Dr. Ebing Karmiza, A.Ma, S.Ud, S.E, M.Si
PENDAHULUANPernikahan telah menjadi bagian integral dari perjalanan peradaban manusia, melintasi zaman, budaya, dan geografi. Dalam berbagai fase sejarah, pernikahan tidak hanya berfungsi sebagai penyatuan dua individu, tetapi juga sebagai fondasi pembentukan masyarakat. Melalui pernikahan, lahir unit-unit keluarga yang menjadi dasar dari tatanan sosial dan peradaban. Hubungan emosional yang dibangun melalui pernikahan memperkuat jaringan sosial, menciptakan stabilitas, dan menumbuhkan solidaritas antargenerasi.
Sebagai sebuah institusi sosial, pernikahan mengikat manusia dalam jaringan hukum dan norma yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hukum adat, perundang-undangan negara, maupun hukum agama masing-masing berupaya mengatur bagaimana hubungan ini dijalani dan dipertahankan. Kehadiran peraturan dalam pernikahan bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, mencegah konflik, serta memastikan keberlanjutan hubungan yang harmonis di tengah masyarakat yang lebih luas. Ikatan hukum ini mempertegas bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan privat, melainkan memiliki implikasi sosial dan legal yang signifikan.
Lebih dalam lagi, pernikahan menyentuh ranah spiritual manusia. Dalam banyak kepercayaan, pernikahan dipandang sebagai penyatuan dua jiwa di hadapan kekuatan transendental. Ia bukan hanya kontrak duniawi, tetapi juga perjanjian suci yang membawa nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, pengorbanan, dan pengabdian. Melalui pernikahan, manusia menjalani proses penyempurnaan diribelajar mencintai tanpa syarat, bertumbuh bersama dalam suka dan duka, serta melatih kebajikan-kebajikan yang menjadi landasan kedewasaan spiritual.
Keseluruhan makna pernikahan itu, terdapat tiga dimensi besar yang saling bersinggungan dan memperkaya: tradisi, agama, dan fitrah manusia. Tradisi memberikan konteks budaya yang membingkai nilai dan praktik pernikahan. Agama memberikan arah spiritual dan moral terhadap tujuan hubungan ini. Sementara fitrah manusia menggerakkan hasrat terdalam untuk mencintai, berbagi hidup, dan membangun keturunan. Memahami ketiga aspek ini secara komprehensif penting agar makna pernikahan tidak tereduksi menjadi seremoni kosong atau sekadar pemenuhan tuntutan sosial semata, melainkan menjadi perjalanan suci menuju pembentukan kehidupan yang bermakna dan utuh.
Pernikahan Perspektif Tradisi
Pernikahan dalam berbagai budaya di dunia bukan sekadar penyatuan dua insan, tetapi merupakan bagian dari mekanisme sosial untuk menjaga kesinambungan nilai, norma, dan identitas kolektif. Dalam tradisi, pernikahan memiliki fungsi strategis untuk memperkuat jaringan sosial, memperluas hubungan antar komunitas, dan menegaskan kesinambungan generasi. Melalui ikatan pernikahan, keluarga tidak hanya melanjutkan keturunan, tetapi juga menjaga stabilitas sosial, warisan budaya, serta kehormatan keluarga besar.
Menurut Geertz (1973), adat istiadat yang melingkupi prosesi pernikahan mencerminkan struktur sosial dan peran sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Melalui ritual-ritual yang dijalankan, masyarakat menegaskan posisi sosial, status keluarga, serta hak dan kewajiban antar individu dalam komunitas. Upacara-upacara yang diadakan, mulai dari lamaran hingga pesta pernikahan, seringkali disusun sedemikian rupa untuk memperlihatkan nilai kehormatan, solidaritas, dan kesatuan sosial.
Tradisi juga memperkaya makna pernikahan melalui simbol-simbol dan ritus yang memiliki makna mendalam. Setiap elemen dalam ritual pernikahan—seperti pakaian adat, sesaji, doa, hingga susunan acara—mencerminkan falsafah hidup masyarakat. Dalam banyak budaya, simbolisme ini mengajarkan nilai tentang kesetiaan, kesuburan, keharmonisan, dan pengabdian dalam pernikahan. Ritual tersebut menjadi media pendidikan sosial yang memperkenalkan pasangan baru kepada nilai dan tanggung jawab pernikahan dalam budaya mereka.
Contohnya, dalam budaya Jawa, prosesi siraman dan panggih menegaskan pentingnya peran keluarga besar dalam membangun harmoni dalam pernikahan. Siraman, ritual penyucian diri, melambangkan kesiapan lahir batin calon pengantin untuk memasuki fase kehidupan baru. Sedangkan prosesi panggih, yaitu pertemuan simbolis kedua mempelai, menandai persatuan dua keluarga besar dalam satu ikatan yang diharapkan penuh kedamaian dan kerukunan.
Tradisi ini menggarisbawahi bahwa pernikahan bukan sekadar keputusan individual yang bersifat privat, melainkan peristiwa komunal yang melibatkan banyak pihak. Setiap langkah dalam tradisi mengingatkan bahwa kehidupan pernikahan tidak hanya tentang relasi pribadi, tetapi juga tentang menjaga keharmonisan sosial, mempererat hubungan kekeluargaan, dan mempertahankan identitas budaya dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, dalam perspektif tradisi, pernikahan adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia menjadi media vital untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang, sekaligus membentuk tatanan sosial yang berkelanjutan. Tanpa pemahaman terhadap akar tradisi, pernikahan dapat kehilangan makna historis dan sosialnya, menjadikannya rentan terhadap perubahan sosial yang instan dan dangkal.
Pernikahan dalam Perspektif Agama
Agama-agama besar di dunia memberi tempat istimewa bagi pernikahan sebagai bagian integral dari ketaatan manusia kepada kehendak Ilahi. Di berbagai tradisi keagamaan, pernikahan bukan hanya dianggap sebagai kontrak sosial, melainkan juga sebagai perjanjian sakral yang disahkan oleh Tuhan. Dalam konteks ini, pernikahan memiliki dimensi spiritual yang lebih dalam, menghubungkan pasangan tidak hanya dalam aspek duniawi, tetapi juga dalam perjalanan keabadian.
Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai mitsaqan ghaliza, yakni suatu perjanjian yang kuat dan penuh tanggung jawab sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. An-Nisa: 21). Islam menempatkan pernikahan sebagai sunnah Nabi yang memiliki kedudukan luhur, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan naluriah, melainkan untuk menjaga martabat, membangun keluarga sakinah, serta memperkuat struktur masyarakat Muslim yang sehat dan harmonis. Melalui akad nikah, laki-laki dan perempuan berkomitmen untuk saling melindungi, mengayomi, dan membangun keturunan dalam bingkai nilai tauhid.
Sementara itu, dalam ajaran Hindu, pernikahan merupakan bagian dari dharma atau tugas suci yang wajib dijalani untuk melanjutkan kesinambungan moral dan spiritual masyarakat. Das (2003) menjelaskan bahwa pernikahan dalam Hindu bukan sekadar hubungan antara dua individu, melainkan satu bentuk upacara keagamaan yang membawa dua jiwa dalam ikatan karma bersama. Tujuan pernikahan dalam tradisi Hindu adalah untuk mendukung satu sama lain dalam perjalanan menuju moksha (pembebasan spiritual), sekaligus memenuhi kewajiban sosial dan religius.
Ajaran agama-agama ini menggarisbawahi bahwa pernikahan melampaui pemenuhan kebutuhan biologis atau emosional semata. Pernikahan dilihat sebagai sarana untuk membentuk komunitas kasih, di mana dua individu saling menguatkan dalam menghadapi tantangan hidup, memperkokoh nilai kebajikan, dan mendidik generasi penerus dalam prinsip-prinsip moral yang luhur. Dalam komunitas tersebut, pernikahan berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap kehancuran moral dan sosial.
Dengan demikian, dalam perspektif agama, pernikahan bukan hanya tindakan personal, melainkan juga sebuah tanggung jawab spiritual yang berat. Ia mengharuskan pasangan untuk menempatkan hubungan mereka dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, membangun relasi yang dilandasi oleh kasih sejati, kesetiaan, dan pelayanan tanpa pamrih. Di tengah arus sekularisasi zaman modern, menghidupkan kembali makna spiritual pernikahan menjadi tantangan sekaligus panggilan untuk menjaga kesakralan lembaga suci ini.
Pernikahan dan Fitrah Manusia
Secara psikologis dan antropologis, manusia memiliki kebutuhan alamiah untuk hidup berpasangan dan membentuk ikatan emosional yang kuat. Kebutuhan ini merupakan bagian dari kodrat dasar manusia, yang menginginkan kehadiran orang lain untuk berbagi kasih sayang, perlindungan, dan dukungan emosional. Abraham Maslow (1943), dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia, menempatkan rasa cinta dan memiliki (love and belonging) sebagai salah satu kebutuhan mendasar setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan. Artinya, kecenderungan untuk membentuk relasi yang penuh cinta bukanlah sekadar keinginan sosial, melainkan kebutuhan eksistensial yang melekat pada struktur jiwa manusia.
Dalam konteks ini, pernikahan menjadi wahana utama untuk memenuhi dorongan fitrah tersebut. Melalui pernikahan, manusia menemukan ruang aman untuk mengekspresikan cinta, membangun keintiman emosional, dan menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Ikatan pernikahan bukan hanya soal kehadiran fisik pasangan, tetapi juga tentang membangun kedekatan batiniah, kepercayaan, dan komitmen yang kuat. Kehadiran pasangan hidup memberikan rasa kebermaknaan dan rasa diterima, yang pada gilirannya memperkuat kesejahteraan psikologis individu.
Lebih jauh lagi, pernikahan juga berfungsi sebagai sarana untuk memperpanjang eksistensi manusia melalui keturunan. Dorongan untuk melanjutkan garis keturunan merupakan bagian integral dari fitrah manusia, yang secara biologis dan sosial diaktualisasikan melalui pernikahan. Keluarga yang dibentuk dari pernikahan menjadi wadah utama untuk menanamkan nilai, tradisi, serta kearifan hidup kepada generasi berikutnya. Dengan demikian, pernikahan tidak hanya memenuhi kebutuhan individual, tetapi juga berkontribusi terhadap kesinambungan budaya dan peradaban manusia.
Ketika kebutuhan akan cinta, keintiman, dan keberlanjutan eksistensi ini terpenuhi secara sehat dalam bingkai pernikahan, individu berpotensi mencapai tingkat aktualisasi diri yang lebih tinggi. Aktualisasi diri, sebagaimana dijelaskan oleh Maslow, adalah puncak perkembangan manusia di mana individu mampu mengembangkan potensi terbaiknya. Pernikahan yang sehat menyediakan lingkungan emosional yang mendukung pertumbuhan, memungkinkan individu untuk mengejar makna hidup, berkontribusi secara positif kepada masyarakat, dan mencapai kebahagiaan batiniah yang lebih dalam.
Namun, pemenuhan fitrah manusia melalui pernikahan bukanlah proses otomatis. Diperlukan usaha sadar dari kedua belah pihak untuk membangun hubungan yang dilandasi oleh kasih sayang, komunikasi yang sehat, komitmen jangka panjang, dan kesiapan untuk menghadapi tantangan bersama. Pernikahan yang gagal memenuhi kebutuhan dasar ini justru dapat menyebabkan frustrasi, keterasingan, dan kegagalan individu untuk mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itu, kesiapan mental, emosional, dan spiritual menjadi prasyarat penting dalam membangun pernikahan yang mampu mewadahi fitrah manusia secara optimal.
Dengan demikian, pernikahan dalam perspektif fitrah manusia adalah lebih dari sekadar ikatan hukum atau budaya; ia adalah ekspresi terdalam dari kebutuhan manusia untuk mencintai, berkembang, dan bermakna. Menyadari aspek ini mengajak kita untuk memandang pernikahan tidak hanya sebagai institusi sosial, tetapi juga sebagai jalan penting dalam perjalanan menjadi manusia yang utuh dan paripurna.
Analisis Penulis
Melihat ketiga dimensi di atas, penulis menilai bahwa makna pernikahan menghadapi tantangan besar di era modern. Gelombang globalisasi, perubahan budaya, serta penguatan nilai-nilai individualisme telah menggeser pandangan masyarakat tentang pernikahan. Bagi sebagian kalangan, pernikahan tak lebih dari sekadar kontrak legal yang sah secara hukum, atau sekadar romantisisme emosional yang berpusat pada kebahagiaan pribadi. Pergeseran ini secara perlahan mengikis akar tradisi, mengaburkan nilai-nilai agama, serta menyingkirkan kebutuhan fitrah manusia yang lebih dalam akan cinta, pengabdian, dan keberlanjutan komunitas.
Dalam kondisi ini, pernikahan kehilangan dimensi sakral dan sosialnya, berubah menjadi hubungan transaksional yang rentan terhadap ketidakstabilan. Ketika tradisi dipandang usang, agama dianggap beban, dan fitrah manusia diabaikan dalam arus konsumtif budaya modern, pernikahan mudah terombang-ambing oleh gejolak emosi sesaat dan tekanan eksternal. Fenomena tingginya angka perceraian, pernikahan tanpa komitmen jangka panjang, dan menurunnya apresiasi terhadap lembaga keluarga adalah refleksi nyata dari hilangnya pemahaman mendalam tentang makna sejati pernikahan.
Pernikahan ideal seyogianya dipahami sebagai jembatan multidimensional yang menghubungkan berbagai aspek kehidupan manusia. Menghormati tradisi sebagai warisan kolektif berarti menjaga identitas, menghargai akar budaya, dan memperkuat jaringan sosial yang telah terbentuk lintas generasi. Menjunjung agama sebagai panduan moral berfungsi untuk menuntun pasangan dalam menghadapi ujian hidup, membangun rumah tangga yang berorientasi pada kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Menyadari fitrah manusia untuk hidup dalam cinta dan komunitas berarti memahami bahwa kebutuhan untuk mencintai dan dicintai adalah bagian hakiki dari eksistensi manusia yang harus dipenuhi secara sehat dan bermakna.
Tanpa kesadaran terhadap ketiga aspek ini, pernikahan menjadi rapuh, mudah runtuh di hadapan tekanan ekonomi, perubahan sosial, atau sekadar ketidakpuasan emosional. Pernikahan yang hanya dibangun di atas fondasi perasaan sesaat atau kontrak formal semata akan kehilangan daya tahan ketika diuji oleh realitas kehidupan. Ia kehilangan kekuatannya sebagai tempat bertumbuh, belajar, dan berbagi dalam suka maupun duka.
Sebaliknya, ketika tradisi, agama, dan fitrah manusia diintegrasikan secara harmonis dalam kehidupan pernikahan, hubungan tersebut tidak hanya bertahan terhadap tantangan zaman, tetapi juga menjadi sumber pertumbuhan pribadi dan sosial yang berkelanjutan. Pernikahan seperti ini mampu memperkaya pengalaman hidup, mengokohkan moralitas sosial, dan menjadi fondasi bagi terciptanya masyarakat yang sehat dan beradab. Ia menjadi medan latihan kesabaran, kasih sayang, keberanian, dan kebijaksanaan yang membentuk karakter individu dan keluarga yang kuat.
Dengan demikian, revitalisasi makna pernikahan di era modern menuntut kesadaran kolektif untuk kembali memahami pernikahan sebagai peristiwa yang sakral, bermakna, dan integral dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan membangun kembali kesadaran ini, pernikahan dapat kembali menjadi pondasi utama peradaban yang beradab, seimbang, dan berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar