hati” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online diartikan sebagai
organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut,
gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan
empedu; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat
segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya)[5].
Pengertian kata hati tersebut mengindikasikan bahwa manusia merupakan makhluk
biologis dan rohis. Apalagi bila dikaitkan dengan Hadis Rasulullah saw. dari
Nu‘man bin Basyir radiyallah ‘an huma.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
Artinya:
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik
pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah
bahwa ia adalah hati”. (HR Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Penulis memaknai hati semakna dengan heart, bukan liver dalam
bahasa Inggris atau semakna qalb bukan kibd dalam bahasa Arab.
Dia lebih rohani, dalam artian menjadi alat utama dalam melakukan kontemplasi. Berdasarkan
ayat yang dipaparkan di atas hati berasal dari Kata al-af’idah adalah bentuk
jamak dari
kata
fuad
yang diterjemahkan dengan aneka
hati. Kata ini banyak dipahami oleh ulama dalam
arti akal. Makna ini dapat diterima jika yang dimaksud dengannya adalah
gabungan daya pikir dan daya
kalbu, yang menjadikan seseorang terikat sehingga tidak
terjerumus dalam kesalahan dan kedurhakaan. Dengan demikian tercakup dalam pengertiannya potensi meraih ilham
dan percikan cahaya ilahi
(Shihab, 2002: 222). Ini berarti bahwa al-afidah lebih cenderung
kepada akal. Sebab dengan akal
manusia akan mampu berfikir baik itu
secara
materi
maupun immaterial.
Yang dimaksud al-af’idah dalam hadis ayat di atas adalah akal. Setelah Allah Swt tiupkan ruh kepada manusia, lalu
Allah menjadikan pendengaran,
penglihatan
dan hati. Tetapi sedikit
sekali manusia bersyukur, “yaitu dengan
kekuatan yang
diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang yang
berbahagia adalah orang yang dapat memfungsikan
hal tersebut di dalam ketaatan kepada Rabb-Nya (Katsir, 2010: 228).
Berdasarkan arti hati tersebut, dapat dipahami bahwa hati merupakan alat
yang digunakan dalam proses perenungan dan berpikir untuk memahami segala
sesuatu dan menjawab setiap pertanyaan yang muncul (terutama mengenai metafisik
dan transmetafisik), di mana proses tersebut membuatnya semakin yakin dan
semakin dekat dengan Allah Swt.
Pada tahap ini jelas sudah bahwa hati dalam arti yang sebenarnya adalah
akal untuk memahami apa yang di dengar dan di lihat, pada tahap ketiga ini
secara ilmiah hati adalah pusat berpikir atau pusat untuk menganalisa apa yang
telah terdengar oleh telinga dan terlihat oleh mata.
4. Implikasi Konsep Pendengaran, Penglihatan, dan Hati terhadap
Pendidikan Islam
Teori dan praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsep dasar
tentang manusia. Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa
terlebih dahulu memahami tentang pengembangan manusia seutuhnya[6].
Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai potensi yang
diberikan kepada manusia sebagai alat untuk menjalankan tujuan dan fungsi
penciptaannya dalam alam semesta. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis
menarik sebuah pemahaman bahwa Allah Swt telah mengajarkan manusia melalui
kitab suci al-Qur’an khususnya mengenai proses-proses pembelajaran yang ada
dalam Q.S An-Nahl:78. Bahwa dalam pembelajaran haruslah sistematis, yaitu mulai
dari mendengar informasi yang jelas dan cukup, barulah kemudian dibuktikan atau
dilihat secara nyata pada tahap berikutnya harus benar-benar dikaji dan di
analisis secara mendalam melalui hati (akal).
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menarik sebuah pemahaman bahwa
Allah Swt telah mengajarkan manusia melalui kitab suci al-Qur’an khususnya
mengenai proses-proses pembelajaran yang ada dalam Q.S An-Nahl:78. Bahwa dalam
pembelajaran haruslah sistematis, yaitu mulai dari mendengar informasi yang
jelas dan cukup, barulah kemudian dibuktikan atau dilihat secara nyata pada
tahap berikutnya harus benar-benar dikaji dan di analisis secara mendalam
melalui hati (akal). Jika tahap-tahap dan proses tersebut sudah dilakukan
barulah akan dicapai hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran.
[1] Fuad Nashori, Potensi-potensi
Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm, 57.
[2] Raja Lotung
Siregar, Al-Af’idah dan Qulub Serta
Kaitannya Dengan Pendidikan, dalam Jurnal Al-Hikmah Vol 13 No 1 2016,
Sekolah Tinggi Agama Islam Tuanku Tambusar Pasir Pangaraian
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id
(17 Oktober 2018).
[4] Kamus Besar
Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (17 Oktober 2018).
[5] Kamus Besar
Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (17 Oktober 2018).
[6] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis
Filosofis Sistem Pendidikan Islam, h. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar