Minggu, 01 November 2020

SEJARAH PERILAKU SUAP DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

 Ebing Karmiza

Pendahuluan

 

Suap bagaikan penyakit menular yang sangat ganas, menjalar dan menular dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Fakta dan realitas yang ada memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat cenderung mempraktekkan suap untuk mempermudah segala urusan. Bagi kelompok ini, seolah-olah tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat suap[1].  Suap masih dianggap sebagai hal yang wajar, lumrah dan tidak berdosa. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.

Praktek suap-menyuap merupakan salah satu penyakit sosial yang semakin hari semakin kronis menggejala di Indonesia. Jika melihat sejarah, merebaknya perilaku suap dalam kehidupan masyarakat saat ini sebenarnya bukan merupakan hal baru, akan tetapi sudah mewarnai kehidupan sosial generasi zaman terdahulu dan bahkan sudah dikenal pada masa Nabi Sulaiman A.S dan pra kerasulan Muhammad saw[2].

Pada masa Nabi Sulaiman, praktek suap menyuap ini pernah dilakukan oleh Ratu Saba (Balqis). Suatu ketika, Nabi Sulaiman menulis surat  kepada  Ratu  Saba   untuk  mengajaknya  mengesakan  Allah  Swt, sebagaimana dilukiskan dalam Q.S An-Naml: 29-30

Artinya:”Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”[3]

Begitu Ratu Saba membaca surat Nabi Sulaiman tersebut, kemudian mengadakan rapat bersama pembesar-pembesar kerajaan. Para pembesar tersebut mengusulkan untuk menggelar kekuatan militer untuk memerangi Nabi Sulaiman. Namun Ratu tidak sependapat, dan lebih memilih jalur diplomasi dan negosiasi dengan cara memberi hadiah (suap) kepada Nabi Sulaiman, seperti yang digambarkan dalam Q.S An-Naml: 35

Artinya: “ Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu"[4]

Inilah potret nyata dari kasus suap yang pernah dilakukan oleh Ratu Sabakepada Nabi Sulaiman, dengan asumsi Nabi Sulaiman bisa dipengaruhi dan dibeli serta membiarkan Ratu Saba’ dalam kemusyrikan dan kesesatan hidup[5]

Meskipun  sudah  ada  sejak  lama,  Undang-undang  Tindak  Pidana Suap di Indonesia baru muncul pada tahun 1980. Bermula dari adanya peristiwa   penyuapan   di   kalangan   olahraga   (sepak   bola)   yang   ramai dibicarakan oleh masyarakat pada waktu itu yang kemudian melahirkan UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (LN tahun 1980 No. 58) yang disahkan dan mulai berlaku pada 27 Oktober 1980[6].  Namun dalam Undang- undang ini terdapat batasan terhadap tindak pidana suap, yaitu menyangkut kepentingan umum,  jadi praktek suap yang bersifat individual tidak dapat dipidana.

Adapun defenisi suap yaitu

 Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)[7]

 

Jika perilaku suap dilakukan secara  terus-menerus  membuat  suap  menjadi  tindakan  yang  seolah-olah “dibenarkan” , bukan lagi dianggap sebagai suatu yang salah atau perbuatan dosa dan haram.  Bahkan   masyarakat   menganggap   suap   sebagai   hal   yang sudah biasa tidak aneh lagi. Sudah menjadi rahasia umum bila sebagian masyarakat hingga kini masih beranggapan,  untuk  menjadi  Pegawai  Negeri  Sipil (PNS) atau  anggota  TNI/Polri bisa melalui

jalan dengan  suap yang bernilai hingga puluhan ratusan rupiah. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah.

Suap-menyuap tidak hanya dilakukan rakyat kepada pejabat Negara (pegawai  negeri) dan  para penegak  hukum,  tetapi  juga sebaliknya.  Pihak penguasa atau calon penguasa tidak jarang melakukan sedekah politik (suap) kepada tokoh-tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya, mendukung keputusan politik, dan kebijakan-kebijakannya.

Sudah rahasia umum dan membudaya bahwasannya dalam sektor pelayanan publik kegiatan suap menyuap menjadi hal yang lumrah, dalam skala kecil, kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dimana suap menjadi alasan agar mempermudah jalannya proses administrasi pelayanan publik’’ uang pelicin”. Dalam kajian keislaman sendiri, hukum suap sudah jelas yaitu haram, sebagaimana dijelaskan Yusuf Qordhowi dalam buku yang berjudul “Halal dan Haram” bahwa termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil adalah  makan harta suap yaitu harta yang diberikan kepada orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk memenangkan, mengalahkan pihak lawan, memuluskan proyek dan sesungguhnya tidak layak bagi dirinya[8] sebagaimana dijelaskan dalam Q.S  Al-Baqarah:188

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”[9]

 

            Menurut Quraish Shihab ayat di atas mengisyaratkan bahwa janganlah sebagian manusia mengambil harta orang lain untuk menguasainya tanpa hak dan jangan pula menyerahkan urusan harta kepada hakim yang berwenang memutuskan perkara bukan untuk tujuan memperoleh hak kalian akan tetapi untuk memperoleh hak orang lain dengan melakukan dosa dan dalam keadaan mengetahui bahwa kalian sebenarnya tidak berhak[10]. Kemudian diperkuat dalam Q.S Al-Ma’idah: 42

سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ أَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَإِنۡ حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”[11]

 

            Dalam al-Qur’an sendiri makna suap disebutkan dalam beberapa istilah yaitu riswah, suhtun dan hadiah. Riswah adalah sesuatu yang diberikan kepada pejabat untuk mendapatkan pertolongan yang bathil, sedangkan suhtun berarti setiap harta haram yang tidak boleh diusahakan dan dimakan. Sedangkan hadiah sendiri secara umum bisa bermakna negatif maupun positif tergantung daripada niat sang pemberi, contoh pemberian hadiah yaitu apa yang Ratu Balkis kepada Nabi sulaiman.

Melihat konteks saat ini dimana perilaku suap sudah menjadi umum dan biasa, pemaknaan kata haram sedikit terkikis, ada sebuah pemikiran dalam benak sebagian masyarakat pada umumnya bahwa hal yang salah jika sudah umum dilakukan itu bisa dibenarkan, jika sesuatu yang sudah membudaya dan sudah menjadi sesuatu yang umum, sekalipun hal tersebut sebenarnya salah, namun manusia tidak akan malu untuk melakukannya kerena sudah sama saja, namun sekali lagi bahwa hukum Allah Swt tidak bisa seperti itu, sudah jelas benang merahnya.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sudah dipaparkan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai “ Sejarah Perilaku Suap Dalam Perspektif Al-Qur’an”.

 

Landasan Teori

 

Kata suap dalam bahasa Arab disebut "risywah" atau" risya". Secara bahasa berarti "memasang tali, ngomong, mengambil hati". Risywah berasal dari bahasa Arab "rasya, yarsyu, rasywan" yang berarti memberikan uang sogokan"[12].Istilah lain yang searti dan biasa dipakai di kalangan masyarakat adalah "suap, uang tempel, uang semir, atau pelicin". Risywah atau sogok merupakan penyakit (patologi) sosial atau tingkah laku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat  dan  tidak  dibenarkan  oleh  ajaran  Islam.  Sedangkan  risywah  menurut  istilah adalah praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politic itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya[13]. Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan, kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan.  Menurut  Ali bin  Muhammad  As-Sayyid As-Syarif Al-Jurjani,  risywah  adalah  sesuatu pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan sesuatu yang hak (benar) atau membenarkan  yang  batil[14]. Sedangkan  menurut  ulama  yang  lain,  risywah  adalah  sesuatu pemberian yang menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.

قَال الْفَيُّومِيُّ : الرِّشْوَةُ – بِالْكَسْرِ – : مَا يُعْطِيهِ الشَّخْصُ لِلْحَاكِمِ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ ، أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا يُرِيدُ

Artinya: “Al-Fayyumi rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya, agar hakim itu memenangkannya, atau agar hakim itu mengarahkan hukum sesuai dengan yang diinginkan pemberi risywah”.[15]

وَقَال ابْنُ الأْثِيرِ : الرِّشْوَةُ : الْوُصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ

Artinya: “Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”[16]

Itu adalah makna secara lughah (bahasa), adapun menurut istilah:

مَا يُعْطَى لإِبْطَال حَقٍّ ، أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ

Artinya: Risywah (suap) adalah: sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran atau untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman).[17]

Perlu diperhatikan bahwa risywah (suap) tetap haram dan tidak menjadi halal hanya dengan dirubah namanya. Sebagian orang melakukan atau meminta risywah (suap) tapi dinamai dengan hadiah, sedekah, hibah, kopi, pasal, atau lainnya, maka itu tetap haram.

Sedangkan menurut pengertian umum dikenal beberapa pengertian suap (risywah) seperti berikut ini :

1.      Suap adalah pemberian terhadap seorang pejabat dengan tujuan kepentingan si pemberi bisa terealisir sekalipun melalui usaha-usaha yang tidak sehat dan tidak sesuai dengan aturan. Suap semacam ini haram hukumnya, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Jika pemberian itu dimaksudkan untuk mempertahankan hak-hak pemberi karena dia berada di pihak yang benar, maka pemberian itu hanya haram bagi yang menerima.

2.      Suap adalah sesuatu  yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut dapat menolong orang yang memberi. Maksudnya adalah sesuatu pemberian baik berupa uang, barang atau  jasa yang diberikan pada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkan, berkat bantuan orang yang diberi tersebut.

3.      Suap   adalah   sesuatu   yang   diberikan   setelah   seseorang   telah   meminta   pertolongan berdasarkan kesepakatan. Definisi ini kurang umum  karena tidak mencakup definisi suap yang tanpa kesepakatan. Definisi ini juga tidak mencegah adanya semacam pemberian yang sebetulnya tidak termasuk suap, seperti misalnya sedekah. Terkadang sedekah diberikan setelah ada yang memintanya.

4.      Suap adalah sesuatu yang diberikan untuk mengeskploitasi sesuatu yang hak menjadi batil dan yang batil menjadi hak. Artinya sesuatu itu diserahkan atau diberikan kepada orang lain supaya si pemberi ditolong walaupun dalam urusan yang tidak dibenarkan oleh  syara. Definisi ini juga kurang lazim sehingga tidak mencakup semua bentuk suap.

5.      Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang agar orang yang diberi itu memberi hukuman dengan cara yang batil atau memberi sesuatu kedudukan agar berbuat dhalim. Dengan kata lain sesuatu yang diberikan oleh si penyuap kepada seseorang dengan tujuan agar penyuap mendapat pertolongan dengan hukum batil dari masalah yang hak atau agar mendapatkan kedudukan yang tidak layak baginya.

6.      Suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya. Definisi ini menjelaskan bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau pejabat dan lainnya dengan segala bentuk dan caranya. Sesuatu yang diberikan itu ada kalanya berupa harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi penerima sehingga keinginan penyuap tersebut dapat terwujud baik secara hak maupun dengan cara batil.[18]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suap diartikan sebagai pemberian dalam bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri.[19] Dalam arti yang lebih luas suap tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa pemberian brang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.

Yusuf Qordhawi mengatakan, bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan apapun untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya[20].

Suap adalah pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Suap ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan hukum atau syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Suap pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan.

.

Hasil Penelitian

 

Inventarisasi Ayat Tentang Suap

 

 

 

 

 

 

No

Nama Surat

No. Ayat

Variasi Kata

Kategori Ayat

 

1

QS. An-Naml

35 dan 36

Hadiah

Makkiyah

 

2

QS. Al-Baqarah

188

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

 

3

QS. An-Nisā'

29 dan 30

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

 

4

QS. Al-Māidah

42, 62 dan 63

Suht

Madaniyah

 

5

QS. Al-Māidah

33

Fasād filarḏ

Madaniyah

 

6

QS. At-Taubah

34

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

 

 

Suap dalam Al-Qur’an

1.      Pengertian Suap Menurut Para Ahli

  Pengertian risywah menurut etimologis (lughowi). Para ahli bahasa dan fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata risywah. Kata risywah berasal dari bahasa Arab. Secara tektual atau literal, risywah merupakan derivasi dari kata rasya-yarsyu yang berarti menjulurkan kepala. Al-Mu'jam al-Wasith disebutkan rasya al-farakhu, artinya anak puyuh itu menjulurkan kepalanya kepada induknya.[21] Ibn Al-Aśịr mendefinisikan, الرُّشوة – الرِّشوة yakni usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan sikap yang berpura-pura/dibuat-buat, asal muasal risywah berasal dari الرِشاء yaitu tali yang menyampaikan timba ke (sumber) air. الراشي  adalah orang yang memberi agar dibantu dalam kebatilan (penyuap), المرتشي adalah orang yang disuap (mengambil uap suap), sedang الرائش adalah penghubung diantara penyuap dan yang disuap[22]

Adapun secara terminologi, Para fuqaha’ bervariasi memberikan definisi tentang risywah, menurut Yusuf Qardhawị mengatakan, risywah adalah “uang yang diberikan kepada penguasa atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut menjatuhkan hukuman yang menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya menurut kemauannya, atau supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada sesuatu kepentingan dan seterusnya”[23]. Sedangkan menurut Ibnu Hajar Asqolani dalam Kitab Fathul Bari risywah adalah “suatu harta yang diberikan untuk membeli kehormatan/ kekuasaan bagi yang memilikiya guna menolong/ melegalkan suatu yang sebenarnya tidak halal”.[24]

Dengan mencermati beberapa definisi, bahwa semua definisi memberi makna, tujuan, dan aspek yang berbeda, ada menyangkut esensi penyuapan, atau yang ada kemiripan dengannya (seperti gratifikasi), karena suap merupakan fenomena sosial dan memiliki banyak pola sehingga sulit untuk menentukan definisi yang tepat dan membatasi maknanya. Tapi menurut Asy-Sysyan definisi yang pertama lebih tepat, sebab telah menjelaskan makna risywah secara obyektif, yaitu: Pemberian yang diberikan kepada seseorang (pejabat) supaya yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar, karena merangkum inti dari praktek suap dan di anggap sebagai definisi yang komprehensif dari semua aspek suap yang diharamkan, sehingga memungkinkan memilih ini[25]. Sedangkan menurut MUI suap adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak.[26]Adapun untuk mendapatkan definisi yang lebih lengkap dan paling komprehensif yaitu memiliki semua aspek dan delik suap dengan ketentuan dalam semua kasus akan sangat sulit untuk dicapai.

Namun dari definisi-definisi di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa tindak menyuap atau menerima suap adalah hal yang dianggap bertentangan dengan norma kebaikan, baik dalam tinjauan hukum positif atapun dalam pandangan Islam. Hanya saja, Islam meletakkan perkara suap ini sebagai tindakan yang tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas kehidupan seseorang di dunia, namun juga memiliki konsekuensi di akhirat.

Kemudian terdapat beberapa istilah di dalam terminologi syari’ah yang memiliki hubungan makna dengan istilah risywah. Istilah-istilah tersebut akan disebutkan berikut ini:

a) Muṣana'ah

        Di dalam Al-Mu'jam Al-Wasith disebutkan, kata mushana'ah memiliki arti melakukan sesuatu untuk orang lain, agar orang tersebut melakukan hal lain untuknya sebagai balasan perlakuannya tersebut. Istilah muṣāna'ah kerap kali digunakan sebagai kiasan dari perilaku risywah.[27] Para ulama klasik sering menyebut risywah dengan  istilah muṣāna'ah.

b) Suht

        Kata suht secara bahasa berarti, segala sesuatu yang jelek dan yang buruk dari bentuk-bentuk usaha yakni layak untuk mendapat celaan. Sedangkan menurut istilah, suht berarti setiap harta haram yang tidak boleh diusahakan dan dimakan. Dikatakan suht karena harta ini dapat menghapus ketaatan dan menghilangkannya. Kata suht disebut di dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 42, 62 dan 63. Para mufassirịn menafsirkan kata suht yang menjadi kebiasaan Yahudi ini sebagai risywah. Namun demikian, kata suht adalah lafaz yang masih bersifat umum, yaitu segala macam harta haram yang tidak boleh diambil dan dimakan, suht meliputi riba, suap, rampasan, hasil judi, harta curian, ongkos pelacur, mahar tukang tenung, dan segala bentuk harta yang didapatkan dari jalan yang batil. Sementara risywah bersifat lebih khusus dan merupakan bagian dari suht.[28]

c)    Hadiah

Adapun hadiah berasal dari kata Hadi هادي terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ha, dal, dan ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi yang bermakna penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah  هدية yang   merupakan   penyampaian   sesuatu   dengan   lemah   lembut   guna menunjukkan simpati.[29] Kata hadiah dapatkan ditemukan dalam Q.S An-Naml ayat 35 dan 36. Jika mentadabburi Q.S An-Naml, memberi hadiah (upeti) kepada negara atau kerajaan yang lebih kuat ternyata sudah menjadi budaya pada saat itu. Seperti hadiah Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman A.S. Penulis melihat ada tiga alasan kenapa Ratu Balqis memberi hadiah: pertama, hadiah sebagai bentuk kesetiaan kepada kerajaan yang kuat dan supaya terhindar dari gempuran mereka; kedua; hadiah, untuk menguji kepribadian Nabi Sulaiman A.S apakah beliau seorang Nabi atau seperti raja-raja lain yang suka hadiah (upeti); ketiga; risywah, agar Nabi Sulaiman  A.S menghentikan dakwah.[30]

Nilai luhur Islam mendorong setiap muslim untuk selalu gemar memberikan hadiah kepada orang lain, bahkan Rasulullah Saw menengarai, bahwa kebiasaan saling memberi hadiah ini dapat memicu lahirnya rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama. Namun demikian, tidak semua praktik memberi dan menerima hadiah dapat dibenarkan di dalam syariah. Di antara hadiah yang tidak diperbolehkan di dalam Islam adalah hadiah yang diberikan untuk pengendali kebijakan, pemegang wewenang dan otoritas, orang yang bertugas menjalankan pelayanan publik dan hakim yang hendak memutuskan suatu perkara. Hal ini disebabkan oleh motivasi dan tujuan yang tersembunyi dari pemberian hadiah tersebut, yaitu untuk mendapatkan keuntungan dan balasan dari wewenang yang mereka miliki. Al-Qardhawi menyebutkan bahwa penamaan suap dengan istilah 'hadiah' tidak akan merubah statusnya dari haram menjadi halal.[31]

2.      Pembahasan Ayat-ayat Tentang Suap

            Adapun pembahasan secara khusus mengenai suap dalam al-Qur’an berikut akan dikaji ayat-ayat yang berhubungan dengan suap. Penulis mengumpulkan ayat yang bersama-sama membahas topik risywah dan menertibkannya sesuai masa turunnya selaras dengan asbab nuzul, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan dan keterangan serta hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

          Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan risywah sebagaimana berikut ini:

         Pertama: Surah An-Naml ayat 35 dan 36, Allah berfirman:

وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥ فَلَمَّا جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦

Artinya: “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu". Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu”[32]

Dalam Q.S An-Naml: 35, Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa (Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu") apakah mereka akan menerima hadiahku ini atau menolaknya. Jika ia seorang raja niscaya ia akan menerimanya, jika ia seorang Nabi niscaya ia akan menolaknya. Kemudian ratu Balqis mengirimkan para pelayan lelaki dan perempuan yang jumlahnya dua ribu orang; separuh laki-laki dan separuh lagi perempuan. Para utusan itu membawa lima ratus balok emas, sebuah mahkota yang bertatahkan permata, minyak kasturi, minyak anbar dan hadiah-hadiah lainnya beserta sebuah surat jawaban. Burung Hud-hud segera terbang menuju ke Nabi Sulaiman untuk memberitakan kepadanya semua apa yang ia dengar dan saksikan itu. Setelah Nabi Sulaiman mendapat berita dari burung Hud-Hud, maka segera ia memerintahkan pasukannya untuk membuat batu bata dari emas dan perak, hendaknya dari tempat ia berkemah sampai dengan sembilan farsakh dihampari permadani, kemudian di sekelilingnya dibangun tembok yang terbuat dari batu bata emas dan perak, kemudian ia memerintahkan kepada anak-anak jin supaya mendatangkan hewan darat dan hewan laut yang paling indah untuk ditaruh di sebelah kanan dan kiri lapangan dekat istana yang dibangunnya itu.[33] Menurut Ibn Asyrur dalam Tafsir Al-Misbah karangan M. Quraish Shihab, menggarisbawahi bahwa walaupun ayat di atas menggambarkan musyawarah yang dilakukan sang Ratu, ayat ini tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa Islam menganjurkan musyawarah, jelasnya ayat ini menggambarkan kebijaksanaan seorang Ratu.[34] Jika ditarik dalam konteks suap maka ayat ini menerangkan bahwa Ratu Balqis mencoba untuk merubah pendirian Nabi Sulaiman AS melalui pemberian hadiah.

Berdasarkan kedua penafsiran di atas bahwa apa yang dilakukan Ratu Balqis dengan mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman A.S dengan tujuan agar merubah pendirian Nabi Sualaiman, peristiwa ini memperlihatkan bahwa tujuan dari pemberian hadiah tersebut merupak bagian dari praktek suap.

Dalam Q.S An-Naml: 36, Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa, (Maka tatkala utusan itu sampai) utusan ratu Balqis yang membawa hadiah berikut dengan pengiring-pengiringnya (kepada Sulaiman. Sulaiman berkata, "Apakah patut kalian menolong aku dengan harta?, apa yang diberikan Allah kepadaku) berupa kenabian dan kerajaan (lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kalian) yakni keduniaan yang diberikan kepada kalian (tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian itu) karena kalian merasa bangga dengan harta keduniaan yang kalian miliki.[35] Adapun dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa Utusan Ratu Balqîs pun kemudian sampai kepada Nabi Sulaimân A.S dengan membawa hadiah. Merasakan betapa besar karunia Allah Swt yang diberikan kepadanya, Sulaimân berkata kepada utusan itu, "Untuk apa kalian membawa harta untukku? Nikmat kenabian dan kerajaan serta nikmat-nikmat lainnya yang Allah karuniakan kepadaku jauh lebih besar dari apa yang diberikan kepada kalian. Tapi kalian malah merasa bangga dengan hadiah itu dan banyaknya harta yang kalian miliki. Kalian tidak seperti aku. Kalian hanya tahu urusan keduniaan saja."[36]

Berdasarkan penafsiran di atas memperlihatkan bagaimana Nabi Sulaiman A.S bersikap tatkala dalam posisi yang disuap oleh Ratu Balqis yang mengirimkan utusan beserta hadiah yang banyak. Dalam hal ini Nabi Sulaiman mengingat bahwa perkara duniawi tidak sebanding dengan nikmat yang Allah Swt telah berikan kepadanya yaitu nikmat Kenabian dan Kerajaan.

Kedua: Surat Al-Baqarah Ayat 188, Allah Swt berfirman:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”[37]

            Asabab Nuzul ayat ini berkenaan dengan Umru Ul Qais bin ‘Abin dan ‘Abdan bin Asywa’ al-Hadrami yang bertengkar soal tanah. Umru Ul Qais berusaha mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Turunya ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan bathil.[38]

Dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa diharamkan atas kalian memakan harta orang lain secara tidak benar. Harta orang lain itu tidaklah halal bagi kalian kecuali jika diperoleh melalui cara-cara yang ditentukan Allah seperti pewarisan, hibah dan transaksi yang sah dan dibolehkan. Terkadang ada orang yang menggugat harta saudaranya secara tidak benar. Untuk mendapatkan harta saudaranya itu, ia menggugat di hadapan hakim dengan memberi saksi dan bukti yang tidak benar, atau dengan memberi sogokan yang keji. Perlakuan seperti ini merupakan perlakuan yang sangat buruk yang akan dibalas dengan balasan yang buruk pula. Ayat ini mengisyaratkan bahwa praktek sogok atau suap merupakan salah satu tindak kriminal yang paling berbahaya bagi suatu bangsa. Pada ayat tersebut dijelaskan pihak-pihak yang melakukan tindakan penyuapan. Yang pertama, pihak penyuap, dan yang kedua, pihak yang menerima suap, yaitu penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya dengan memberikan kepada pihak penyuap sesuatu yang bukan haknya.[39] Sedangkan dalam Tafsir Jalalain mengatakan (Dan janganlah kamu memakan harta sesama kamu), artinya janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain (dengan jalan yang batil), maksudnya jalan yang haram menurut syariat, misalnya dengan mencuri, mengintimidasi dan lain-lain (Dan) janganlah (kamu bawa) atau ajukan (ia) artinya urusan harta ini ke pengadilan dengan menyertakan uang suap (kepada hakim-hakim, agar kamu dapat memakan) dengan jalan tuntutan di pengadilan itu (sebagian) atau sejumlah (harta manusia) yang bercampur (dengan dosa, padahal kamu mengetahui) bahwa kamu berbuat kekeliruan.[40]

Berdasarkan penafsiran di atas jelas bahwa Allah Swt melarang bagi siapapun memakan harta saudaranya, dan perilaku seperti ini akan mendapat balasan yang sangat buruk. Salah satu contoh memakan hak saudaranya adalah dengan perilaku suap meyuap, dimana dalam proses tersebut ada hak orang lain yang terenggut.

Ketiga: Surat An-Nisa' Ayat 29-30, Allah Swt berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا ٣٠

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”[41]

Dalam Tafsir Jalalain (Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil) artinya jalan yang haram menurut agama seperti riba dan gasab/merampas (kecuali dengan jalan) atau terjadi (secara perniagaan) menurut suatu qiraat dengan baris di atas sedangkan maksudnya ialah hendaklah harta tersebut harta perniagaan yang berlaku (dengan suka sama suka di antara kamu) berdasar kerelaan hati masing-masing,  bolehlah kamu memakannya. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu) artinya dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan kecelakaannya bagaimana pun juga cara dan gejalanya baik di dunia dan di akhirat. (Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu) sehingga dilarang-Nya kamu berbuat demikian.[42] Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar. Kalian diperbolehkan melakukan perniagaan yang berlaku secara suka sama suka. Jangan menjerumuskan diri kalian dengan melanggar perintah-perintah Tuhan. Jangan pula kalian membunuh orang lain, sebab kalian semua berasal dari satu nafs. Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian.[43]

Dalam ayat ini ada larangan mengambil dan merampas hak orang lain, merampas disini bisa terjadi dalam perilaku suap menyuap, dimana jika seseorang melakukan suap untuk mendapatkan suatu pekerjaan dan semacamnya padahal orang tersebut tidak layak, maka ada hak orang lain yang lebih layak telah terampas haknya.

Adapun surah An-Nisa’ ayat 30 dalam Tafsir Jalalain menerangkan (Dan siapa berbuat demikian) apa yang dilarang itu (dengan melanggar yang hak) menjadi hal (dan aniaya) menjadi taukid (maka akan Kami masukkan ia ke dalam neraka) ia akan dibakar hangus di dalamnya (dan demikian itu bagi Allah amat mudah) atau pekerjaan gampang.[44] Sedangkan dalam Tasfir Al-Misbah menerangkan “barangsiapa melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah dengan memusuhi dan melanggar hak- Nya, maka ia akan Kami masukkan ke dalam api neraka yang membakar. Hal itu adalah mudah bagi Allah”.[45]

Berdasarkan penafsiran di atas ayat ini menjelaskan mengenai hukuman atau balasan bagi siapapun yang merampas hak orang lain, artinya bagi siapapun yang melakukan tindakan suap-menyuap dan di dalamnya  telah terampas hak orang lain, sebagai hukumannya Allah Swt akan memasukkannya ke dalam api neraka.

Keempat: Surat Al-Ma'idah Ayat 42, Allah Swt berfirman:

سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ أَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَإِنۡ حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”[46]

Dalam suatu riwayat mengemukakan bahwa,

“Seorang laki-laki dari suku Fadak telah berzina. Orang-orang Fadak menulis surat kepada orang-orang Yahudi di Madinah agar mereka bertanya kepada Muhammad Saw tentang hukuman bagi pezina itu. Maka jika beliau memerintahkan dijilid (dipukuli), terimalah dan jika beliau memerintahkan dirajam jangan diterima. Orang-orang Yahudi Madinah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw menjawab seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut di rajam. Maka turulah ayat di atas sebagai tuntunan agar Nabi Muhammad Saw menetapkan hukum sesuai hukum Allah Swt”.[47]

Dalam Tafsir Jalalain menjelaskan, (Mereka orang-orang yang gemar mendengar berita-berita bohong dan banyak memakan yang haram) dibaca suht atau suhut; artinya barang haram seperti uang suap (maka jika mereka datang kepadamu) untuk meminta sesuatu keputusan (maka putuskanlah di antara mereka atau berpalinglah dari mereka) pilihan di antara alternatif ini dihapus/dinasakh dengan firman-Nya, maka putuskanlah di antara mereka." Oleh sebab itu jika mereka mengadukan hal itu kepada kita wajiblah kita memberikan keputusannya di antara mereka. Dan ini merupakan yang terkuat di antara kedua pendapat Syafii. Dan sekiranya mereka mengadukan perkara itu bersama orang Islam, maka hukum memutuskan itu wajib secara ijmak. (Jika mereka berpaling daripadamu, maka sekali-kali tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun juga. Dan jika kamu memutuskan) perkara di antara mereka (maka putuskanlah di antara mereka dengan adil) tidak berat sebelah. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil) dalam memberikan keputusan dan akan memberi mereka pahala.[48] Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan bahwa Mereka adalah orang-orang yang suka mendengarkan berita bohong, banyak memakan harta haram yang tidak berkah seperti suap, riba dan lainnya. Jika mereka datang kepadamu untuk meminta putusan perkara, maka putuskanlah perkara di antara mereka apabila dalam hal itu kamu mendapatkan kebaikan. Atau, berpalinglah dari mereka. Sebab jika kamu berpaling dari mereka, mereka tidak akan dapat mendatangkan bahaya sedikit pun kepadamu, karena Allah telah menjagamu dari manusia. Jika kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, dan Dia akan menjaga serta memberi pahala kepada mereka.[49]

Berdasarkan penafsiran di atas Allah Swt memerintahkan agar berpaling dari orang-orang yang suka mendengarkan berita bohong serta orang yang suka makan harta yang haram yaitu hasil dari merampas hak orang lain melalui kegiatas suap menyuap.

Kelima: Surat al-Taubah ayat 34, Allah Swt berfirman:

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”[50]

Dalam Tafsir Jalalin menjelaskan bahwa (Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan) yakni mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil) seperti menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak menunaikan hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat menyakitkan.[51] Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan mengenai ayat tersebut, wahai orang-orang Mukmin, ketahuilah bahwa banyak di antara orang alim dari kalangan Yahudi dan rahib-rahib Nasrani yang menghalalkan harta orang secara tidak benar, menyalahgunakan kepercayaan dan ketundukan orang lain kepada mereka dalam setiap perkataan mereka, dan menghalang-halangi orang untuk masuk Islam. Wahai Nabi, orang-orang yang mengusai dan menyimpan harta benda berupa emas maupun perak, dan tidak menunaikan zakatnya, ingatkanlah mereka akan siksa yang sangat pedih.[52]

Berdasarkan penafsiran di atas menjelaskan tentang rahib-rahib Yahudi yang memanfaatkan kedudukan dan menyalahgunakan wewenangnya untuk memakan sesuatu yang haram yaitu merampas hak orang lain dengan berbuat curang.  Allah Swt mengancam mereka dengan azab yang pedih,  bagi siapapun yang menyalahgunakan kekuasaan dengan berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain termasuk di dalamnya melakukan kegiatan suap menyuap maka Allah Swt mengancam dengan api neraka.

Keenam, Surat al-Maidah Ayat 33, Allah berfirman:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar[53]

Dalam Tafsir Jalalain menjelaskan (Bahwasanya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya) artinya dengan memerangi kaum muslimin (dan membuat kerusakan di muka bumi) dengan menyamun dan merampok (ialah dengan membunuh atau menyalib mereka atau tangan dan kaki mereka dipotong secara timbal balik) maksudnya tangan kanan dengan kaki kiri mereka (atau dibuang dari kampung halamannya). Atau secara bertingkat, maka hukum bunuh itu ialah bagi yang membunuh saja, hukum salib bagi yang membunuh dan merampas harta, hukum potong bagi yang merampas harta tetapi tanpa membunuh sedangkan hukum buang bagi yang mengacau saja. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan dianut oleh Syafii. Menurut yang terkuat di antara dua buah pendapat dilaksanakannya hukum salib itu ialah tiga hari setelah dihukum bunuh. Tetapi ada pula yang mengatakan tidak lama sebelum dibunuh. Termasuk dalam hukum buang hukuman lain yang sama pengaruhnya dalam memberikan pelajaran seperti tahanan penjara dan lain-lain. (Demikian itu) maksudnya pembalasan atau hukuman tersebut (merupakan kehinaan bagi mereka) kenistaan (di dunia sedangkan di akhirat mereka beroleh siksa yang besar) yaitu siksa neraka.[54]

Adapun dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan bahwa, Sesungguhnya hukuman orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan keluar dari aturan dan hukum-hukum agama, dan membuat kerusakan di muka bumi dengan jalan membegal di jalan atau merampas harta benda adalah sebagai berikut: hukum bunuh bagi orang yang membunuh, hukum salib bagi orang yang membunuh dan merampas harta, hukum potong tangan dan kaki secara silang bagi orang yang merampok di jalan dan merampas harta tetapi tidak membunuh, hukum buang dari satu negeri ke negeri lain atau hukum penjara bagi orang yang hanya menakut-nakuti saja. Hukuman itu merupakan penghinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksa yang pedih yaitu siksa api neraka. Pada ayat ini, al-Qur'ân menerangkan bahwa hukuman yang ditetapkan itu hanya bermaksud untuk kemaslahatan dan mencegah kejahatan. Kalau saja ketentuan hukum ini diterapkan dengan benar, maka akan dapat menghapus kejahatan dan menciptakan masyarakat yang harmonis, tenteram, aman dan damai. Di samping itu, hukuman ini dengan sendirinya akan dapat mencegah kejahatan dan mengurangi kekacauan. Hukuman ini sangat sesuai dengan kehormatan nyawa pribadi dan masyarakat. Orang yang melihat begitu mengerikannya hukuman ini, akan sangat berhati-hati dan tidak akan melakukan kejahatan. Hukum ini telah mencapai suatu hasil yang tidak dicapai oleh hukum sipil buatan manusia dalam mencegah terjadinya suatu kejahatan. Di samping itu, hukum ini juga sesuai di segala zaman dan masyarakat. Itulah syariat abadi yang telah Allah turunkan untuk merealisasikan kemaslahatan. Bagi siapa yang mengklaim bahwa hukuman itu mengerikan, hendaknya ia melihat terlebih dahulu dampak buruk kejahatan itu sendiri.[55]

Berdasarkan penafsiran di atas Allah Swt menegaskan bagi siapapun yang memerangi Allah Swt dan Rasulullah Saw dengan melakukan perbuatan yang melanggar hukum Islam seperti membuat kekacauan, membunuh dan merampas hak orang lain, maka Allah Swt akan memberikan hukuman yang setimpal. Karena tujuan dari hukuman itu sendiri adalah untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.

Pada bagian ini dijelaskan tentang kategorisasi ayat berdasarkan masa turunnya meliputi kategori Makkiyah dan Madaniyah. Ulama berselisih pendapat mengenai dasar penentuan dan definisi dari surat Makkiyah dan Madaniyah. Ada tiga kelompok dalam mendefinisikan Makkiyah dan Madaniyah:[56]

Pertama, berdasarkan lokasi diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an, yakni surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan di Makkah baik sebelum atau sesudah hijrah. Sedang Madaniyah adalah surat yang diturunkan sesudah di Madinah baik sebelum atau sesudah hijrah. Kedua, klasifikasi berdasarkan khiṭob (topik/percakapan/lawan pembicaraan). Jadi surat Makkiyah adalah surat yang ditujukan kepada penduduk Makkah, sedang surah Madaniyah adalah ayat yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Ketiga, klasifikasi berdasarkan waktu penurunan. Surat Makkiyah adalah surat yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad Saw, hijrah, walaupun turunnya di luar daerah Makkah. Sedangkan surat Madaniyah adalah surat yang diturunkan setelah Nabi Muhammad Saw, melakukan hijrah ke Madinah[57].

Pendapat yang ketiga ini adalah pendapat yang populer (masyhŭr) dikalangan mayoritas ulama dibanding pendapat pertama dan kedua, menurut hemat penulis setidaknya ada dua alasan: a. Lokasi (tempat) turun al-Qur’an kurang tepat untuk menetukan Makkiyah atau Madaniyah, karena ditemukan beberapa surah Madaniyah yang turun di Makkah, seperti  surah al-Maidah ayat 3 (tiga), turun di di ‘Arafah (Makkah) pada haji wada’, dan surah an-Nisa ayat 58, turun di lembah Ka’bah pada penaklukan Makkah (fath Makkah);   b. Kefasihan penduduk Makkah dalam berbicara (ahl faṣāhah), bukan alasan yang kuat untuk  mengklasifikasikan surah Makkiyah, karena ketika  al-Qur’an turun tidak hanya ditujukan untuk penduduk makkah, tapi juga untuk penduduk Madinah, suku Quraisy, Aus, Khojraj, dan Tamim. Demikian juga surat Madaniyah tidak hanya ditujukan kepada penduduk Madinah (anṣȯr), akan tetapi ditujukan juga kepada selain mereka.[58]

       Berikut ini tabel kategoresasi ayat Makkiyah dan Madaniyah terkait Risywah

No

Nama Surat

No. Ayat

Variasi Kata

Kategori Ayat

Makna Ayat

1

QS. An-Naml

35 dan 36

Hadiah

Makkiyah

Implisit

2

QS. Al-Baqarah

188

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

Implisit

3

QS. An-Nisā'

29 dan 30

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

Implisit

4

QS. Al-Māidah

42, 62 dan 63

Suht

Madaniyah

Implisit

5

QS. Al-Māidah

33

Fasād filarḏ

Madaniyah

Implisit

6

QS. At-Taubah

34

al-Māl al-Bāṭil

Madaniyah

Implisit

 

Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang menjelaskan risywah secara implisit lebih banyak diturunkan setelah Nabi Muhammad Saw hijrah dibandingkan sebelum hijrah, karena memang diperiode Makkah yang menjadi fokus dalam prioritas dakwah Nabi Muhammad Saw adalah penekanan Iman, yang merupakan bagian dari gradualitas syari’ah.

Dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang secara implisit menjelaskan tentang risywah tidak semuanya memiliki asbab nuzul. Memang ada beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki asbab nuzul tetapi tidak sedikit pula yang tidak memiliki asbabun nuzul. Diakui bahwa teks al-Qur’an memiliki kekhasan sendiri sebagai sebuah pesan yang mampu berjalan dinamis dalam penyampaiannya.[59] Al-Qur’an dalam redaksi uraiannya menggunakan bahasa yang mampu ‘hidup’ dan menggambarkan realitas konteks yang dihadapinya. Sehingga untuk membaca realitas konteks yang dihadapi dalam upaya pemahaman dan penafsiran sebuah ayat, diperlukan data historis teks. Konteks historis teks inilah yang banyak pakar ulum al-Qur’an disebut sebagai asbabun nuzul.

Para ulama klasik menyimpulkan bahwa tidak mungkin mengetahui penjelasan (tafsir) sebuah ayat tanpa terlebih dahulu mengetahui kisah-kisah dan sebab turun ayat-ayat al-Qur’an[60]. Sedang Ibnu Taimiyah, beliau menyatakan bahwa asbabun nuzul akan dapat membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena dengan mengetahuinya akan dapat diketahui pula akibat hukumnya. Asbab nuzul ayat-ayat al-Qur’an tentang risywah dan penjelasannya:

Pertama, surah Al-Naml ayat 35 dan 36, Budaya memberi hadiah (gratifikasi), dan Upeti sudah ada sejak dulu. firman Allah Swt dalam surah An-Naml (surah Makkiyah) ayat 35 dan 36, tidak memiliki asbab nuzul, sebagaimana dijelaskan diawal, akan tetapi untuk memahami teks ayat bisa dengan melihat munasabah ayat karena munasabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait sebagai kontruksi yang serasi. Bila dicermati munasabah ayat yang sebelumnya ternyata sudah menjadi tren, tradisi dan kebiasaan para raja dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki dijadikan sebagai alat untuk menekan dan menindas yang lemah, maka raja-raja yang sudah ditaklukkan tidak ada jalan lain kecuali, mereka harus menyerah dan berdamai dengan konsekwensi harus membayar upeti sebagai bentuk kesetiaan, ini terlihat pada ayat:

قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤

 

Artinya: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri,niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.”(QS.An-Naml: 34).[61]

Ketika Ratu Balqis menerima surat dakwah dari Nabi Sulaiman A.S, yang sudah barang tentu sebagai penguasa dikerajaan Saba’ wajar Ratu Balqis merasakan kekhawatiran seperti fenomena dan tren yang ada, maka Diapun mengumpulkan para penasehat dan pembesar-pembesar kerajaan untuk menemukan solusi, kesepakatan, dan tindakan yang tepat sebagai jawaban dari Nabi Sulaiman A.S , adapun kesepakatan dari musyawarah mereka adalah memberi hadiah kepada Nabi Sulaiman A.S :

وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥

 

Artinya: “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu."(QS.An-Naml: 35)[62].

 

Dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan, dua alasan Ratu Balqis memberi hadiah kepada Nabi Sulaiman A.S : pertama, hadiah sebagai bentuk kesetiaan kepada kerajaan yang kuat dan supaya terhindar dari gempuran mereka; kedua; hadiah, untuk menguji kepribadian Nabi Sulaiman A.S apakah beliau seorang Nabi atau seperti raja-raja lain yang suka hadiah (upeti).[63]

Adapun pendapat lain mengatakan bahwa alasan Ratu Balqis memberikan hadiah yang terbaik dan termahal kepada Nabi Sulaiman A.S adalah untuk menguji kepribadian beliau, jika dia raja duniawi pasti suka dengan kemewahan dunia, dan jika seorang Nabi pasti tidak suka dangan harta dan gemerlapnya dunia, (kalau demikian) maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak beriman dengannya (meyakini ajarannya), dan mengikuti agamanya. Dan begitu sampai para utusan Ratu Balqis kekerajaan Nabi Sulaiman A.S dengan membawa hadiah yang terbaik dan termahal, maka beliaupun menolaknya dengan mengatakan, sebagaimana pada ayat 36:[64]

 فَلَمَّا جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦

Artinya: “Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”(QS.An-Naml:36).[65]

Maka bila dicermati dan dipahami akan penjelasan/penafsiran dari ayat diatas ternyata cara-cara kotor untuk membungkam dakwah atau menghalangi kebenaran seperti sogok, suap, dan hadiah ternyata sudah ada sejak dulu.

Kedua, Larangan memakan harta orang lain dengan batil. firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah (surah Madaniyah) ayat  188

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨

 

Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”

 

 

 

 

Munasabah ayat dengan yang sebelumnya (Q.S Al-Baqarah: 187)

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧

 

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.[66]

 

Ayat ini menjelaskan ketika Allah Swt melarang orang yang berpuasa melakukan yang mubah seperti makan, minum, dan mubāsyarah sebagai ta’abbud kepada Allah, maka lebih patut dan lebih pantas untuk tidak memakan harta orang lain dengan cara batil. Juga ketika Allah menyuruh orang yang berpuasa untuk menahan makan dan minum pada siang hari sebagai bentuk ta’bbudiyah, maka lebih pantas lagi untuk tidak makan dan minum kecuali yang jelas-jelas halal agar hati menjadi terang dan menambah semangat ibadah.

Terkait dengan asbab nuzul ayat di atas Q.S Al-Baqarah; 187 banyak riwayat ditemukan dalam kitab tafsir dan Ulum Al-Qur’an (asbab nuzul), bahwa Al-Suyuthi menyebutkan, Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Sa'id ibn Zubair, dia berkata, "Umru'ul Qais ibn ‘Ȧbis dan ‘Abdan ibn Asywa' al-Haḏrami memperebutkan sebidang tanah. Lalu Umru ul Qais ingin bersumpah, maka padanya turun firman Allah, "Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil"."[67]. Sedangkan  Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam karyanya, Al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab, menyatakan seperti yang tersebut dalam buku Asbab Nuzul Al-Qur’an karya al-Wahidi, tapi dipenghujung kalimat dijelaskan bahwa si “Aidan tidak memiliki bukti kepemilikan (baiyinah), ketika  Umru'ul Qais ingin bersumpah maka Nabi Muhammad Saw membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah Swt dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…”. Umru ul Qais pun tidak jadi bersumpah dan tidak membantah keputusan Nabi Muhammad Saw.[68]

Jika diperhatikan sebab turun ayat di atas, maka akan ditemukan bahwa ayat ini terkait dengan klaim seseorang terhadap harta yang bukan miliknya. Orang yang memakan harta orang lain dengan cara yang batil sama saja dengan memakan hartanya sendiri dengan batil. Oleh sebab itu Allah Swt menegaskan dengan redaksi وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ (janganlah kalian memakan harta kalian), padahal yang dimaksud adalah harta orang lain. Redaksi seperti ini banyak  ditemukan di dalam al-Qur’an ketika Allah Swt menjelaskan hubungan orang beriman dengan orang mukmin yang lain, seperti ayat وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُم (janganlah kalian mengolok-olok diri kalian), padahal yang dimaksud adalah larangan mengolok-olok orang lain. Begitu pula potongan ayat وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ (dan janganlah kalian membunuh diri kalian), yang dimaksud di sini adalah membunuh orang lain. Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan hikmah dari metode seperti ini, ia berkata, "karena Allah Swt menjadikan mukmin yang satu dengan mukmin yang lainnya bersaudara (ikhwah), maka yang membunuh saudaranya seperti membunuh dirinya sendiri, begitu pula yang mengolok-olok saudaranya, sama dengan mengolok-olok dirinya sendiri.[69]

Salah satu gambaran yang populer dari praktek memakan harta yang batil ini adalah dengan memperlakukan risywah (suap/sogokan). Said Hawa mengatakan ketika mengomentari potongan ayat وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ  Potongan ayat ini memiliki dua penafsiran. Pertama, janganlah kalian membawa-bawa urusan itu dan memperkarakannya kepada hakim, sementara kalian mengetahui diri kalian dalam kebatilan, memakan harta dengan jalan dosa (kezaliman). Kedua, kalian membawa perkara itu kepada hakim dengan menyodorkan risywah (suap/sogokan)." Menurut al-Thabrusi, ayat ini memiliki tiga tafsiran. Pertama, tentang titipan yang tidak disertai adanya bukti (penitipan). Kedua,harta anak yatim di tangan pengelolanya, yang mana mereka datang kepada hakim dengan menyodorkan risywah untuk mendapatkan sebagian dari harta itu. Ketiga, sesuatu (harta) yang dimenangkan dengan kesaksian palsu. Bertolak dari beberapa tafsiran di atas, dapat disimpulkan, pertama di larang (haram) memakan harta yang diperoleh dengan cara batil (tidak sesuai hukum syara’), kedua, keputusan hakim tidak bisa merubah yang haram menjadi halal, ketiga, para hakim, (pejabat dan penguasa) sangat rentan terinveksi penyakit risywah.[70]

Ketiga, Surat An-Nisa (surah Madaniyah) ayat 29-30, munasabah ayat menurut al-Maragi adalah ketika Allah Swt mengingatkan pada ayat yang sebelumnya (Q.S An-Nisa: 28) terkait dengan bagaimana caranya ber-mu’amalah yang baik dengan ayat yatim, dan memberikan hartanya ketika dewasa, tidak menyerahkan harta kepada sufaha’, wajib membayar mahar kepada wanita, dan tidak boleh mengambilnya (tanpa izinnya) dengan alasan apapun. Kemudian pada ayat ini disebutkan kaidah umum bagaimana semua harta didapat (dikumpulkan) bisa membuat hati dan jiwa tenang.[71]

Ayat di atas lebih spesifik menerangkan tentang ketidak halalan memakan harta orang lain dengan jalan transaksi yang batil (haram) yakni yang tidak halal dalam aspek hukum syara’. Pertama, memakan harta dengan praktek riba, judi, najas dan kezaliman. Kedua, seseorang yang membeli barang, kemudian menjualnya lagi dengan memberikan tambahan uang. Praktek jual beli ini yang diistilahkan di dalam konsep ekonomi Islam sebagai jual beli ‘inah. Ketiga, ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun terkait dengan larangan memakan harta orang lain kecuali dengan cara membeli.

Ayat ini menegaskan satu aspek terpenting di dalam transaksi jual beli ataupun transaksi muamalah lainnya, yaitu sikap saling ridha (tarāḏi) antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Al-Sya'rawi di dalam tafsirnya mengatakan, "kata عن تراض di dalam ayat ini menunjukkan bahwa keridhaan hati manusai dalam bertransaksi merupakan syarat (ukuran) kehalalan transaksi tersebut." Meskipun demikian, Wahbah Zuhaili menambahkan, bahwa tidak setiap kerelaan dibenarkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya keridhaan itu didasari atas nilai islam. Riba yang menyertai pinjaman modal atau menfaat yang dihasilkan dari suatu pinjaman hukumnya haram, sekalipun diberikan dengan suka hati. Begitu pula harta yang dihasilkan dari keuntungan judi, tetap dalam status haram kendatipun yang kalah mengaku rela terhadap hartanya.[72] Kemudian pada Q.S An-Nisa’ ayat yang ke 30 Allah Swt, mengancam, barangsiapa yang memakan harta saudaranya dengan cara lalim yakni tidak ada saling ridho maka akan dicampakkan kedalam neraka. Dari penafsiran para mufassirin diatas dapat disimpulkan diantaranya: pertama, saling ridho adalah syarat pokok dalam bermu’āmalah (bertransaksi), kedua, muamalah tanpa saling ridho jelas bertentangan dengan hukum syara, ketiga, risywah (suap) termasuk dalam transaksi yang bertentangan dengan hukum syara’, keempat, siapa yang bertransaksi tidak sasuai dengan hukum syara’ akan diancam Allah Swt dengan nerakaNya.[73]

Keempat: Surat Al-Ma'idah (surah Madaniyah) ayat 42, asbab nuzul ayat ini diturunkan para hakim orang Yahudi seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Lubābah bin Sa’fah, sa’id bin ‘Amr, dan para pemuka/pemimpinnya, mereka suka menerima suap dan mereka akan memutuskan (memenangkan) orang yang menyuap mereka. Diriwayatkan oleh Ibn Jarịr dari Ibn ‘Abbās pada firman Allah Swt:    سمعون للكذب أكلون للسحت  diturunkan kepada orang Yahudi karena mereka suka menerima/mengambil risywah dalam peradilan, dan mereka selalu memutuskan keputusan palsu.[74]

Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hātim dari Ibn Abbas, bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda:

رشوة الحكام حرام ، وهي السحت الذي ذكر الله في كتابه

Artinya:“Merisywah (menyuap) para hakim (penguasa) haram, karena termasuk suht yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an.[75]

السحت  adalah semua harta yang diperoleh dari risywah, hasil melacur, hasil jual khamar dan semua bentuk yang diperoleh dari cara-cara yang haram. Kata suht berasal dari kata  isti’shol (mencabut sampai akarnya) karena (suap) mencabut agama orang yang disuap, dan menghilangkan keberkahan.

Berdasarkan penafsiran dan keterangan para mufassirin terkait ayat diatas dapat dipahami: 1) السحت  termasuk diantaranya suap menyuap, merupakan karakter busuk orang Yahudi; 2) prilaku suht akan membuat rusaknnya agama secara pribadi, dan hilangnya keberkahan dalam kehidupan.

Kelima: Surat al-Taubah (surah Madaniyah) ayat 34, para mufassirin berbeda tentang asbabun nuzul, diantaranya: a) diturunkan kepada pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani karena benar-benar memakan harta orang lain dengan batil; b) diturunkan kepada pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani karena mereka melakukan transaksi suap dengan rakyat jelata (dengan alasan) memberi keringan dalamm syari’at dan toleransi dalam hukum; c) diturunkan kepada pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani karena mereka menulis dan merubah kitab (taurat dan injil) dengan tangan mereka sendiri khususnya yang terkait dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw, kemudian mereka mengatakan bahwa itu dari Allah Swt, juga dijadikan mereka sebagai sumber mata pencaharian; d) kitab taurat banyak menjelaskan tentang sifat Nabi Muhammad Saw., kemudian para pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani mentakwilkan sifat-sifat (ciri-ciri) tersebut dengan takwilan yang salah, dengan alasan mencari kedudukan, sumber rezeqi, dan mencegah orang untuk beriman seperti firman Allah Swt ويصدون عن سبيل الله  (dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah Swt).[76] Adapun bentuk-bentuk memakan harta dengan batil:

a.       Melakukan praktek risywah dalam perkara hukum, atau membantu menolak kebenaran dan mewujudkan yang batil, (biasa) pelakunya orang yang memiliki otoritas keagamaan dan sipil, baik formal maupun non formal;

b.      Melakukan praktek riba merupakan cita-cita orang-orang Yahudi dan pembesarnya, bahkan mereka mengeluarkan fatwa boleh bertransaksi riba dan memakannya dengan selain orang Yahudi, bepedoman dengan taurat palsu yang membolehkan riba;

c.       Membangun dan memasang tirai kuburan para nabi, orang-orang soleh, dan tempat-tempat ibadah dengan nama mereka, sebagai hadiah dan nazar;

d.      Meyakinkan orang bahwa mereka memiliki kelebihan, dan telah diberikan mandat oleh Allah Swt untuk bisa memenuhi kebutuhan dan menolak bahaya, sehingga harus dijadikan sebagai perantara dalam setiap urusan manusia dengan Allah Swt;

e.       Menerapkan upah dalam pengampunan dosa, maka setiap orang bisa menjumpai para pendeta menceritakan semua kesalahannya, mereka meyakini kalau para pendeta sudah memaafkan dan mengampuni semua kesalahan mereka pasti Allah Swt juga akan mengampuninya;

f.        Mereka meminta bayaran untuk semua fatwa yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, untuk memenuhi keinginan para penguasa dan orang-orang kaya, atau sebagai balas dendam terhadap musuh-musuhnya;

g.      Mereka membolehkan mengambil, dan mencuri harta orang yang berbeda agama dan bangsa.[77]

Berdasarkan penjelasan para mufassir diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Allah Swt ingin mengingatkan Nabi Muhammad Saw, dam umat Islam akan karakter busuk yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi, nasrani, dan para pembesar-pembesarnya yang biasa memakan harta orang lain dengan cara batil, termasuk diantaranya melakukan praktek risywah (suap).

Keenam, Surat Al-Maidah (surah Madaniyah) ayat 33, adapun munasabah ayat     (إنما جزاؤا الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا  ) dengan ayat yang sebelumnya (Q.S Al-Ma’idah: 32), ketika Allah Swt., menyebutkan perbuatan kriminal (pembunuhan) pertama sekali yang dilakukan oleh Qobil terhadap saudaranya sendiri (Habil), kemudian Allah Swt menjelaskan kedurhakaan Bani Israil yang suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah, dan di ayat ini Allah Swt menjelaskan sanksi dan hukuman para pembuat kerusakan (al-mufsidịn) termasuk diantara para perompok (quṭȯ’ al-ṭorịq)[78].  Munasabah dari ayat yang sebelumnya, kesamaan dalam memerangi Allah Swt (ḥaribullah) dan kesamaan sebagai sumber kejahatan dan kerusakan di bumi. Dan menurut al-Marāgi, ketika Allah Swt menjelaskan bahaya membunuh, seperti membunuh semua manusia, kemudian berikutnya Allah Swt menjelaskan sanksi orang yang membuat kerusakan dibumi agar mereka jera.[79]

Asbab nuzul ayat ini bahwa Diriwayatkan oleh Ali dari Ibn Abbas, bahwa kaum dari Ahlu Kitab telah melakukan kesepakatan/perjanjian (piagam Madinah), tapi kemudian mereka melanggar perjanjian, dan membuat kerusakan dibumi, maka Allah Swt memberi opsi kepada Nabi Muhammad Saw apakah mereka dibunuh atau memotong tangan dan kaki mereka menyilang. Diriwayatkan oleh Juwaibir dari Al-Ḍohhāk, beberapa kaum telah melakukan kesepakatan dengan Nabi Muhammad Saw, namun mereka melanggarnya, (bahkan) mereka merampok, dan membuat kekacauan dan kerusakan dibumi, maka Allah Swt memberi opsi kepada Nabi Muhammad Saw tentang mereka, apakah dibunuh, atau disalib, dan atau di poton tangan dan kakinya menyilang.[80]

Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa setiap pelaku mafsdah (kerusakan) termasuk diantaranya suap (menyuap, disuap, dan perantara suap), cepat atau lambat pasti akan mendapat sanksi (hukuman) dari Allah Swt. Orang bisa lepas dari sanksi dunia, tapi tidak akan bisa lepas dari sanksi Allah Swt diakhirat.

 

Kesimpulan

Makna suap dalam al-Qur’an yaitu memberikan sesuatu dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan dan kelancaran urusan dengan melanggar aturan yang ada. Kemudian perilaku suap akan memberikan dampak buruk pada individu, ekonomi dan masyarakat. Dampak negatif suap sangat luas dan kompleks, tidak hanya merusak mental dan kredibilitas pejabat dan aparat sebagai penegak hukum dan penyelenggara kepentingan publik, namun juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abdullah bin Abd. Muhsin. Suap dalam Pandangan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2001

 

Abdurrahman bin Muhammad ibn Idris al-Rāzi ibn Abi Hātim, Tafsir al-Qurān al-‘Aẓim musnadan “an Rasulillah SAW Wa al-ṣohābah wa al-tābi’in, cet. 1, ed. As’ad Muhammad al-Ṭoib, (Maktabah Naār Muṣṭafa al-Bāz: 1997),  jilid III, hlm, 1135 dalam Tulisan Sarto Abu Jiyad, Ayat-ayat da n Hadits tentang Risywah (Suap)

 

Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat

 

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsuddin al-Qurtuby, Tafsir Al- Qurthuby 6/183, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli,  Nihayatul  Muhtaj  8/243,Ibnu Hazm,  Al-Muhalla 8/118, dalam bab-bab yang membahas tentang suap dan memakan harta haram.

 

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari,  Tafsir ath-Thabary, (Jakarta: Pustaka Azam 2009), Jilid 08

 

Ahmad S, Abu Abdul Halim., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan Syari & Sosial, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996.

 

Ahmad Muṣṭofa al-Maragi, Tafsir al-Marāgi, cet.1, (Kairo, Maktabah wa Maṭba’ah Musṭofa al-Bābi al-Halabi: 1946), Jilid V

 

Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata, Bandung, Pondok Yatim Al-Hilal, 2010.

Al-Fayruz al-Abadi, al-Qamus al-Muhith, III/487; Ibn Sayidih, al-Mukhashish, III/67; Murtadha az-Zabidi, Taj al-‘Urus min Jawahir al-Qamus, 1/8663; Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, XIII

 

Al-Qamus al-Fiqhi, 1/367, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

 

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta , Intermasa, 1996

Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal (Jakarta, 2003), hlm, 274 dalam Jurnal Wawan Trans Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum Islam, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015

 

Hamdani, Fikri Konsep Hadiah dalam Surat An-Naml Ayat 35-36: Suatu Kajian Tahlili, (Makasar: UIN Alaudin, 2013)

 

Haryono, Risywah (Suap Menyuap) dan Perbedaanya dengan Hadiah dalam Pandangan Hukum Islam: Kajian Tematik Ayat dan Hadits tentang Risywah, STAI Al-Hidayah, Bogor, 2015

 

Hasa, Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 2012

Hasibuan, Ahmad Supardi Korupsi dan Pencegahannya dalam Perspektif Hukum Islam, (Riau, Kemenag Riau, 2014)

 

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/16/suap-perkara-korupsi-terbesar-di-indonesia diakses 17 April 2017 pukul 21.25 Wib.

 

https://parismanalush.blogspot.com/2014/09/pengertian-suap.html diaksek 25 Agustus 2018 pukul 21.00 Wib

 

Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari (Tahqiq Ibnu Baz dan Muhibbudin al-Khotib),dar Al-Fikr, Beirut, Juz 5 hlm, 221 dalam Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Adzkiyah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015

 

Ibnu katsir. Lubaabul Tafsir Min Ibni Katsir. (Jakarta:Imam as-  Syafi’I, 2007

 

‘Imad al-Dịn Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar ibn Kasir al-Damasyqy, Tafsir al-Qurān, Bairut, Dār al-Kutub al-Imiyah, 1998, Cet Ke-1 jilid VI

 

Ismawan, Indra Money Politic Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo, 1999

 

Jalaluddin Abi Abdurrahman Al-Suyŭṭị, Asbab an-Nuzul al-MusammA al-NuqUl fi AsbAb an-NuzUl, cet.1, (Bairut, Muassah Al-Kitub al-Ṡaqȯfah: 2002)

 

Jiyad, Saryoto Abu, Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Tentang Risywah diakses 19 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib dalam http://abijyad.blogspot.com/2014/01/ayat-ayat-alquran-dan-hadis-tentang_24.html

 

Khoironi, Anang Perbedaan Antara Hadiah dan Suap diakses 07 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wibhttps://intinebelajar.blogspot.com/2017/04/perbedaan-antara-hadiah-dengan-suap.html

 

 

 

Manalu, Paris, Referensi Hukum; Berbagi Referensi Hukum, KUHP, KUHAP dan TIPIKOR, diakses dari https://parismanalush.blogspot.com/2014/09/pengertian-suap.html 07 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib

 

Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait; 1983) Juz 22

 

Moleong, Lexy J. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2002.

 

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, cet. 1, ed. ‘Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin al-Turki, (Bairut, Muassasah al-Risālah: 2006), jilid XVI

 

Mu’jam Lughah al-Fukaha’, 1/493, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

 

Mujamma’ al-Lugoh al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasịṭ, (Kairo, Maktabah asy-Syurŭq al-Dauliyah, 2004, Cet Ke-4)

 

Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.

Nawatmi, Sri, Pengaruh Korupsi Terhadap Perkembangan Ekonomi Studi Empiris Negara-Negara Asia Pasifik, Universitas STIKUBANK dalam Jurnal Media Ekonomi dan Manajemen Vol 31 No 1, 2016

Putra, Agustian Adi, Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Tentang Tindak Pidana Korupsi di Ditreskrimsus Subdit III Tipikor Polda Sumatera Selatan, (Palembang: Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa), 2018

Qordowiy, Yusuf Halal Wal Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh Tatam Wijaya, Tuntas Memahami Halal dan Haram, Jakarta, Qalam, 2017, Cet Ke-1.

 

Riyadi, Slamet, Jurnal tentang Reinterpretasi Tindak Pidana Korupsi Suap oleh Penegak Hukum dalam Perspektif Hukum Islam, 2015, STIH Muhammadiyah Kota Bumi Lampung.

 

Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

 

Saleh, K. Wantjik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983.

 

Saleh, Qamaruddin (dkk), Asbabun Nuzul;latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Bandung,  CV. Diponegoro,  Cet Ke ix, 2007.

 

Shihab, Muhamad  Quraish , Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an, Jakarta,  Lentera Hati, 2012, Cet Ke-V, Vol I.

 

Sukmayeti, Evi, Jurnal tentang Redefinisi Suap Dalam Birokrasi Menurut Etika Islam Tentang Risywah, 2010, STIA Mataram.

 

Surachmin, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011)

 

Suyitno, Menyingkap Makna Hadis Tentang Risywah: Suatu Kajian Kritik Hadis,” dalam Suyitno (ed.), Korupsi, Hukum, Dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih Antikorupsi, Yogyakarta, Gama Media, 2006.

 

Tim Revisi, Pedoman Penulisan Skripsi dan Makalah, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, Palembang, 2015.

 

Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, (JakartaGema Insani Press,2003)

 

UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12b Tentang Gratifikasi

 

Waluyo, Joko, Analisis Hubungan Kausalitas Antara Korupsi, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan, http://repository.upnyk.ac.id, hlm.162. diakses 05 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib

 

Yuliadi, Tri, Implementasi Kebijakan Gratifikasi di Ditreskrimsus Subdit III Tipikor Polda Sumatera Selatan, (Palembang: Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa)

 

Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta, Handika Agung, 1989

 

Zaid, Nasr Hamid Abu, Tektualitas al- Qurān; Kritik Terhadap Ulumul Qurān tej. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta, LkiS: 2001), Cet Ke-1

 

Zen, Hepi Riza, Jurnal tentang Politik Uang dalam Pandangan Hukum Positif dan Syariah, 2015, IAIN Raden Intang Lampung.



[1] Suyitno, Menyingkap Makna Hadis Tentang Risywah: Suatu Kajian Kritik Hadis,” dalam Suyitno (ed.), Korupsi, Hukum, Dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih Antikorupsi, Yogyakarta, Gama Media, 2006, hlm. 87

[2] Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan Syari & Sosial, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996, hlm. 93.

 

[3] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata, Bandung, Pondok Yatim Al-Hilal, 2010, hlm, 379

[4] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379

[5]Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat, hlm, 26-29

[6] K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm, 79

7 Pasal 3 UU 3/1980.

 

[8]Yusuf Qordhowi, Halal Wal Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh Tatam Wijaya, Tuntas Memahami Halal dan Haram, (Jakarta, Qalam, 2017), Cet Ke-1, hlm, 495

[9] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…29

[10] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an, Jakarta,  Lentera Hati, 2012, Cet Ke-V, Vol I, hlm, 498

[11] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…115

[12] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta:Handika Agung, 1989), hlm, 142

[13] Indra Ismawan, Money Politic Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Penerbit Media Presindo, 1999), hlm, 4.

[14] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta , Intermasa, 1996), hlm, 1506

[16] Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah…hlm, 219

[17] Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah…hlm, 219

 

[18] Abdullah bin Abd. Muhsin, Suap dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), hlm, 9

[19] Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 2012), hlm, 1234

[20] Yusuf Qordhowi, Halal Wal Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh Tatam Wijaya, Tuntas Memahami Halal dan Haram, Jakarta, Qalam, 2017, Cet Ke-1, hlm, 495

[23] Yusuf al Qarḍhawị, Halal Haram Dalam Islam…hlm, 320.

[24] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari (Tahqiq Ibnu Baz dan Muhibbudin al-Khotib),dar Al-Fikr, Beirut, Juz 5 hlm, 221 dalam Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Adzkiyah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015

 

[27] Mujamma’ al-Lugoh al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasịṭ… hlm, 526

[31] Yusuf al Qarḍhawi, Halal dan Haram dalam Islam…hlm, 321.

[32] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata… hlm, 380

[33] https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn diakses 27 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib

[34] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an, (Jakarta,  Lentera Hati, 201), Cet Ke-V, Vol IX, hlm, 440

[35] https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-36#tafsir-jalalaynhttps://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn diakses 27 Oktober 2018 Pukul 22.00 Wib

[36] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an…Vol IX, hlm, 4

[37] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 29

[38] K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung, Diponegoro, 2011, Cet Ke-2), hlm, 54

[39] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an…Vol I, hlm, 449

[41] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 83

[43] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an, (Jakarta,  Lentera Hati, 2012), Cet Ke-V, Vol II, hlm, 497

[45] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an…II, hlm, 500

[46] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 115

[47] K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul…hlm, 195

[49] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an…III, hlm, 125

[50] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 192

[52] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an… Vol V, hlm, 81

[53] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 113

[55] Muhamad  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan Keserasianal-Qur’an… Vol IV, hlm, 103

[56] Jafar Shodiq, Ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah, Diakses 22 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib dari https://www.academia.edu/24329240/Ayat Makkiyah dan Madaniyah

[57] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulumul Qur’an, diteremahkan Muzakir, As, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), Cet Ke-14, hlm 83

[58] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulumul Qur’an…hlm 83

[59] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan; Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung, Mizan, 1999), hlm, 25-30. Baca juga, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan, 2001), hlm,24-26.

[61] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379

[62] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379

[65] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379

[66] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 29

[68] Ahmad bin ‘Ali bin Ibn Hajar al-‘Asqolāni, al-‘Ijāb fi Bayān al-Asbāb, hlm, 451.

[69] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Ṭabari.Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wịl Ȧi al-Qurān, cet. 1, ed. Abdullah bin Abdulmuhsin al-Turki, (Kairo, Hajr li Taba’ah: 2001),  hlm, 276.

[70] Abu Muhammad ‘Abdulhaq bin ‘Aṭiyah al-Andalusi, Al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitāb al-‘Aziz, cet. 1, ed. ‘Abdussalam ‘Abdu al-Syāfi Muhammad, (Bairut, Dār al-Kutub al-Ilmiyah:2001), jilid I, hlm, 260.

[72] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus, Dar al-Fikr: 2003), Jilid.III, hlm,33.

[73] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari; Jami' al-Bayan fi ta'wili al-Qur'an,  hlm, 639.

[74] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari; Jami' al-Bayan fi ta'wili al-Qur'an,  jilid VIII, h. 428.

[75] Abdurrahman bin Muhammad bin Idris al-Rāzi ibn Hātim, Tafsir al-Qurān al-Aẓịm, cet. 1, ed. As’ad Muhammad Ṭoib, (Riyāḏ, Maktabah Nazār Muṣṭafa : 1997), Jilid IV, hlm, 1134.

[76] Agus Berkah Hamdani, Asbabun Nuzul Ayat Diakses 21 Oktober 2018 Pukul 21 Wib dari http://asbabunnuzulquran.blogspot.com/2014/07/quran-surat-at-taubah-ayat-34penjelasan.html

[77] Muhammad al-Amịn bin Abdullah al-Uramiyyi al-Alawi al-Harari al-Syāfi’i, Tafsir Hadāiq al-Rauh wa al-Raihān, jilid XI, hlm, 217-218.

[79] Ahmad Muṣṭafa al-Marāgi,, Tafsir al-Marāgi, cet. 1, Mesir, Maktabah Muṣṭafa  al-Bābi: 1946) jilid VI, hlm, 104

[80]  M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Hlm, 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar