Rabu, 13 Januari 2021

Sistematika pembelajaran dalam perspektif al-Qur’an (Q.S An-Nahl:78)

A.  Latar Belakang Masalah

Manusia pada dasarnya dilahirkan di dunia masih bersifat suci, dalam keadaan kosong[1]. Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, semenjak kehadirannya di dunia telah dibekali Allah Swt. dengan potensi-potensi edukatif. Potensi tersebut, yaitu pendengaran, penglihatan, dan akal (hati). Dengan potensi tersebut manusia dapat mengembangkan dirinya. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat

78

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٧٨

 

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa seorang manusia yang terlahir ke dunia pada dasarnya tidak memiliki ilmu pengetahuan sedikit pun tentang sesuatu namun bersamaan dengan itu pula, Allah Swt Yang Maha Pengasih dan Penyayang telah menganugerahkan kepada sang bayi tersebut dengan potensi-potensi edukatif, sehingga dengan potensi-potensi yang ada manusia dapat berkembang dan mengembangkan dirinya dalam hidup dan kehidupannya menuju titik kesempurnaannya.

Potensi-potensi ini mestinya disyukuri dan disadari sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan dipertangungjawabkan dihadapan-Nya.  Potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara wajar apabila manusia mendapatkan bantuan pendidikan.

Dalam sebuah hadits Nabi SAW. dinyatakan bahwa “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah atau bersih maka lingkungan sekitar di luar diri sang bayi yang akan memberikan warna atau pengaruh terhadap corak hitam putihnya perjalanan hidup sang bayi tersebut”. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang John Locke dengan teori tabularasa bahwa seorang anak yang terlahir ke dunia bagaikan kertas putih yang belum dituliskan tinta dengan warna apa pun[2].

Dari hadits dan pendapat seorang John Locke di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran seorang anak ke dunia dalam keadaan lemah tak berdaya kemudian manusia tersebut berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dimana sang anak tersebut berada sehingga lama kelamaan berkembang menjadi manusia yang mengetahui banyak hal. Hal ini terjadi karena potensi-potensi edukatif manusia tersebut telah dikembangkan dan difungsikan secara berproses dan terus menerus.

Dengan adanya pendidikan potensi-potensi edukatif secara alamiah diharapkan dapat berkembang secara wajar menuju titik kesempurnaan dan pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan manusia yang disebut sebagai insan kamil, manusia sempurna lahir maupun batin yang dapat memfungsikan potensi-potensi edukatif tersebut secara seimbang sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Dari pemaparan di atas tentu menjadi sangat penting konsep wayu di atas mengenai potensi edukatif alam diri manusia untuk dikembangkan lebih jauh lagi khususnya dalam bidang pendidikan, tentu konsep al-Qur’an dengan susunan tata bahasa arab yang sempurna tidak bisa diabaikan begitu saja, melihat urutan potensi sedukatif dalam Q.S An-Nahl; 78, lebih dahulu menyebutkan kata pendengaran, penglihatan kemudian baru memahami dengan hati. Tentu hal ini mengindikasikan adanya urutan atau sistematika dalam pembelajaran. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yaitu sistematika pembelajaran dalam perspektif al-Qur’an (Q.S An-Nahl:78)

B.  Pembahasan

1.      Pendengaran

Pendengaran berasal dari kata “dengar” yang berarti dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga; menurut; mengindahkan[3]. Dalam istilah bahasa Arab disebut sebagai Sam’an bentuk masdar dari asal kata kerja Samia’ – Yasmau’ yang artinya pendengaran. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 78 Allah menyebutkan Sam’an atau pendengaran pada urutan pertama dilanjutkan dengan Absor (penglihatan) dan Af-idah (akal atau hati).

Arti tersebut mengindikasikan bahwa orang yang mendengar tidak hanya menjadikan indra pendengarannya sebagai alat untuk menanggapi stimulus bunyi, namun juga ada upaya menuruti dan melaksanakannya dengan baik dan benar. Berarti ada upaya memahami berbagai pesan yang diterimanya melalui suara (bunyi). Kebenaran pemahaman akan suara yang didengarnya terlihat dari pelaksanaan dari apa yang dikehendaki oleh pemberi pesan suara (komunikator).

Berdasarkan pengertian tersebut, penulis memaknai kata mendengar dalam arti luas, yakni mengakomodasi informasi dan ilmu pengetahuan, baik yang sifatnya wahyu maupun penemuan-penemuan manusia yang sudah menjadi teori dan ber­usaha mengaplikasi­kannya dengan baik dan benar.  Betapa pentingnya atau urgensi dari suatu media yang disebut sebagai pendengaran. Karena media ini yang paling pertama kali menjalankan fungsinya ketika sang anak hadir ke dunia ini sehingga kita dapat saksikan mengapa ketika sang anak lahir ke dunia yang pertama kali kita lakukan adalah mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga kiri.

Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dalam hadis dari Rafi‘.

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ  (رواه الترمذي و أبو داود)

Artinya: “Dari Abdullah bin Abi Rafi‘, dari ayahnya berkata: “Saya melihat Rasulullah saw. mengazani telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah” (HR al-Tirmizi dan Abu Dawud).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam berupaya mengopti­malkan potensi pendengaran anak dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid pada awal kelahiran dan merupakan upaya pembiasaan terhadap anak mendengarkan kalimat-kalimat yang baik.

Surat An-Nahl ayat 78 juga menggunakan kata Sam’an (pendengaran) bukan Udzunun yang artinya telinga. Ini juga mengisyaratkan bahwa Udzunun yang berarti telinga merupakan bentuk Isim atau kata benda sedangkan Sam’an merupakan sigat masdar yang diambil dari kata kerja Samia’ – Yasmau’ – Sam’an.

Ini menunjukan bahwa aktifitas belajar merupakan sebuah aktifitas yang selalu aktif dan energik dengan memfungsikan pendengaran sebagai salah satu media (potensi) yang dapat mengantarkan sang anak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya. Melalui potensi pendengaran inilah manusia dapat menangkap informasi atau makna yang didengar dari lingkungan di luar dirinya. Semakin banyak informasi yang akan diserap maka akan semakin banyak makna atau pengetahuan yang akan diperoleh.

Dalam proses pendidikan dan pembelajaran potensi atau media pendengaran memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang kelancaran saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Seperti yang sudah dijelaskan di atas untuk memulai mencari tahu sesuatu manusia atau seorang peserta didik harus mendegar informasi terlebih dahulu tentang suatu hal baru kemudia akan mencari tahu sesuatu tersebut dan ingin melihatnya secara nyata.

2.      Penglihatan

Penglihatan berasal dari kata “lihat” yang berarti “menggunakan mata untuk memandang; memperhatikan; mengamati”[4]. Dalam al-Qur’an diambil dari kata Absor (Penglihatan). Absor merupakan bentuk masdar yang diambil dari kata kerja Basiro – Yabsiru – Absor yang berarti penglihatan. Ketika sang anak dilahirkan ke dunia, potensi penglihatan atau absor ini sudah ada pada anak tersebut namun belum dapat memainkan fungsinya. Potensi tersebut akan berfungsi secara bertahap atau berproses sesuai dengan perkembangan usia sang anak tersebut. Apa yang dilihat oleh anak tersebut akan tersimpan pada memori otak dan akan menghasilkan persepsi atau pemahaman tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahuinya.

Melalui potensi penglihatan inilah siapapun dapat melakukan pengamatan (observasi) terhadap suatu objek atau benda yang dilihatnya. Melalui observasi atau pengamatan inilah bisa mendapatkan pengetahuan atau informasi tentang sesuatu. Sebagaimana diketahui bahwa aktifitas belajar merupakan akumulasi antara aktifitas mendengar, melihat, berpikir atau memahami  dan bertindak. Potensi penglihatan merupakan salah satu potensi edukatif manusia yang dapat menunjang kelancaran dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Melalui potensi penglihatan ini sang anak dapat membaca atau mempelajari hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Semakin banyak hal yang dibaca atau dilihat oleh sang anak maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang didapatinya. Dengan melakukan kegiatan membaca inilah potensi penglihatan manusia dapat dikembangkan.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa melihat tidak hanya sebuah proses jatuhnya cahaya ke kornea mata dan diterjemahkan dalam warna dan bentuk, akan tetapi dapat dimaknai sebagai upaya pengamatan dan penelitian. Melihat berarti meneliti, memperhatikan segala fenomena yang terjadi baik pada diri manusia ataupun alam semesta yang lebih luas.

Allah swt. menerangkan dalam QS Ali ‘Imran/3: 190.

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠                                                                                                                  

 

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal’

 

Ayat tersebut dapat dimaknai bahwa alam semesta dengan berbagai fenomenanya merupakan sesuatu yang harus dipelajari, diamati, atau diteliti oleh manusia untuk membuatnya semakin yakin akan kekuasaan Allah swt. Sehingga ilmu yang baik adalah ilmu yang semakin mendekatkan kepada Allah swt. Oleh karena itu, perlu integrasi dan interkoneksi sains dan teknologi dalam kajian keislaman. Begitu pun sebaliknya, perlu integrasi dan interkoneksi Wahyu dalam pembelajaran sains dan teknologi.

Bila pendengaran dan penglihatan dimaknai dengan potensi yang sifatnya sekedar memahami yang empiris, maka cukup dengan menciptakan media pembelajaran yang mengstimulus keduanya agar dapat menerima/memahami materi pembelajaran sebagai bekal dalam mengelola bumi dalam kapasitasnya sebagai khalifah. Namun lebih dari sekedar itu, mestinya kedua potensi tersebut mengantarkan kepada semakin yakinnya manusia kepada Sang Maha Pencipta dan membawanya kepada tujuan penciptaan yaitu ‘abd. Betapa banyak orang yang pada zahirnya mendengar dan melihat, namun pada hakikatnya dia tuli dan buta. Sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah/2:7.

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَٰرِهِمۡ غِشَٰوَةٞۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٧

Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang kafir (yang jauh dari rahmat Allah) tidak mau lagi melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak mau lagi mendengar nasihat, yang demikian itu pada hakikatnya adalah orang yang tuli lagi buta. Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya mengarahkan potensi ini kepada semakin dekatnya manusia kepada Allah.

Berdasarkan uraian di atas meneruskan lanjutan konsep dari pendegaran, maka melihat adalah potensi kedua atau urutan yang kedua, setelah menerima informasi yang cukup, manusia atau peserta didik akan mencari tahu atau ingin melihat apa yang sebenarnya yang di dengar.

3.      Hati

Istilah “hati” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online diartikan sebagai organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya)[5]. Pengertian kata hati tersebut mengindikasikan bahwa manusia merupakan makhluk biologis dan rohis. Apalagi bila dikaitkan dengan Hadis Rasulullah saw. dari Nu‘man bin Basyir radiyallah ‘an huma.

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Artinya: “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah bahwa ia adalah hati”. (HR Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Penulis memaknai hati semakna dengan heart, bukan liver dalam bahasa Inggris atau semakna qalb bukan kibd dalam bahasa Arab. Dia lebih rohani, dalam artian menjadi alat utama dalam melakukan kontemplasi. Berdasarkan ayat yang dipaparkan di atas hati berasal dari Kata al-afidah    adalah    bentuk jamak        dari kata fuad yang diterjemahkan  dengan  aneka  hati. Kata ini banyak dipahami oleh ulama dalam arti akal. Makna ini dapat diterima jika yang dimaksud dengannya adalah gabungan daya pikir dan daya kalbu, yang menjadikan seseorang terikat sehingga tidak terjerumudalam kesalahan dan kedurhakaan. Dengan demikian tercakup dalam pengertiannya potensi meraih ilham dan percikan cahaya  ilahi  (Shihab, 2002: 222). Ini berarti bahwa al-afidah lebih cenderung kepada akal. Sebab dengan akal manusia akan mampu berfikir baik itu secara materi maupun immaterial.

Yang dimaksud al-af’idah dalam hadis ayat di atas adalah akal. Setelah Allah Swt tiupkan ruh kepada manusia, lalu Allah menjadikan pendengaran, penglihatan   dan   hati Tetapi   sedikit sekali manusia bersyukur,yaitu dengan kekuatan yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memfungsikan hal tersebut  ddalam  ketaatan kepada Rabb-Nya (Katsir, 2010: 228).

Berdasarkan arti hati tersebut, dapat dipahami bahwa hati merupakan alat yang digunakan dalam proses perenungan dan berpikir untuk memahami segala sesuatu dan menjawab setiap pertanyaan yang muncul (terutama mengenai metafisik dan transmetafisik), di mana proses tersebut membuatnya semakin yakin dan semakin dekat dengan Allah Swt.

Pada tahap ini jelas sudah bahwa hati dalam arti yang sebenarnya adalah akal untuk memahami apa yang di dengar dan di lihat, pada tahap ketiga ini secara ilmiah hati adalah pusat berpikir atau pusat untuk menganalisa apa yang telah terdengar oleh telinga dan terlihat oleh mata.

4.      Implikasi Konsep Pendengaran, Penglihatan, dan Hati terhadap Pendidikan Islam

Teori dan praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsep dasar tentang manusia. Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami tentang pengem­bangan manusia seutuhnya[6]. Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai potensi yang diberikan kepada manusia sebagai alat untuk menjalankan tujuan dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menarik sebuah pemahaman bahwa Allah Swt telah mengajarkan manusia melalui kitab suci al-Qur’an khususnya mengenai proses-proses pembelajaran yang ada dalam Q.S An-Nahl:78. Bahwa dalam pembelajaran haruslah sistematis, yaitu mulai dari mendengar informasi yang jelas dan cukup, barulah kemudian dibuktikan atau dilihat secara nyata pada tahap berikutnya harus benar-benar dikaji dan di analisis secara mendalam melalui hati (akal).

C.  Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis menarik sebuah pemahaman bahwa Allah Swt telah mengajarkan manusia melalui kitab suci al-Qur’an khususnya mengenai proses-proses pembelajaran yang ada dalam Q.S An-Nahl:78. Bahwa dalam pembelajaran haruslah sistematis, yaitu mulai dari mendengar informasi yang jelas dan cukup, barulah kemudian dibuktikan atau dilihat secara nyata pada tahap berikutnya harus benar-benar dikaji dan di analisis secara mendalam melalui hati (akal). Jika tahap-tahap dan proses tersebut sudah dilakukan barulah akan dicapai hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran.

 

 



[1] Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm, 57. 

[2] Raja Lotung Siregar, Al-Af’idah dan Qulub Serta Kaitannya Dengan Pendidikan, dalam Jurnal Al-Hikmah Vol 13 No 1 2016, Sekolah Tinggi Agama Islam Tuanku Tambusar Pasir Pangaraian

[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (17 Oktober 2018). 

[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (17 Oktober 2018). 

 

[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (17 Oktober 2018). 

 

[6] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, h. 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar