Ebing Karmiza
Saat ini harus jujur mengatakan bahwa umat Islam sudah tertinggal
dengan dunia barat dari ilmu pengetahuan, namu jika mau kembali kebelakang umat
Islam pernah memiliki peradaban intelektual yang tinggi dengan
tradisi-tradisinya. Tradisi intelektual Islam berkembang
melalui tiga periode yaitu zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman modern. Ketiga zaman ni memiliki karakteristik dan metode yang berbeda dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam,
walaupun zaman klasik memiliki pengaruh yang
kuat mengenai keberkembangan
tradisi intelektual Islam pada zaman selanjutnya. Tulisan ini dikedepankan sebagai usaha untuk memberikan pemahaman dan pemaknaan yang
tepat, bagaimana Islam menjadi bagian yang tidak terpisah bagi pengembangan
intelektualitas kaum muslim yang lebih dikenal dengan tradisi intelektual Islam (islamic intellectual tradition) dan masih berlangsung sampai saat ini terutama di wilayah Indonesia.
Tulisan ini berupaya untuk mencoba
untuk menguraikan dan memperlihatkan Islam memiliki peran yang
penting dalam membangun tradisi
intelektual yang dimulai melalui pengajaran di pondok dan/atau pesantren.
Metode yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan analitis. Zaman
klasik memberikan sumbangan terhadap
pengembangan keintelektualan dengan menempatkan metode yang
berkembang dalam pengajaran dan pendidikan yang dipraktekkan mulai zaman Nabi Muhammad Saw yaitu metode metode, tulisan, dan hafalan. Zaman Pertengahan
memiliki sumbangan
terhadap
munculnya institusi-institusi yang membantu dan mengembang tradisi intelektual Islam. Zaman Modern merupakan pergulatan tradisi intelektual Islam Indonesia, yang melahirkan dua kelompok kaum muda
dan
kaum tua. Kaum muda mengedepankan pentingnya pembaharuan pemikiran dalam ranah pemahaman Islam, dengan metode mengembalikan Islam pada tempatnya melalui pemahaman ajaran Islam yang
menghilangkan sisi taqlid dan memurnikan
ajaran Islam.
Dalam buku Abudin Nata Sejarah Sosial dan Intelektual Islam,
menjelaskan kurang lebih ada sembilan
tradisi intelektual yang berkembang di kalangan umat Islam di antaranya,
tradisi rihla ilmiah, tradisi berijtihad, tradisi menghafal, tradisi meneliti,
tradisi membaca, menulis, mensyarah dan mentahqiq, tradisi mengoleksi buku dan
membangun perpustakaan, tradisi munazarah, tradisi wakaf dan membangun pendidikan.[1]
Namun dalam paper ini selanjutnya mencoba membahas secara sederhana beberapa saja yang menjadi ciri khas tradisi intelektual di Kalangan Umat Islam yaitu khususnya yang paling pokok sebagai penunjang kelahiran tradisi intelektual lainnya, yaitu tradisi membaca, menulis dan meneliti.
1. Tradisi Membaca, Menulis dan Mensyarah
Gerakan
intelektual, kebudayaan dan peradaban sesungguhnya dimulai dari gerakan membaca
dan menulis yang sudah menjadi tradisi. Sebagai akibat dari adanya tradisi
meneliti, maka dengan sendirinya lahirlah tradisi membaca dan menulis. Hal
seperti itu tidak akan terjadi karena seseorang tidak akan terdorong untuk
meneliti, jika hasil penelitian tersebut tidak dibaca. Demikian juga seseorang
tidak akan mungkin dapat menulis jika tidak memiliki tradisi membaca. Dengan
demikian tradisi meneliti, membaca dan menulis sangat berkaitan.[2]
Melalui
kegiatan membaca dan menulis lahirlah berbagai karya tulis, mulai dari
manuskrip yang dicetak menjadi buku yang membahas berbagai bidang ilmu agama,
ilmu umum, ilmu bahasa, sastra, seni dan lainnya. Dengan demikian lahirnya
tradisi mensyarah yakni menjelaskan lebih jauh mengenai isi karangan tersebut,
mulai dari memberikan komentar atau catatan ilmiah mengenai karya tersebut.
Tradisi ini masih dipelihara oleh ulama, khususnya di kalangan Syiah.[3]
2. Tradisi Meneliti
Secara epistemologi terdapat lima model penelitian, yaitu penelitian
bayani, penelitian burhani, penelitian ijbari, penelitian jadali dan penelitian
irfani.
a. Metode al-Bayani/al-Tabyin
Al-Bayani atau al-Tabyin berasal dari bahasa
Arab, bayyana yang berarti menerangkan atau menjelaskan. Kosakata ini
antara lain digunakan dalam ayat: “Dan Kami turunkan al-zikra (al-Qur’an)
kepadamum agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl, 16:44).
Dan juga dapat dipahami dari ayat: “Hai orang-orang yang beriman, Jika
seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan
(kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”(Q.S. al-Hujurat,
49:6). Melalui proses tabayyun ini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal (global), mutlaq, ‘aam
(umum), mutaradif, dan yang secara lahiriyah terkesan berlawanan,
sehingga ajaran al-Qur’an tersebut secara teoritis, teknis dan praktis dapat
dilaksanakan. Hasil penjelasan Nabi melalui metode tabayyun dituangkan
dalam hadisnya baik yang bersifat ucapan, perbuatan maupun persetujuan.[4]
Mulyadhi Kartanegara mengatakan, bahwa metode bayani telah ditempuh oleh
para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam rangka memahami kitab suci sebagai
bahasa simbolis.[5] Dengan
metode ini, para pakar pendidikan Islam dapat memahami, dan menghasilkan
dasar-dasar, prinsip-prinsip, pedoman, orientasi, visi, misi dan tujuan tentang
berbagai aspek pendidikan.
b. Metode Ijbari
Kosakata ijbari berasal dari bahasa Arab ajbara
yujbiru ijbaaran yang berarti memaksa, menekan atau merusak. Orang yang
melakukannya disebut al-Mujbir, atau al-Jabbar. Salah satu sifat
Tuhan adalah al-Jabbar. Sebagai sebuah metodologi al-Ijbari sama
dengan eksperimen atau uji coba, yang langkah-langkahnya antara lain:
(1)menyusun hipotesis atau daftar pertanyaan; (2)menyiapkan bahan atau objek
yang akan diuji coba, seperti binatang kera, anjing atau gajah; tumbuh-tumbuhan,
bahan makanan, minuman, dan sebagainya; (3)menyiapkan peralatan laboratorium
yang akan digunakan; (4)melakukan langkah-langkah yang ditetapkan;
(5)menganalisis dengan pendekatan komparasi, dan (6)menyimpulkan.[6] Metode
ini digunakan untuk pengembangan sains atau ilmu terapan. Al-Razi, ahli kimia
dan ahli kedokteran klinik dengan bukunya al-Hawiy; Ibn Sina, ahli
kedokteran klinik dan medik dengan bukunya al-Qanun fi al-Thibb, adalah hasil
penelitian eksperimen.[7]
Penggunaan metode ijbari dalam ilmu pendidikan Islam, nampak masih belum
banyak menarik minat dan perhatian sarjana Muslim dibandingkan dengan metode bayani,
irfani atau jadali. Metode ijbari banyak menarik minat para
peneliti pendidikan Barat yang menghasilkan model-model dan pendekatan dalam
model pembelajaran, model evaluasi, disain kurikulum, teori-teori motivasi
dengan menggunakan teori-teori dasar psikologi. Ke depan, para pakar pendidikan
Islam perlu memperbanyak pengembangan ilmu pendidikan dengan menggunakan metode
ijbari, sebagaimana yang telah dirintis oleh Mahmud Yunus dalam bukunya al-Thariqah
al-Mubasyarah dengan pendekatan all in one atau three in one,
yakni aspek bahasa: nahu, syaraf dan balaghah. Uji coba metode ini dilakukan di
Sumatera Thawalib di Sumatera Barat, yang selanjutnya dikembangkan oleh salah
seorang muridnya, Imam Zarkasyi, di Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo,
Jawa Timur. Kemudian disusul oleh H.D.Hidayat dengan bukunya al-Arabiyah bi
Nawaziz.
c. Metode Burhani (Observasi)
Kosakata burhan berasal dari kata baraha,
yabrohu, buhaanan, yang artinya keterangan, fakta atau data. Imam al-Zarqni
misalnya menggunakan kata burhan untuk kitabnya yang berjudul al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an. Sebagai sebuah metodologi, al-Burhan dapat diartikan
observasi atau pengamatan dengan menggunakan pancaindera. Dengan menggunakan
pancaindera:penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pencicipan,
dapat mengenal objek-objek yang ada di se keliling kita dari lima
dimensinya:bentuk, bunyi, bau, raba dan rasanya. Selain itu dengan observasi
juga dapat diperoleh informasi tentang bahaya atau manfaat dari benda-benda
tersebut bagi diri kita penelitian jenis ini dianggap penelitian yang paling
bisa diandalkan. Padahal hasil pengamatan indriawi tidaklah cukup untuk memberi
atau mencerap objek-objek fisik itu sebagaimana adanya. Ibn Haitsan (w.1039)
dalam bukunya al-Manazhir, telah dengan cermat menjelaskan
ketidakmampuan mata untuk bisa mempersepsi objek-objeknya secara
akurat, dengan menjelaskan beberapa sebabnya. Menurutnya, akurasi pengamatan
mata bisa terganggu oleh beberapa faktor: (1)jarak yang terlalu jauh; (2)ukuran
yang terlalu kecil; (3)pencahayaan yang terlalu terang; (4)pencahayaan yang
terlalu redup; (5)terlalu lama memandang; (6)kondisi mata yang tidak sehat, dan
(7)transparansi.[8]
Ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, arkeologi, antropologi,
fenomenologi, dan etnografi misalnya adalah hasil penelitian dengan
metode burhani. Namun demikian, ada pula yang memasukkan metode burhani ini
sebagai bagian dari metode jadali atau metode rasional (burhani) diartikan demonstratif.[9] Riset
dengan metode al-burhani banyak dilakukan oleh para sarjana Barat yang
menghasilkan buku tentang sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, sejarah
pendidikan, antropologi pendidikan, politik pendidikan dan lain sebagainya.
Beberapa pakar pendidikan Islam yang meneliti pendidikan Islam dengan metode
burhani ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan metode ijbari.
Hasilnya antara lain: Sejarah Pendidikan Islam oleh Mahmud Yunus, yang
dilanjutkan oleh Karel Steenbrink, Deliar Noer, Zamakhsyari Dhofier, M. , Hanun Asrohah, Abuddin Nata, dan
yang lainnya.
d. Metode Jadali
Kosakata Jadali berasal dari bahasa Arab, al-jidal
yang secara harfiah berarti perdebatan atau dialektik yang oleh Mulyadhi
Kartanegara sebagaimana dikemukakan di atas, terdiri dari yang paling paling
rendah pada yang tertinggi, yaitu: syi’ri (puitis), khitabi (retorik),
mughalithi (sofistik), jadali (dialektik) dan burhani
(demonstratif). Mujamil Qomari memasukan metode jadali sebagai
salah satu metode epistemologi pendidikan Islam.[10] yaitu upaya menggali
pengetahuan pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan
dalam bentuk percakapan (tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih
berdasaran argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Metode ini banyak ditujukan oleh al-Qur’an antara lain dengan kalimat “yas’aluunaka”
(mereka bertanya kepamu), dan Qul yang berarti katakanlah. Misalnya tentang
apa yang mereka nafkahkan (Q.S. al-Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram
(Q.S.al-Baqarah, 2:217), khamar dan judi, (Q.S.al-Baqarah, 2: 219)
anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:, 220), haid (Q.S.al-Baqarah, 2:
222), (Q.S. al-Maidah, 5:4, (Q.S. al-Anfaal, 8:1), (Q.S.al-Isra’,
17:85).
e. Metode irfani
Kosakata irfani berasal dari bahasa Arab
berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, irfaanan, dan ma’rifah, yang
secara harfiah berarti pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dengan
menggunakan indera batin, hati nurani atau intuisi. Mulayadhi Kartanegara,
mengatakan, metode irfani tidak didasarkan pada pengamatan indriawi atau
intelektual (akal) tetapi lebih pada pengamatan intusi.[11] Di kalangan ulama atau
sarjana Muslim penggunaan metode irfani yang berbasis intuisi sudah
tidak mengalami penolakan, melainkan sudah menerimanya, dengan nama yang
berbeda-beda. Al-Ghazali menyebutnya al-ma’rifah, Ibn Sina menyebutnya al-Faid
(emanasi-limpahan), al-Syirbashy menyebutnya Ilmu Mauhubah, Syuhrawardi
menyebutnya al-Isyraqiyah, ulama menyebutnya ilmu laduni.
3. Tradisi Mengoleksi Buku dan Membangun Perpustakaan
Seiring
lahirnya tradisi meneliti, membaca, menulis dan mensyarah serta mentahqiq
tersbeut, timbul pula tradisi mengoleksi buku dan membangung perpustakaan.
Tradisi ini lahir sebagai ekpresi dari kecintaan kepada ilmu pengetahuan.
Demikian cintanya, mereka tidak segan-segan melakukan perjalanan ke berbagai
negara guna memburu dan mendapatkan buku, memberikan upah yang tinggi kepada
para penulis buku, menghormati, memuliahkan dan memfasilitasi ulama dan ilmuwan
agar mau menulis buku.[12]
Buku-buku
tersebut mereka simpan di perpustakaan, mulai dari perpustakaan pemerintah
pusat, pemerintah daerah, hingga perpustakaan pribadi. Banyaknya buku yang mereka
simpan dan miliki pada perpustakaan akan menjadi salah satu lambing kejayaan,
keunggulan dan kehebatan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perorangan.
Mereka menganggap bahwa perpustakaan merupakan jantung yang mempergerakkan urat
nadi dan gerakan kebudayaan dan peradaban Islam.[13]
Tradisi ini
masih terjaga di kalangan umat Islam namun perpustakaan yang berkembang di
Erofa dan Barat jauh lebih maju daripada perpustakaan di dunia Islam. Hal ini
terjadi sebagai akibat kemajuan dalam bidang penelitian mereka ditopang oleh
para tenaga peneliti yang handal dan professional, serta dukungan biaya yang
cukup besar.[14]
4. Tradisi Debat
Tradisi munazarah atau debat
merupakan salah satu kegemaran yang muncul di kalangan para ulama dan ilmuan.
tradisi ini dilakukan dalam upaya saling
menguji tingkat kedalaman, keluasan,
ketajaman dan daya analisis, dan kecerdasan seorang ulama serta dalam
rangka saling tukar menukar informasi dan memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi. Tradisi ini terjadi akibat dari rasa saling ingin tahu, ingin
memperluas wawasan, menghargai perbedaan pendapat, serta perasaan bahwa ilmu
yang dimiliki masih dirasa sangat kurang.[15]
Kegiatan ini biasanya dilakukan dalam suatu majelis yang di sediakan oleh pemerintah atau dalam forum tertentu, dan terkadang di inisiasi oleh pemerintah pusat dan daerah serta dilaksanakan dalam suatu forum yang dinamakan al-salon al adabiyah ( sanggar sastra). Setiap peserta debat harus mematuhi etika yang ada di dalam forum tersebut, mulai dari tata tertib, susunan tempat duduk, cara berpendapat, saran dan pendapat, pakaian yang digunakan, pengaturan suara, sopan santu dan lain-lainnya. Dalam debat tersebut para intelektual muslim saling memberikan penafsiran, perspektif, sudut pandang, dan kritik dengan cara yang santu dan bersahabat.[16]
Majunya
umat Islam di masa Bani Ummayah dan Abbasiyah adalah hidupnya tradisi membaca,
menulis dan meneliti di kalangan umat Islam. Dari tiga hal inilah muncul
tradisi-tradisi lainnya mulai dari berdebat, membangun perpustakaan. Artinya
apa yang Allah Swt isyaratkan dalam al-Qur’an dengan kata “Iqro” dalam Q.S
Al-Alaq, bermakna lebih luas bukan hanya sekedar membaca, namun diawali dengan
membaca akan punya keingingan untuk menulis, dan meneliti, maka dari membaca,
menulis dan meneliti akan melahirkan sebuah karya baik berupa buku atau hasil
penelitian, banyaknya hasil karya akan melahirkan tradisi pengumpulan buku dan
perpustakaan dan juga adanya perebedaan dalam hasil penelitan akan melahirkan debat
ilmiah. Hal-hal inilah yang melahirkan peradaban yang maju yaitu peradaban ilmu
pengetahuan. Namun di era saat ini umat Islam belum maksimal dalam hal
tersebut, maka yang lebih banyak digunakan adalah karya-karya orang barat. Maka
dari itu untuk lebih maju dan membangkitkan peradaban Islam yang telah mati,
tradisi membaca, menulis dan meneliti harus diperkuat lagi.
Tradisi membaca, menulis dan meneliti di kalangan umat Islam yang pernah menjadi tradisi intelektual umat Islam di masa Umayah dan Abbasiyah telah memudar, minat membaca, menulis dan meneliti hanya dilakukan oleh kalangan akademik itupun karena kebutuhan profesi bukan karena kecintaan pada ilmu pengetahuan. Maka untuk menghidupkan kembali masa-masa kejayaan tersebut umat Islam harus menghidupkan kembali tradisi tersebut. Dari tradisi membaca menulis dan meneliti akan lahir tradisi-tradisi intelektual lainnya
Referensi
Ibn Haitsam, The Optics of Ibn Haytham (Kitab Manadzhir), terjer. A.I. Sabra, London, The Warburg Institut University of London, 1989
Kartanegara, Mullyadhi, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta, UIN Jakarta Press, dan Bandung, Arasy Mizan, 2005
Nata, Abudin Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012, Cet-1
_______, Studi Islam Komprehensif, Jakarta:Prenada Media, 2011, cet. I
_______, Metodologi Studi Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012
Qomari, Mujamil, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta, Erlangga, 2005
[1] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual
Islam dan Institusi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012,
Cet-1), hlm, 155
[2] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan… hlm, 166
[3] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan… hlm, 167
[4] Abuddin Nata, Studi
Islam Komprehensif, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I, hlm, 37-42.
[5] Mullyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik, (Jakarta:UIN
Jakarta Press, dan Bandung:Arasy Mizan, 2005), hlm, 136
[6] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2012), hlm, 89
[7] Mullyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik…hlm, 136
[8].Mulyadhi Kartanegara, op
cit, hal.134; Ibn Haitsam, The Optics of Ibn Haytham (Kitab Manadzhir), terjer.
A.I. Sabra, (London:The Warburg Institut University of London, 1989), hlm, 227
[9] Mullyadhi
Kartanegara, Integrasi Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik… hlm, 138
[10] Mujamil
Qomari, Epistimologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), cet. I, hal. 328
[11] Mullyadhi Kartanegara, Integrasi
Ilmu sebuah Rekonstruksi Holistik…hlm, 142
[12] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan… hlm, 167
[13] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan… hlm, 168
[14] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan… hlm, 168
[15] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikan…hlm, 168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar