Selasa, 05 Juli 2022

Tradisi Membaca, Menulis Dan Meneliti Dalam Upaya Kebangkitan Umat Islam

Ebing Karmiza


Saat ini harus jujur mengatakan bahwa umat Islam sudah tertinggal dengan dunia barat dari ilmu pengetahuan, namu jika mau kembali kebelakang umat Islam pernah memiliki peradaban intelektual yang tinggi dengan tradisi-tradisinya. Tradisi intelektual Islam berkembang melalui tiga periode yaitu zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman modern. Ketiga zaman ni memiliki karakteristik dan metode yang berbeda dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam, walaupun zaman klasik memiliki pengaruh yang kuat mengenai keberkembangan tradisi  intelektual  Islam  pada  zaman  selanjutnya.  Tulisan  ini  dikedepankan sebagai usaha untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan yang tepat, bagaimana Islam menjadi bagian yang tidak terpisah bagi pengembangan intelektualitas kaum muslim yang lebih dikenal dengan tradisi intelektual Islam (islamic intellectual tradition) dan masih berlangsung sampai saat ini terutama di wilayah Indonesia.

Tulisan ini berupaya untuk mencoba untuk menguraikan dan memperlihatkan Islam memiliki peran yang penting dalam membangun tradisi intelektual yang dimulai melalui pengajaran di pondok dan/atau pesantren. Metode yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan analitis. Zaman klasik memberikan sumbangan terhadap pengembangan keintelektualan dengan menempatkan metode yang berkembang dalam pengajaran dan pendidikan yang dipraktekkan mulai zaman Nabi Muhammad Saw yaitu metode metode, tulisan, dan hafalan. Zaman Pertengahan memiliki sumbangan terhadap  munculnya institusi-institusi yang membantu dan mengembang tradisi intelektual Islam. Zaman Modern merupakan pergulatan tradisi intelektual Islam Indonesia, yang melahirkan dua kelompok kaum muda dan kaum tua. Kaum muda mengedepankan pentingnya pembaharuan pemikiran dalam ranah pemahaman Islam, dengan metode mengembalikan Islam pada tempatnya melalui pemahaman ajaran Islam yang menghilangkan sisi taqlid dan memurnikan ajaran Islam.

Dalam buku Abudin Nata Sejarah Sosial dan Intelektual Islam, menjelaskan kurang lebih ada sembilan tradisi intelektual yang berkembang di kalangan umat Islam di antaranya, tradisi rihla ilmiah, tradisi berijtihad, tradisi menghafal, tradisi meneliti, tradisi membaca, menulis, mensyarah dan mentahqiq, tradisi mengoleksi buku dan membangun perpustakaan, tradisi munazarah, tradisi wakaf dan membangun pendidikan.[1]

Namun dalam paper ini selanjutnya mencoba membahas secara sederhana beberapa saja yang menjadi ciri khas tradisi intelektual di Kalangan Umat Islam yaitu khususnya yang paling pokok sebagai penunjang kelahiran tradisi intelektual lainnya, yaitu tradisi membaca, menulis dan meneliti.

 

1.      Tradisi Membaca, Menulis dan Mensyarah

Gerakan intelektual, kebudayaan dan peradaban sesungguhnya dimulai dari gerakan membaca dan menulis yang sudah menjadi tradisi. Sebagai akibat dari adanya tradisi meneliti, maka dengan sendirinya lahirlah tradisi membaca dan menulis. Hal seperti itu tidak akan terjadi karena seseorang tidak akan terdorong untuk meneliti, jika hasil penelitian tersebut tidak dibaca. Demikian juga seseorang tidak akan mungkin dapat menulis jika tidak memiliki tradisi membaca. Dengan demikian tradisi meneliti, membaca dan menulis sangat berkaitan.[2]

Melalui kegiatan membaca dan menulis lahirlah berbagai karya tulis, mulai dari manuskrip yang dicetak menjadi buku yang membahas berbagai bidang ilmu agama, ilmu umum, ilmu bahasa, sastra, seni dan lainnya. Dengan demikian lahirnya tradisi mensyarah yakni menjelaskan lebih jauh mengenai isi karangan tersebut, mulai dari memberikan komentar atau catatan ilmiah mengenai karya tersebut. Tradisi ini masih dipelihara oleh ulama, khususnya di kalangan Syiah.[3]

 

2.    Tradisi Meneliti

Secara epistemologi terdapat lima model penelitian, yaitu penelitian bayani, penelitian burhani, penelitian ijbari, penelitian jadali dan penelitian irfani.

a.       Metode al-Bayani/al-Tabyin

Al-Bayani atau al-Tabyin berasal dari bahasa Arab, bayyana yang berarti menerangkan atau menjelaskan. Kosakata ini antara lain digunakan dalam ayat: “Dan Kami turunkan al-zikra (al-Qur’an) kepadamum agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl, 16:44). Dan juga dapat dipahami dari ayat: “Hai orang-orang yang beriman, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”(Q.S. al-Hujurat, 49:6). Melalui proses tabayyun ini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal (global), mutlaq, ‘aam (umum), mutaradif, dan yang  secara lahiriyah terkesan berlawanan, sehingga ajaran al-Qur’an tersebut secara teoritis, teknis dan praktis dapat dilaksanakan. Hasil penjelasan Nabi melalui metode tabayyun dituangkan dalam hadisnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun persetujuan.[4] Mulyadhi Kartanegara mengatakan, bahwa metode bayani telah ditempuh oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis.[5] Dengan metode ini, para pakar pendidikan Islam dapat memahami, dan menghasilkan dasar-dasar, prinsip-prinsip, pedoman, orientasi, visi, misi dan tujuan tentang berbagai aspek pendidikan.

b.      Metode Ijbari

Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab ajbara yujbiru ijbaaran yang berarti memaksa, menekan atau merusak. Orang yang melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat Tuhan adalah al-Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama dengan eksperimen atau uji coba, yang langkah-langkahnya antara lain: (1)menyusun hipotesis atau daftar pertanyaan; (2)menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, seperti binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan, bahan makanan, minuman, dan sebagainya; (3)menyiapkan peralatan laboratorium yang akan digunakan; (4)melakukan langkah-langkah yang ditetapkan; (5)menganalisis dengan pendekatan komparasi, dan (6)menyimpulkan.[6] Metode ini digunakan untuk pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia dan ahli kedokteran klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli kedokteran klinik dan medik dengan bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil penelitian eksperimen.[7] Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih belum banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan metode bayani, irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar pendidikan Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan menggunakan metode ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus dalam bukunya al-Thariqah al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau three in one, yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini dilakukan di Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya dikembangkan oleh salah seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat dengan bukunya al-Arabiyah bi Nawaziz.

c.       Metode Burhani (Observasi)

Kosakata burhan berasal dari  kata baraha, yabrohu, buhaanan, yang artinya keterangan, fakta atau data. Imam al-Zarqni misalnya menggunakan kata burhan untuk kitabnya yang berjudul al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Sebagai sebuah metodologi, al-Burhan dapat diartikan observasi atau pengamatan dengan menggunakan pancaindera. Dengan menggunakan pancaindera:penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencicipan, dapat mengenal objek-objek yang ada di se keliling kita dari lima dimensinya:bentuk, bunyi, bau, raba dan rasanya. Selain itu dengan observasi juga dapat diperoleh informasi tentang bahaya atau manfaat dari benda-benda tersebut bagi diri kita penelitian jenis ini dianggap penelitian yang paling bisa diandalkan. Padahal hasil pengamatan indriawi tidaklah cukup untuk memberi atau mencerap objek-objek fisik itu sebagaimana adanya. Ibn Haitsan (w.1039) dalam bukunya al-Manazhir, telah dengan cermat menjelaskan ketidakmampuan mata untuk bisa mempersepsi objek-objeknya secara akurat, dengan menjelaskan beberapa sebabnya. Menurutnya, akurasi pengamatan mata bisa terganggu oleh beberapa faktor: (1)jarak yang terlalu jauh; (2)ukuran yang terlalu kecil; (3)pencahayaan yang terlalu terang; (4)pencahayaan yang terlalu redup; (5)terlalu lama memandang; (6)kondisi mata yang tidak sehat, dan (7)transparansi.[8] Ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, arkeologi, antropologi, fenomenologi, dan etnografi  misalnya adalah hasil penelitian dengan metode burhani. Namun demikian, ada pula yang memasukkan metode burhani ini sebagai bagian dari metode jadali atau metode rasional (burhani) diartikan demonstratif.[9] Riset dengan metode al-burhani banyak dilakukan oleh para sarjana Barat yang menghasilkan buku tentang sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, sejarah pendidikan, antropologi pendidikan, politik pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa pakar pendidikan Islam yang meneliti pendidikan Islam dengan metode burhani ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan metode ijbari. Hasilnya antara lain: Sejarah Pendidikan Islam oleh Mahmud Yunus, yang dilanjutkan oleh Karel Steenbrink, Deliar Noer, Zamakhsyari Dhofier,  M. , Hanun Asrohah, Abuddin Nata, dan yang lainnya.  

d.      Metode Jadali

Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal yang secara harfiah berarti perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling rendah pada yang tertinggi, yaitu: syi’ri (puitis), khitabi (retorik), mughalithi (sofistik), jadali (dialektik) dan burhani (demonstratif). Mujamil Qomari  memasukan metode jadali sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam.[10] yaitu upaya menggali pengetahuan pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasaran argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur’an antara lain dengan kalimat “yas’aluunaka” (mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah. Misalnya tentang apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram (Q.S.al-Baqarah, 2:217),  khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219) anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2: 222), (Q.S. al-Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra’, 17:85).

e.       Metode irfani

Kosakata irfani berasal dari bahasa Arab berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, irfaanan, dan ma’rifah, yang secara harfiah berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dengan menggunakan indera batin, hati nurani atau intuisi. Mulayadhi Kartanegara, mengatakan, metode irfani tidak didasarkan pada pengamatan indriawi atau intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intusi.[11] Di kalangan ulama atau sarjana Muslim penggunaan metode irfani yang berbasis intuisi sudah tidak mengalami penolakan, melainkan sudah menerimanya, dengan nama yang berbeda-beda. Al-Ghazali menyebutnya al-ma’rifah, Ibn Sina menyebutnya al-Faid (emanasi-limpahan), al-Syirbashy menyebutnya Ilmu Mauhubah, Syuhrawardi menyebutnya al-Isyraqiyah, ulama menyebutnya ilmu laduni.

 

3.    Tradisi Mengoleksi Buku dan Membangun Perpustakaan

Seiring lahirnya tradisi meneliti, membaca, menulis dan mensyarah serta mentahqiq tersbeut, timbul pula tradisi mengoleksi buku dan membangung perpustakaan. Tradisi ini lahir sebagai ekpresi dari kecintaan kepada ilmu pengetahuan. Demikian cintanya, mereka tidak segan-segan melakukan perjalanan ke berbagai negara guna memburu dan mendapatkan buku, memberikan upah yang tinggi kepada para penulis buku, menghormati, memuliahkan dan memfasilitasi ulama dan ilmuwan agar mau menulis buku.[12]

Buku-buku tersebut mereka simpan di perpustakaan, mulai dari perpustakaan pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perpustakaan pribadi. Banyaknya buku yang mereka simpan dan miliki pada perpustakaan akan menjadi salah satu lambing kejayaan, keunggulan dan kehebatan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perorangan. Mereka menganggap bahwa perpustakaan merupakan jantung yang mempergerakkan urat nadi dan gerakan kebudayaan dan peradaban Islam.[13]

Tradisi ini masih terjaga di kalangan umat Islam namun perpustakaan yang berkembang di Erofa dan Barat jauh lebih maju daripada perpustakaan di dunia Islam. Hal ini terjadi sebagai akibat kemajuan dalam bidang penelitian mereka ditopang oleh para tenaga peneliti yang handal dan professional, serta dukungan biaya yang cukup besar.[14]

4.      Tradisi Debat

Tradisi munazarah atau debat merupakan salah satu kegemaran yang muncul di kalangan para ulama dan ilmuan. tradisi ini  dilakukan dalam upaya saling menguji tingkat kedalaman, keluasan,  ketajaman dan daya analisis, dan kecerdasan seorang ulama serta dalam rangka saling tukar menukar informasi dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Tradisi ini terjadi akibat dari rasa saling ingin tahu, ingin memperluas wawasan, menghargai perbedaan pendapat, serta perasaan bahwa ilmu yang dimiliki masih dirasa sangat kurang.[15]

Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam suatu majelis yang di sediakan oleh pemerintah atau dalam forum tertentu, dan terkadang di inisiasi oleh pemerintah pusat dan daerah serta dilaksanakan dalam suatu forum yang dinamakan  al-salon al adabiyah ( sanggar sastra). Setiap peserta debat harus mematuhi etika yang ada di dalam forum tersebut, mulai dari tata tertib, susunan tempat duduk, cara berpendapat, saran dan pendapat, pakaian yang digunakan, pengaturan suara, sopan santu dan lain-lainnya. Dalam debat tersebut para intelektual muslim saling memberikan penafsiran, perspektif, sudut pandang, dan kritik dengan cara yang santu dan bersahabat.[16]

Majunya umat Islam di masa Bani Ummayah dan Abbasiyah adalah hidupnya tradisi membaca, menulis dan meneliti di kalangan umat Islam. Dari tiga hal inilah muncul tradisi-tradisi lainnya mulai dari berdebat, membangun perpustakaan. Artinya apa yang Allah Swt isyaratkan dalam al-Qur’an dengan kata “Iqro” dalam Q.S Al-Alaq, bermakna lebih luas bukan hanya sekedar membaca, namun diawali dengan membaca akan punya keingingan untuk menulis, dan meneliti, maka dari membaca, menulis dan meneliti akan melahirkan sebuah karya baik berupa buku atau hasil penelitian, banyaknya hasil karya akan melahirkan tradisi pengumpulan buku dan perpustakaan dan juga adanya perebedaan dalam hasil penelitan akan melahirkan debat ilmiah. Hal-hal inilah yang melahirkan peradaban yang maju yaitu peradaban ilmu pengetahuan. Namun di era saat ini umat Islam belum maksimal dalam hal tersebut, maka yang lebih banyak digunakan adalah karya-karya orang barat. Maka dari itu untuk lebih maju dan membangkitkan peradaban Islam yang telah mati, tradisi membaca, menulis dan meneliti harus diperkuat lagi.

 Tradisi membaca, menulis dan meneliti di kalangan umat Islam yang pernah menjadi tradisi intelektual umat Islam di masa Umayah dan Abbasiyah telah memudar, minat membaca, menulis dan meneliti hanya dilakukan oleh kalangan akademik itupun karena kebutuhan profesi bukan karena kecintaan pada ilmu pengetahuan. Maka untuk menghidupkan kembali masa-masa kejayaan tersebut umat Islam harus menghidupkan kembali tradisi tersebut. Dari tradisi membaca menulis dan meneliti akan lahir tradisi-tradisi intelektual lainnya

Referensi

Ibn Haitsam, The Optics of Ibn Haytham (Kitab Manadzhir), terjer. A.I. Sabra, London, The Warburg Institut University of London, 1989

Kartanegara, Mullyadhi, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta, UIN Jakarta Press, dan Bandung, Arasy Mizan, 2005

Nata, Abudin Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, Jakarta,  Raja Grafindo Persada, 2012, Cet-1

_______, Studi Islam Komprehensif, Jakarta:Prenada Media, 2011, cet. I

_______, Metodologi Studi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012

Qomari, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta, Erlangga, 2005


[2] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan… hlm, 166

[3] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan… hlm, 167

[4] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I, hlm, 37-42.

[5] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:UIN Jakarta Press, dan Bandung:Arasy Mizan, 2005), hlm, 136

[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), hlm, 89

[7] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistikhlm, 136

[8].Mulyadhi Kartanegara, op cit, hal.134; Ibn Haitsam, The Optics of Ibn Haytham (Kitab Manadzhir), terjer. A.I. Sabra, (London:The Warburg Institut University of London, 1989), hlm, 227

[9] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik hlm, 138

[10] Mujamil Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), cet. I, hal. 328

[11] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistikhlm, 142

[12] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan… hlm, 167

[13] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan… hlm, 168

[14] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan… hlm, 168

[15] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan…hlm, 168