Ebing Karmiza
Pendahuluan
Suap bagaikan penyakit menular yang sangat ganas, menjalar dan menular
dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Fakta
dan realitas yang ada memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat cenderung
mempraktekkan suap untuk mempermudah segala urusan.
Bagi kelompok ini,
seolah-olah tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat suap[1]. Suap masih dianggap sebagai hal yang wajar, lumrah dan tidak berdosa.
Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan
dan dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Praktek suap-menyuap merupakan salah
satu penyakit sosial yang semakin hari semakin kronis menggejala di
Indonesia. Jika melihat sejarah, merebaknya perilaku
suap dalam kehidupan
masyarakat saat ini sebenarnya bukan merupakan hal baru, akan tetapi sudah
mewarnai kehidupan sosial
generasi zaman terdahulu dan bahkan sudah dikenal pada masa Nabi Sulaiman A.S dan pra kerasulan Muhammad saw[2].
Pada masa Nabi Sulaiman, praktek suap menyuap ini pernah
dilakukan oleh Ratu Saba’ (Balqis). Suatu ketika, Nabi Sulaiman
menulis surat kepada Ratu
Saba’ untuk
mengajaknya
mengesakan
Allah
Swt,
sebagaimana
dilukiskan dalam Q.S An-Naml: 29-30
Artinya:”Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar,
sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya
surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”[3]
Begitu Ratu Saba’ membaca
surat Nabi Sulaiman tersebut, kemudian mengadakan rapat bersama pembesar-pembesar kerajaan. Para pembesar
tersebut mengusulkan untuk menggelar kekuatan militer untuk
memerangi Nabi Sulaiman.
Namun Ratu tidak sependapat,
dan lebih memilih jalur diplomasi dan negosiasi dengan cara memberi hadiah (suap) kepada Nabi Sulaiman, seperti yang digambarkan dalam Q.S
An-Naml:
35
Artinya: “ Dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu
apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu"[4]
Inilah potret nyata dari kasus suap yang pernah dilakukan oleh Ratu
Saba’ kepada Nabi Sulaiman,
dengan asumsi Nabi Sulaiman bisa dipengaruhi dan dibeli serta membiarkan Ratu Saba’ dalam kemusyrikan dan kesesatan hidup[5]
Meskipun sudah
ada sejak
lama, Undang-undang
Tindak Pidana
Suap di Indonesia baru muncul pada tahun 1980. Bermula dari
adanya peristiwa
penyuapan di kalangan olahraga (sepak bola)
yang ramai dibicarakan oleh masyarakat pada waktu itu yang
kemudian melahirkan UU No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (LN tahun 1980 No. 58) yang disahkan dan mulai berlaku pada 27 Oktober 1980[6]. Namun dalam Undang-
undang ini terdapat batasan terhadap tindak pidana suap,
yaitu menyangkut kepentingan umum, jadi
praktek suap yang bersifat individual tidak dapat
dipidana.
Adapun defenisi suap yaitu
“ Barangsiapa menerima sesuatu atau janji,
sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau
janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang
menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana
penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”[7]
Jika perilaku suap dilakukan
secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang
seolah-olah “dibenarkan” , bukan lagi dianggap sebagai suatu
yang salah atau perbuatan dosa dan haram. Bahkan masyarakat menganggap suap
sebagai hal yang sudah biasa tidak aneh lagi. Sudah menjadi rahasia umum bila
sebagian masyarakat hingga kini masih
beranggapan, untuk menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
anggota TNI/Polri
bisa melalui
jalan dengan suap yang bernilai hingga puluhan ratusan rupiah.
Dengan semakin sempitnya
ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga
merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling
bawah.
Suap-menyuap tidak hanya dilakukan rakyat kepada
pejabat Negara
(pegawai negeri) dan para penegak hukum,
tetapi juga sebaliknya. Pihak
penguasa atau calon penguasa tidak jarang
melakukan sedekah politik (suap)
kepada
tokoh-tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya, mendukung
keputusan politik, dan
kebijakan-kebijakannya.
Sudah rahasia umum dan
membudaya bahwasannya dalam sektor pelayanan publik kegiatan suap menyuap
menjadi hal yang lumrah, dalam skala kecil, kegiatan tersebut sudah menjadi
kebiasaan dimana suap menjadi alasan agar mempermudah jalannya proses administrasi
pelayanan publik’’ uang pelicin”. Dalam kajian keislaman sendiri, hukum suap
sudah jelas yaitu haram, sebagaimana dijelaskan Yusuf Qordhowi dalam buku yang
berjudul “Halal dan Haram” bahwa termasuk memakan harta orang lain
dengan cara batil adalah makan harta
suap yaitu harta yang diberikan kepada orang yang memiliki kekuasaan atau
kewenangan untuk memenangkan, mengalahkan pihak lawan, memuluskan proyek dan
sesungguhnya tidak layak bagi dirinya[8]
sebagaimana dijelaskan dalam Q.S
Al-Baqarah:188
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ
أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ
لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui”[9]
Menurut
Quraish Shihab ayat di atas mengisyaratkan bahwa janganlah sebagian manusia
mengambil harta orang lain untuk menguasainya tanpa hak dan jangan pula
menyerahkan urusan harta kepada hakim yang berwenang memutuskan perkara bukan
untuk tujuan memperoleh hak kalian akan tetapi untuk memperoleh hak orang lain
dengan melakukan dosa dan dalam keadaan mengetahui bahwa kalian sebenarnya
tidak berhak[10].
Kemudian diperkuat dalam Q.S Al-Ma’idah: 42
سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ
أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ أَعۡرِضۡ
عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡٔٗاۖ وَإِنۡ حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم
بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang
yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka
(orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”[11]
Dalam
al-Qur’an sendiri makna suap disebutkan dalam beberapa istilah yaitu riswah,
suhtun dan hadiah. Riswah adalah sesuatu yang diberikan kepada
pejabat untuk mendapatkan pertolongan yang bathil, sedangkan suhtun berarti setiap harta haram yang
tidak boleh diusahakan dan dimakan. Sedangkan hadiah sendiri secara umum bisa bermakna negatif
maupun positif tergantung daripada niat sang pemberi, contoh pemberian hadiah
yaitu apa yang Ratu Balkis kepada Nabi sulaiman.
Melihat konteks saat ini
dimana perilaku suap sudah menjadi umum dan biasa, pemaknaan kata haram sedikit
terkikis, ada sebuah pemikiran dalam benak sebagian masyarakat pada umumnya
bahwa hal yang salah jika sudah umum dilakukan itu bisa dibenarkan, jika
sesuatu yang sudah membudaya dan sudah menjadi sesuatu yang umum, sekalipun hal
tersebut sebenarnya salah, namun manusia tidak akan malu untuk melakukannya
kerena sudah sama saja, namun sekali lagi bahwa hukum Allah Swt tidak bisa
seperti itu, sudah jelas benang merahnya.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang sudah dipaparkan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai “ Sejarah Perilaku
Suap Dalam Perspektif Al-Qur’an”.
Landasan Teori
Kata suap dalam bahasa Arab disebut "risywah" atau" risya". Secara bahasa berarti
"memasang
tali, ngomong, mengambil hati". Risywah berasal dari bahasa Arab "rasya, yarsyu, rasywan" yang
berarti memberikan uang
sogokan"[12].Istilah lain yang
searti dan biasa dipakai di
kalangan masyarakat adalah "suap, uang tempel, uang
semir, atau pelicin". Risywah atau sogok
merupakan penyakit (patologi)
sosial atau tingkah laku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat
dan tidak
dibenarkan oleh ajaran Islam. Sedangkan
risywah
menurut istilah
adalah praktik pemberian uang
atau
barang atau iming-iming
sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again). Artinya tindakan money politic itu dilakukan
secara sadar oleh pelakunya[13]. Menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu
dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan,
kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat
dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Menurut
Ali bin Muhammad As-Sayyid As-Syarif Al-Jurjani, risywah adalah sesuatu pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan sesuatu yang
hak (benar) atau membenarkan yang batil[14]. Sedangkan
menurut
ulama yang lain,
risywah
adalah sesuatu pemberian yang menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.
قَال الْفَيُّومِيُّ : الرِّشْوَةُ – بِالْكَسْرِ – : مَا يُعْطِيهِ
الشَّخْصُ لِلْحَاكِمِ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ ، أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا
يُرِيدُ
Artinya:
“Al-Fayyumi rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya, agar hakim itu
memenangkannya, atau agar hakim itu mengarahkan hukum sesuai dengan yang
diinginkan pemberi risywah”.[15]
وَقَال ابْنُ الأْثِيرِ : الرِّشْوَةُ :
الْوُصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ
Artinya:
“Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang
menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”[16]
Itu
adalah makna secara lughah (bahasa),
adapun menurut istilah:
مَا يُعْطَى لإِبْطَال حَقٍّ ، أَوْ
لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ
Artinya:
Risywah (suap) adalah: sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran
atau untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman).[17]
Perlu
diperhatikan bahwa risywah (suap) tetap haram dan tidak menjadi halal
hanya dengan dirubah namanya. Sebagian orang melakukan atau meminta risywah
(suap) tapi dinamai dengan hadiah, sedekah, hibah, kopi, pasal, atau lainnya,
maka itu tetap haram.
Sedangkan menurut
pengertian umum dikenal beberapa pengertian
suap (risywah) seperti berikut ini :
1. Suap adalah pemberian terhadap seorang pejabat dengan tujuan kepentingan si pemberi bisa
terealisir
sekalipun melalui usaha-usaha yang tidak sehat dan tidak sesuai dengan aturan. Suap semacam ini haram hukumnya, baik bagi yang
memberi maupun yang menerima. Jika pemberian itu dimaksudkan untuk mempertahankan hak-hak pemberi karena
dia berada di pihak yang benar, maka pemberian
itu hanya haram
bagi yang menerima.
2. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang dengan syarat orang yang diberi tersebut dapat menolong orang yang
memberi. Maksudnya adalah sesuatu pemberian baik berupa uang, barang
atau
jasa yang diberikan pada seseorang dengan tujuan meraih sesuatu yang diinginkan,
berkat bantuan
orang yang diberi tersebut.
3. Suap adalah sesuatu yang diberikan setelah seseorang telah meminta
pertolongan berdasarkan kesepakatan. Definisi ini kurang
umum karena tidak mencakup definisi suap yang
tanpa kesepakatan. Definisi
ini juga tidak mencegah adanya semacam pemberian yang sebetulnya tidak termasuk suap, seperti misalnya sedekah. Terkadang sedekah diberikan
setelah ada yang memintanya.
4. Suap adalah sesuatu yang diberikan untuk mengeskploitasi sesuatu yang hak menjadi batil
dan
yang batil menjadi hak. Artinya sesuatu itu diserahkan atau diberikan kepada orang lain
supaya si pemberi ditolong walaupun dalam urusan yang tidak dibenarkan oleh syara’.
Definisi ini juga kurang lazim
sehingga tidak mencakup
semua bentuk suap.
5. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang agar orang yang diberi itu memberi hukuman dengan cara yang
batil atau memberi sesuatu kedudukan agar berbuat dhalim.
Dengan kata lain sesuatu yang
diberikan oleh si penyuap kepada seseorang dengan
tujuan agar penyuap mendapat pertolongan dengan hukum batil dari masalah yang
hak atau agar mendapatkan
kedudukan yang tidak
layak baginya.
6. Suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang itu mendapatkan kepastian
hukum atau memperoleh
keinginannya. Definisi ini menjelaskan
bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau pejabat dan lainnya dengan segala bentuk dan caranya. Sesuatu yang diberikan itu ada kalanya berupa harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi penerima sehingga keinginan penyuap tersebut dapat terwujud
baik secara hak
maupun dengan cara batil.[18]
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suap diartikan sebagai pemberian dalam
bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri.[19] Dalam arti yang lebih luas suap tidak
hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa pemberian brang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan
kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang pemberian tersebut dianggap ada
hubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai
pegawai negeri atau pejabat negara.
Yusuf Qordhawi mengatakan, bahwa suap
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau
jabatan apapun untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai
dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau
menyingkirkan musuhnya[20].
Suap adalah pemberian yang diharamkan
syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Suap ketika memberinya
tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan hukum atau syariat, baik syarat
tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Suap
diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Suap
pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling
tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan
sebelum pekerjaan.
.
Hasil
Penelitian
Inventarisasi Ayat Tentang Suap
|
|
|
|
|
|
No |
Nama Surat |
No. Ayat |
Variasi Kata |
Kategori Ayat |
|
1 |
QS. An-Naml |
35 dan 36 |
Hadiah |
Makkiyah |
|
2 |
QS. Al-Baqarah |
188 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
|
3 |
QS. An-Nisā' |
29 dan 30 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
|
4 |
QS. Al-Māidah |
42, 62 dan 63 |
Suht |
Madaniyah |
|
5 |
QS. Al-Māidah |
33 |
Fasād filarḏ |
Madaniyah |
|
6 |
QS. At-Taubah |
34 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
|
Suap dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Suap Menurut
Para Ahli
Pengertian risywah menurut etimologis (lughowi). Para ahli bahasa dan
fuqaha’ berbeda pendapat dalam
mendefinisikan kata risywah. Kata risywah berasal dari bahasa Arab. Secara tektual
atau literal, risywah merupakan derivasi dari kata rasya-yarsyu yang berarti menjulurkan kepala. Al-Mu'jam al-Wasith disebutkan rasya al-farakhu, artinya anak puyuh itu
menjulurkan kepalanya kepada induknya.[21] Ibn Al-Aśịr mendefinisikan, الرُّشوة – الرِّشوة yakni usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan
sikap yang berpura-pura/dibuat-buat, asal muasal risywah berasal dari الرِشاء yaitu tali yang menyampaikan timba ke (sumber) air. الراشي adalah
orang yang memberi agar dibantu dalam kebatilan (penyuap), المرتشي adalah orang yang disuap (mengambil uap suap), sedang الرائش adalah penghubung diantara penyuap dan yang disuap[22]
Adapun secara terminologi, Para fuqaha’ bervariasi memberikan definisi
tentang risywah, menurut Yusuf Qardhawị mengatakan, risywah adalah “uang yang diberikan kepada penguasa
atau pegawai, supaya penguasa atau pegawai tersebut menjatuhkan hukuman yang
menguntungkannya, atau hukum yang merugikan lawannya menurut kemauannya, atau
supaya didahulukan urusannya atau ditunda karena ada sesuatu kepentingan dan
seterusnya”[23].
Sedangkan menurut Ibnu Hajar Asqolani dalam Kitab Fathul Bari risywah adalah
“suatu harta yang diberikan untuk membeli kehormatan/ kekuasaan bagi yang
memilikiya guna menolong/ melegalkan suatu yang sebenarnya tidak halal”.[24]
Dengan
mencermati beberapa definisi, bahwa semua definisi memberi makna, tujuan, dan
aspek yang berbeda, ada menyangkut esensi penyuapan, atau yang ada kemiripan
dengannya (seperti gratifikasi), karena suap merupakan fenomena sosial dan
memiliki banyak pola sehingga sulit untuk menentukan definisi yang tepat dan membatasi
maknanya. Tapi menurut Asy-Syịsyanị definisi yang pertama lebih
tepat, sebab telah menjelaskan makna risywah secara obyektif, yaitu:
Pemberian yang diberikan kepada seseorang (pejabat) supaya yang benar menjadi
salah dan salah menjadi benar, karena merangkum inti dari praktek suap dan di
anggap sebagai definisi yang komprehensif dari semua aspek suap yang
diharamkan, sehingga memungkinkan memilih ini[25]. Sedangkan menurut MUI
suap adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat)
dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan
perbuatan yang hak.[26]Adapun untuk
mendapatkan definisi yang lebih lengkap dan paling komprehensif yaitu memiliki
semua aspek dan delik suap dengan ketentuan dalam semua kasus akan sangat sulit
untuk dicapai.
Namun dari definisi-definisi di
atas dapat ditarik
satu kesimpulan bahwa tindak menyuap atau menerima suap adalah hal yang
dianggap bertentangan dengan norma kebaikan, baik dalam tinjauan hukum positif
atapun dalam pandangan Islam. Hanya saja, Islam meletakkan perkara suap ini
sebagai tindakan yang tidak hanya berpengaruh terhadap kualitas kehidupan seseorang
di dunia, namun juga memiliki konsekuensi di akhirat.
Kemudian terdapat
beberapa istilah di dalam terminologi syari’ah yang memiliki hubungan makna
dengan istilah risywah. Istilah-istilah tersebut akan
disebutkan berikut ini:
a) Muṣana'ah
Di dalam Al-Mu'jam Al-Wasith disebutkan, kata mushana'ah memiliki arti melakukan sesuatu untuk orang lain, agar orang
tersebut melakukan hal lain untuknya sebagai balasan perlakuannya tersebut.
Istilah muṣāna'ah kerap kali digunakan sebagai kiasan dari perilaku risywah.[27] Para ulama klasik sering menyebut risywah dengan istilah muṣāna'ah.
b) Suht
Kata suht secara bahasa berarti, segala sesuatu yang jelek dan yang buruk
dari bentuk-bentuk usaha yakni layak untuk mendapat celaan. Sedangkan menurut
istilah, suht berarti setiap harta haram yang
tidak boleh diusahakan dan dimakan. Dikatakan suht karena harta ini dapat menghapus
ketaatan dan menghilangkannya. Kata suht disebut di dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 42, 62 dan 63. Para mufassirịn menafsirkan kata suht yang menjadi kebiasaan Yahudi ini sebagai risywah. Namun demikian, kata suht adalah lafaz yang masih
bersifat umum, yaitu segala macam harta haram yang tidak boleh diambil dan
dimakan, suht meliputi riba, suap, rampasan,
hasil judi, harta curian, ongkos pelacur, mahar tukang tenung, dan segala
bentuk harta yang didapatkan dari jalan yang batil. Sementara risywah bersifat lebih khusus dan
merupakan bagian dari suht.[28]
c) Hadiah
Adapun hadiah berasal dari kata Hadi هادي
terambil dari akar
kata
yang terdiri dari huruf-huruf
ha’, dal, dan ya. Maknanya berkisar pada dua
hal. Pertama,
tampil ke depan
memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi yang bermakna
penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir
kata hidayah هدية yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut
guna menunjukkan simpati.[29] Kata hadiah dapatkan
ditemukan dalam Q.S An-Naml ayat 35 dan 36. Jika mentadabburi Q.S An-Naml, memberi hadiah (upeti)
kepada negara atau kerajaan yang lebih kuat ternyata sudah menjadi budaya pada
saat itu. Seperti hadiah Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman A.S. Penulis melihat
ada tiga alasan kenapa Ratu Balqis memberi hadiah: pertama, hadiah
sebagai bentuk kesetiaan kepada kerajaan yang kuat dan supaya terhindar dari
gempuran mereka; kedua; hadiah, untuk menguji kepribadian Nabi Sulaiman A.S
apakah beliau seorang Nabi atau seperti raja-raja lain yang suka hadiah
(upeti); ketiga; risywah, agar Nabi Sulaiman A.S menghentikan dakwah.[30]
Nilai luhur Islam mendorong
setiap muslim untuk selalu gemar memberikan hadiah kepada orang lain, bahkan
Rasulullah Saw menengarai, bahwa kebiasaan saling memberi hadiah ini dapat
memicu lahirnya rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama. Namun demikian,
tidak semua praktik memberi dan menerima hadiah dapat dibenarkan di dalam
syariah. Di antara hadiah yang tidak diperbolehkan di dalam Islam adalah hadiah
yang diberikan untuk pengendali kebijakan, pemegang wewenang dan otoritas, orang
yang bertugas menjalankan pelayanan publik dan hakim yang hendak memutuskan
suatu perkara. Hal ini disebabkan oleh motivasi dan tujuan yang tersembunyi
dari pemberian hadiah tersebut, yaitu untuk mendapatkan keuntungan dan balasan
dari wewenang yang mereka miliki. Al-Qardhawi menyebutkan bahwa penamaan suap
dengan istilah 'hadiah' tidak akan merubah statusnya dari haram menjadi halal.[31]
2.
Pembahasan Ayat-ayat Tentang Suap
Adapun pembahasan secara khusus mengenai suap dalam
al-Qur’an berikut akan dikaji ayat-ayat yang berhubungan dengan suap. Penulis mengumpulkan ayat yang bersama-sama membahas
topik risywah dan menertibkannya sesuai masa turunnya selaras dengan asbab nuzul, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan dan
keterangan serta hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil
hukum-hukum darinya.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan risywah sebagaimana
berikut ini:
Pertama: Surah An-Naml ayat 35 dan 36, Allah berfirman:
وَإِنِّي
مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥ فَلَمَّا
جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ
خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦
Artinya: “Dan
sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah,
dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan
itu". Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata:
"Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan
Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu
merasa bangga dengan hadiahmu”[32]
Dalam Q.S An-Naml: 35, Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa (Dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa
yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu") apakah mereka akan
menerima hadiahku ini atau menolaknya. Jika ia seorang raja niscaya ia akan
menerimanya, jika ia seorang Nabi niscaya ia akan menolaknya. Kemudian ratu
Balqis mengirimkan para pelayan lelaki dan perempuan yang jumlahnya dua ribu
orang; separuh laki-laki dan separuh lagi perempuan. Para utusan itu membawa
lima ratus balok emas, sebuah mahkota yang bertatahkan permata, minyak kasturi,
minyak anbar dan hadiah-hadiah lainnya beserta sebuah surat jawaban. Burung
Hud-hud segera terbang menuju ke Nabi Sulaiman untuk memberitakan kepadanya
semua apa yang ia dengar dan saksikan itu. Setelah Nabi Sulaiman mendapat
berita dari burung Hud-Hud, maka segera ia memerintahkan pasukannya untuk
membuat batu bata dari emas dan perak, hendaknya dari tempat ia berkemah sampai
dengan sembilan farsakh dihampari permadani, kemudian di sekelilingnya dibangun
tembok yang terbuat dari batu bata emas dan perak, kemudian ia memerintahkan
kepada anak-anak jin supaya mendatangkan hewan darat dan hewan laut yang paling
indah untuk ditaruh di sebelah kanan dan kiri lapangan dekat istana yang
dibangunnya itu.[33] Menurut
Ibn Asyrur dalam Tafsir Al-Misbah
karangan M. Quraish Shihab, menggarisbawahi bahwa walaupun ayat di atas
menggambarkan musyawarah yang dilakukan sang Ratu, ayat ini tidak dapat
dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa Islam menganjurkan musyawarah,
jelasnya ayat ini menggambarkan kebijaksanaan seorang Ratu.[34]
Jika ditarik dalam konteks suap maka ayat ini menerangkan bahwa Ratu Balqis
mencoba untuk merubah pendirian Nabi Sulaiman AS melalui pemberian hadiah.
Berdasarkan kedua penafsiran di atas bahwa apa yang dilakukan Ratu
Balqis dengan mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman A.S dengan tujuan agar
merubah pendirian Nabi Sualaiman, peristiwa ini memperlihatkan bahwa tujuan
dari pemberian hadiah tersebut merupak bagian dari praktek suap.
Dalam
Q.S An-Naml: 36, Tafsir Jalalain
menjelaskan bahwa, (Maka tatkala utusan itu sampai) utusan ratu Balqis yang
membawa hadiah berikut dengan pengiring-pengiringnya (kepada Sulaiman. Sulaiman
berkata, "Apakah patut kalian menolong aku dengan harta?, apa yang
diberikan Allah kepadaku) berupa kenabian dan kerajaan (lebih baik daripada apa
yang diberikan-Nya kepada kalian) yakni keduniaan yang diberikan kepada kalian
(tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian itu) karena kalian merasa
bangga dengan harta keduniaan yang kalian miliki.[35]
Adapun dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan
bahwa Utusan Ratu Balqîs pun kemudian sampai kepada Nabi Sulaimân A.S dengan
membawa hadiah. Merasakan betapa besar karunia Allah Swt yang diberikan kepadanya,
Sulaimân berkata kepada utusan itu, "Untuk apa kalian membawa harta
untukku? Nikmat kenabian dan kerajaan serta nikmat-nikmat lainnya yang Allah
karuniakan kepadaku jauh lebih besar dari apa yang diberikan kepada kalian.
Tapi kalian malah merasa bangga dengan hadiah itu dan banyaknya harta yang
kalian miliki. Kalian tidak seperti aku. Kalian hanya tahu urusan keduniaan
saja."[36]
Berdasarkan
penafsiran di atas memperlihatkan bagaimana Nabi Sulaiman A.S bersikap tatkala
dalam posisi yang disuap oleh Ratu Balqis yang mengirimkan utusan beserta
hadiah yang banyak. Dalam hal ini Nabi Sulaiman mengingat bahwa perkara duniawi
tidak sebanding dengan nikmat yang Allah Swt telah berikan kepadanya yaitu
nikmat Kenabian dan Kerajaan.
Kedua: Surat Al-Baqarah Ayat 188,
Allah Swt
berfirman:
وَلَا
تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ
لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya: “Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”[37]
Asabab Nuzul
ayat ini berkenaan dengan Umru Ul Qais bin ‘Abin dan ‘Abdan bin Asywa’
al-Hadrami yang bertengkar soal tanah. Umru Ul Qais berusaha mendapatkan tanah
itu agar menjadi miliknya dengan bersumpah di depan hakim. Turunya ayat ini
sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan
bathil.[38]
Dalam Tafsir
Al-Misbah menjelaskan bahwa diharamkan atas kalian memakan harta orang lain
secara tidak benar. Harta orang lain itu tidaklah halal bagi kalian kecuali
jika diperoleh melalui cara-cara yang ditentukan Allah seperti pewarisan, hibah
dan transaksi yang sah dan dibolehkan. Terkadang ada orang yang menggugat harta
saudaranya secara tidak benar. Untuk mendapatkan harta saudaranya itu, ia
menggugat di hadapan hakim dengan memberi saksi dan bukti yang tidak benar,
atau dengan memberi sogokan yang keji. Perlakuan seperti ini merupakan perlakuan
yang sangat buruk yang akan dibalas dengan balasan yang buruk pula. Ayat ini
mengisyaratkan bahwa praktek sogok atau suap merupakan salah satu tindak
kriminal yang paling berbahaya bagi suatu bangsa. Pada ayat tersebut dijelaskan
pihak-pihak yang melakukan tindakan penyuapan. Yang pertama, pihak penyuap, dan
yang kedua, pihak yang menerima suap, yaitu penguasa yang menyalahgunakan
wewenangnya dengan memberikan kepada pihak penyuap sesuatu yang bukan haknya.[39]
Sedangkan dalam Tafsir Jalalain
mengatakan (Dan janganlah kamu memakan harta sesama kamu), artinya janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain (dengan jalan yang batil),
maksudnya jalan yang haram menurut syariat, misalnya dengan mencuri,
mengintimidasi dan lain-lain (Dan) janganlah (kamu bawa) atau ajukan (ia)
artinya urusan harta ini ke pengadilan dengan menyertakan uang suap (kepada
hakim-hakim, agar kamu dapat memakan) dengan jalan tuntutan di pengadilan itu
(sebagian) atau sejumlah (harta manusia) yang bercampur (dengan dosa, padahal kamu
mengetahui) bahwa kamu berbuat kekeliruan.[40]
Berdasarkan penafsiran di atas jelas bahwa
Allah Swt melarang bagi siapapun memakan harta saudaranya, dan perilaku seperti
ini akan mendapat balasan yang sangat buruk. Salah satu contoh memakan hak
saudaranya adalah dengan perilaku suap meyuap, dimana dalam proses tersebut ada
hak orang lain yang terenggut.
Ketiga: Surat An-Nisa' Ayat 29-30, Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
عُدۡوَٰنٗا وَظُلۡمٗا فَسَوۡفَ نُصۡلِيهِ نَارٗاۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ
يَسِيرًا ٣٠
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan
aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah”[41]
Dalam Tafsir
Jalalain (Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu makan harta sesamamu
dengan jalan yang batil) artinya jalan yang haram menurut agama seperti riba
dan gasab/merampas (kecuali dengan jalan) atau terjadi (secara perniagaan)
menurut suatu qiraat dengan baris di atas sedangkan maksudnya ialah hendaklah
harta tersebut harta perniagaan yang berlaku (dengan suka sama suka di antara
kamu) berdasar kerelaan hati masing-masing,
bolehlah kamu memakannya. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu) artinya dengan
melakukan hal-hal yang menyebabkan kecelakaannya bagaimana pun juga cara dan
gejalanya baik di dunia dan di akhirat. (Sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu) sehingga dilarang-Nya kamu berbuat demikian.[42]
Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah
menerangkan Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil harta
orang lain dengan cara tidak benar. Kalian diperbolehkan melakukan perniagaan
yang berlaku secara suka sama suka. Jangan menjerumuskan diri kalian dengan
melanggar perintah-perintah Tuhan. Jangan pula kalian membunuh orang lain,
sebab kalian semua berasal dari satu nafs. Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada kalian.[43]
Dalam ayat ini ada larangan mengambil dan
merampas hak orang lain, merampas disini bisa terjadi dalam perilaku suap menyuap,
dimana jika seseorang melakukan suap untuk mendapatkan suatu pekerjaan dan
semacamnya padahal orang tersebut tidak layak, maka ada hak orang lain yang
lebih layak telah terampas haknya.
Adapun surah An-Nisa’ ayat 30 dalam Tafsir Jalalain menerangkan (Dan siapa
berbuat demikian) apa yang dilarang itu (dengan melanggar yang hak) menjadi hal
(dan aniaya) menjadi taukid (maka akan Kami masukkan ia ke dalam neraka) ia
akan dibakar hangus di dalamnya (dan demikian itu bagi Allah amat mudah) atau
pekerjaan gampang.[44]
Sedangkan dalam Tasfir Al-Misbah menerangkan
“barangsiapa melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah dengan memusuhi dan
melanggar hak- Nya, maka ia akan Kami masukkan ke dalam api neraka yang
membakar. Hal itu adalah mudah bagi Allah”.[45]
Berdasarkan penafsiran di atas ayat ini
menjelaskan mengenai hukuman atau balasan bagi siapapun yang merampas hak orang
lain, artinya bagi siapapun yang melakukan tindakan suap-menyuap dan di
dalamnya telah terampas hak orang lain, sebagai
hukumannya Allah Swt akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Keempat: Surat Al-Ma'idah Ayat 42, Allah Swt berfirman:
سَمَّٰعُونَ
لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ
أَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡٔٗاۖ وَإِنۡ
حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
٤٢
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”[46]
Dalam suatu riwayat
mengemukakan bahwa,
“Seorang laki-laki dari suku Fadak
telah berzina. Orang-orang Fadak menulis surat kepada orang-orang Yahudi di
Madinah agar mereka bertanya kepada Muhammad Saw tentang hukuman bagi pezina
itu. Maka jika beliau memerintahkan dijilid (dipukuli), terimalah dan jika
beliau memerintahkan dirajam jangan diterima. Orang-orang Yahudi Madinah
bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw menjawab seperti yang
disebutkan dalam hadits di atas. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut di
rajam. Maka turulah ayat di atas sebagai tuntunan agar Nabi Muhammad Saw
menetapkan hukum sesuai hukum Allah Swt”.[47]
Dalam Tafsir
Jalalain menjelaskan, (Mereka orang-orang yang gemar mendengar
berita-berita bohong dan banyak memakan yang haram) dibaca suht atau suhut; artinya
barang haram seperti uang suap (maka jika mereka datang kepadamu) untuk meminta
sesuatu keputusan (maka putuskanlah di antara mereka atau berpalinglah dari
mereka) pilihan di antara alternatif ini dihapus/dinasakh dengan firman-Nya, maka
putuskanlah di antara mereka." Oleh sebab itu jika mereka mengadukan hal
itu kepada kita wajiblah kita memberikan keputusannya di antara mereka. Dan ini
merupakan yang terkuat di antara kedua pendapat Syafii. Dan sekiranya mereka
mengadukan perkara itu bersama orang Islam, maka hukum memutuskan itu wajib
secara ijmak. (Jika mereka berpaling daripadamu, maka sekali-kali tidak akan
memberi mudarat kepadamu sedikit pun juga. Dan jika kamu memutuskan) perkara di
antara mereka (maka putuskanlah di antara mereka dengan adil) tidak berat
sebelah. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil) dalam memberikan
keputusan dan akan memberi mereka pahala.[48]
Sedangkan dalam Tafsir Al-Misbah
menerangkan bahwa Mereka adalah orang-orang yang suka mendengarkan berita
bohong, banyak memakan harta haram yang tidak berkah seperti suap, riba dan
lainnya. Jika mereka datang kepadamu untuk meminta putusan perkara, maka putuskanlah
perkara di antara mereka apabila dalam hal itu kamu mendapatkan kebaikan. Atau,
berpalinglah dari mereka. Sebab jika kamu berpaling dari mereka, mereka tidak
akan dapat mendatangkan bahaya sedikit pun kepadamu, karena Allah telah
menjagamu dari manusia. Jika kamu memutuskan perkara di antara mereka, maka
putuskanlah dengan adil sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil, dan Dia akan menjaga
serta memberi pahala kepada mereka.[49]
Berdasarkan penafsiran di atas Allah Swt
memerintahkan agar berpaling dari orang-orang yang suka mendengarkan berita
bohong serta orang yang suka makan harta yang haram yaitu hasil dari merampas
hak orang lain melalui kegiatas suap menyuap.
Kelima: Surat al-Taubah ayat 34, Allah Swt berfirman:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ
كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ
وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”[50]
Dalam Tafsir
Jalalin menjelaskan bahwa (Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan) yakni mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil)
seperti menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi)
manusia (dari jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi
mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya)
dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak menunaikan
hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah
kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat
menyakitkan.[51] Sedangkan
dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan
mengenai ayat tersebut, wahai orang-orang Mukmin, ketahuilah bahwa banyak di
antara orang alim dari kalangan Yahudi dan rahib-rahib Nasrani yang
menghalalkan harta orang secara tidak benar, menyalahgunakan kepercayaan dan
ketundukan orang lain kepada mereka dalam setiap perkataan mereka, dan
menghalang-halangi orang untuk masuk Islam. Wahai Nabi, orang-orang yang
mengusai dan menyimpan harta benda berupa emas maupun perak, dan tidak
menunaikan zakatnya, ingatkanlah mereka akan siksa yang sangat pedih.[52]
Berdasarkan
penafsiran di atas menjelaskan tentang rahib-rahib Yahudi yang memanfaatkan
kedudukan dan menyalahgunakan wewenangnya untuk memakan sesuatu yang haram
yaitu merampas hak orang lain dengan berbuat curang. Allah Swt mengancam mereka dengan azab yang
pedih, bagi siapapun yang
menyalahgunakan kekuasaan dengan berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain
termasuk di dalamnya melakukan kegiatan suap menyuap maka Allah Swt mengancam
dengan api neraka.
Keenam, Surat al-Maidah Ayat 33, Allah berfirman:
إِنَّمَا
جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ
فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ
وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ
خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”[53]
Dalam Tafsir
Jalalain menjelaskan (Bahwasanya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan rasul-Nya) artinya dengan memerangi kaum muslimin (dan membuat
kerusakan di muka bumi) dengan menyamun dan merampok (ialah dengan membunuh
atau menyalib mereka atau tangan dan kaki mereka dipotong secara timbal balik)
maksudnya tangan kanan dengan kaki kiri mereka (atau dibuang dari kampung
halamannya). Atau secara bertingkat, maka hukum bunuh itu ialah bagi yang
membunuh saja, hukum salib bagi yang membunuh dan merampas harta, hukum potong
bagi yang merampas harta tetapi tanpa membunuh sedangkan hukum buang bagi yang
mengacau saja. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan dianut oleh Syafii.
Menurut yang terkuat di antara dua buah pendapat dilaksanakannya hukum salib
itu ialah tiga hari setelah dihukum bunuh. Tetapi ada pula yang mengatakan
tidak lama sebelum dibunuh. Termasuk dalam hukum buang hukuman lain yang sama
pengaruhnya dalam memberikan pelajaran seperti tahanan penjara dan lain-lain.
(Demikian itu) maksudnya pembalasan atau hukuman tersebut (merupakan kehinaan
bagi mereka) kenistaan (di dunia sedangkan di akhirat mereka beroleh siksa yang
besar) yaitu siksa neraka.[54]
Adapun dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan bahwa, Sesungguhnya hukuman orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dengan keluar dari aturan dan hukum-hukum agama,
dan membuat kerusakan di muka bumi dengan jalan membegal di jalan atau merampas
harta benda adalah sebagai berikut: hukum bunuh bagi orang yang membunuh, hukum
salib bagi orang yang membunuh dan merampas harta, hukum potong tangan dan kaki
secara silang bagi orang yang merampok di jalan dan merampas harta tetapi tidak
membunuh, hukum buang dari satu negeri ke negeri lain atau hukum penjara bagi
orang yang hanya menakut-nakuti saja. Hukuman itu merupakan penghinaan bagi
mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksa yang pedih
yaitu siksa api neraka. Pada ayat ini, al-Qur'ân menerangkan bahwa hukuman yang
ditetapkan itu hanya bermaksud untuk kemaslahatan dan mencegah kejahatan. Kalau
saja ketentuan hukum ini diterapkan dengan benar, maka akan dapat menghapus
kejahatan dan menciptakan masyarakat yang harmonis, tenteram, aman dan damai.
Di samping itu, hukuman ini dengan sendirinya akan dapat mencegah kejahatan dan
mengurangi kekacauan. Hukuman ini sangat sesuai dengan kehormatan nyawa pribadi
dan masyarakat. Orang yang melihat begitu mengerikannya hukuman ini, akan
sangat berhati-hati dan tidak akan melakukan kejahatan. Hukum ini telah
mencapai suatu hasil yang tidak dicapai oleh hukum sipil buatan manusia dalam
mencegah terjadinya suatu kejahatan. Di samping itu, hukum ini juga sesuai di
segala zaman dan masyarakat. Itulah syariat abadi yang telah Allah turunkan
untuk merealisasikan kemaslahatan. Bagi siapa yang mengklaim bahwa hukuman itu
mengerikan, hendaknya ia melihat terlebih dahulu dampak buruk kejahatan itu
sendiri.[55]
Berdasarkan
penafsiran di atas Allah Swt menegaskan bagi siapapun yang memerangi Allah Swt
dan Rasulullah Saw dengan melakukan perbuatan yang melanggar hukum Islam
seperti membuat kekacauan, membunuh dan merampas hak orang lain, maka Allah Swt
akan memberikan hukuman yang setimpal. Karena tujuan dari hukuman itu sendiri
adalah untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.
Pada bagian ini dijelaskan
tentang kategorisasi ayat berdasarkan masa turunnya meliputi kategori Makkiyah
dan Madaniyah. Ulama berselisih pendapat mengenai dasar penentuan dan definisi
dari surat Makkiyah dan Madaniyah. Ada tiga kelompok dalam mendefinisikan Makkiyah dan
Madaniyah:[56]
Pertama, berdasarkan lokasi diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an, yakni
surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan di Makkah baik sebelum atau sesudah
hijrah. Sedang Madaniyah adalah surat yang diturunkan sesudah di Madinah baik
sebelum atau sesudah hijrah. Kedua, klasifikasi berdasarkan khiṭob
(topik/percakapan/lawan pembicaraan). Jadi surat Makkiyah adalah surat yang
ditujukan kepada penduduk Makkah, sedang surah Madaniyah adalah ayat yang
ditujukan kepada penduduk Madinah. Ketiga, klasifikasi
berdasarkan waktu penurunan. Surat Makkiyah adalah surat yang diturunkan
sebelum Nabi Muhammad Saw, hijrah, walaupun turunnya di luar daerah Makkah.
Sedangkan surat Madaniyah adalah surat yang diturunkan setelah Nabi Muhammad Saw, melakukan hijrah ke Madinah[57].
Pendapat yang ketiga ini adalah
pendapat yang populer (masyhŭr) dikalangan mayoritas ulama dibanding
pendapat pertama dan kedua, menurut hemat penulis setidaknya ada dua alasan: a.
Lokasi (tempat) turun al-Qur’an kurang tepat untuk menetukan Makkiyah atau Madaniyah,
karena ditemukan beberapa surah Madaniyah yang turun di Makkah, seperti
surah al-Maidah ayat 3 (tiga), turun di di ‘Arafah (Makkah) pada haji wada’,
dan surah an-Nisa ayat 58, turun di lembah Ka’bah pada penaklukan Makkah (fath
Makkah); b. Kefasihan penduduk Makkah dalam berbicara (ahl
faṣāhah), bukan alasan yang kuat untuk mengklasifikasikan surah Makkiyah,
karena ketika al-Qur’an turun tidak hanya ditujukan untuk penduduk
makkah, tapi juga untuk penduduk Madinah, suku Quraisy, Aus, Khojraj, dan
Tamim. Demikian juga surat Madaniyah tidak hanya ditujukan kepada penduduk Madinah
(anṣȯr), akan tetapi ditujukan juga kepada selain mereka.[58]
Berikut ini
tabel kategoresasi ayat Makkiyah dan Madaniyah terkait Risywah |
|||||
No |
Nama
Surat |
No.
Ayat |
Variasi
Kata |
Kategori
Ayat |
Makna
Ayat |
1 |
QS.
An-Naml |
35 dan
36 |
Hadiah |
Makkiyah |
Implisit |
2 |
QS.
Al-Baqarah |
188 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
Implisit |
3 |
QS.
An-Nisā' |
29 dan
30 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
Implisit |
4 |
QS.
Al-Māidah |
42, 62
dan 63 |
Suht |
Madaniyah |
Implisit |
5 |
QS.
Al-Māidah |
33 |
Fasād
filarḏ |
Madaniyah |
Implisit |
6 |
QS.
At-Taubah |
34 |
al-Māl
al-Bāṭil |
Madaniyah |
Implisit |
Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan
bahwa ayat-ayat yang menjelaskan risywah secara implisit lebih banyak
diturunkan setelah Nabi Muhammad Saw hijrah dibandingkan sebelum hijrah, karena
memang diperiode Makkah yang menjadi fokus dalam prioritas dakwah Nabi Muhammad
Saw adalah penekanan Iman, yang merupakan bagian dari gradualitas syari’ah.
Dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang
secara implisit menjelaskan tentang risywah tidak semuanya memiliki asbab nuzul. Memang ada beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki asbab nuzul tetapi
tidak sedikit pula yang tidak memiliki asbabun nuzul. Diakui bahwa teks al-Qur’an
memiliki kekhasan sendiri sebagai sebuah pesan yang mampu berjalan dinamis
dalam penyampaiannya.[59] Al-Qur’an dalam redaksi uraiannya menggunakan bahasa yang
mampu ‘hidup’ dan menggambarkan realitas konteks yang dihadapinya. Sehingga
untuk membaca realitas konteks yang dihadapi dalam upaya pemahaman dan
penafsiran sebuah ayat, diperlukan data historis teks. Konteks historis teks
inilah yang banyak pakar ulum al-Qur’an disebut sebagai asbabun nuzul.
Para ulama klasik menyimpulkan
bahwa tidak mungkin mengetahui penjelasan (tafsir) sebuah ayat tanpa terlebih
dahulu mengetahui kisah-kisah dan sebab turun ayat-ayat al-Qur’an[60].
Sedang Ibnu Taimiyah, beliau menyatakan bahwa asbabun nuzul akan dapat
membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena dengan mengetahuinya akan dapat
diketahui pula akibat hukumnya. Asbab nuzul ayat-ayat al-Qur’an tentang risywah dan penjelasannya:
Pertama, surah Al-Naml ayat 35 dan 36, Budaya memberi
hadiah (gratifikasi), dan Upeti sudah ada sejak dulu. firman Allah Swt dalam
surah An-Naml (surah Makkiyah) ayat 35 dan 36, tidak memiliki asbab nuzul,
sebagaimana dijelaskan diawal, akan tetapi untuk memahami teks ayat bisa dengan
melihat munasabah ayat karena munasabah antar ayat dan antar
surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan
struktural yang bagian-bagiannya saling terkait sebagai kontruksi yang serasi.
Bila dicermati munasabah ayat yang sebelumnya ternyata sudah menjadi
tren, tradisi dan kebiasaan para raja dengan kekuatan dan kekuasaan yang
dimiliki dijadikan sebagai alat untuk menekan dan menindas yang lemah, maka
raja-raja yang sudah ditaklukkan tidak ada jalan lain kecuali, mereka harus
menyerah dan berdamai dengan konsekwensi harus membayar upeti sebagai bentuk
kesetiaan, ini terlihat pada ayat:
قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ
أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤
Artinya: “Sesungguhnya
raja-raja apabila memasuki suatu negeri,niscaya mereka membinasakannya, dan
menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka
perbuat.”(QS.An-Naml: 34).[61]
Ketika Ratu Balqis menerima surat
dakwah dari Nabi Sulaiman A.S, yang sudah barang tentu sebagai penguasa
dikerajaan Saba’ wajar Ratu Balqis merasakan kekhawatiran seperti fenomena dan
tren yang ada, maka Diapun mengumpulkan para penasehat dan pembesar-pembesar
kerajaan untuk menemukan solusi, kesepakatan, dan tindakan yang tepat sebagai
jawaban dari Nabi Sulaiman A.S , adapun kesepakatan dari musyawarah mereka
adalah memberi hadiah kepada Nabi Sulaiman A.S :
وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ
يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥
Artinya: “Dan
sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah,
dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan
itu."(QS.An-Naml: 35)[62].
Dalam Tafsir Ibnu
Katsir menyatakan, dua alasan Ratu Balqis memberi hadiah
kepada Nabi Sulaiman A.S : pertama, hadiah sebagai bentuk kesetiaan kepada kerajaan yang kuat dan
supaya terhindar dari gempuran mereka; kedua; hadiah, untuk menguji
kepribadian Nabi Sulaiman A.S apakah beliau seorang Nabi atau seperti raja-raja
lain yang suka hadiah (upeti).[63]
Adapun pendapat lain mengatakan
bahwa alasan Ratu Balqis memberikan hadiah yang terbaik dan termahal kepada Nabi
Sulaiman A.S adalah untuk menguji kepribadian beliau, jika dia raja duniawi
pasti suka dengan kemewahan dunia, dan jika seorang Nabi pasti tidak suka
dangan harta dan gemerlapnya dunia, (kalau demikian) maka tidak ada alasan bagi
siapapun untuk tidak beriman dengannya (meyakini ajarannya), dan mengikuti
agamanya. Dan begitu sampai para utusan Ratu Balqis kekerajaan Nabi Sulaiman A.S dengan membawa
hadiah yang terbaik dan termahal, maka beliaupun menolaknya dengan mengatakan,
sebagaimana pada ayat 36:[64]
فَلَمَّا جَآءَ سُلَيۡمَٰنَ قَالَ
أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٖ فَمَآ ءَاتَىٰنِۦَ ٱللَّهُ خَيۡرٞ مِّمَّآ ءَاتَىٰكُمۚ
بَلۡ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمۡ تَفۡرَحُونَ ٣٦
Artinya: “Sulaiman
berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang
diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;
tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.”(QS.An-Naml:36).[65]
Maka bila dicermati dan dipahami
akan penjelasan/penafsiran dari ayat diatas ternyata cara-cara kotor untuk membungkam
dakwah atau menghalangi kebenaran seperti sogok, suap, dan hadiah ternyata
sudah ada sejak dulu.
Kedua, Larangan memakan harta orang lain dengan batil.
firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah (surah Madaniyah) ayat
188
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم
بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ
أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui”
Munasabah ayat dengan yang sebelumnya (Q.S Al-Baqarah: 187)
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ
هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ
كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ
بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ
مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا
تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ
فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari
bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa”.[66]
Ayat ini menjelaskan ketika
Allah Swt melarang
orang yang berpuasa melakukan yang mubah seperti makan, minum, dan mubāsyarah
sebagai ta’abbud kepada Allah, maka lebih patut dan lebih pantas untuk
tidak memakan harta orang lain dengan cara batil. Juga ketika Allah menyuruh
orang yang berpuasa untuk menahan makan dan minum pada siang hari sebagai
bentuk ta’bbudiyah, maka lebih pantas lagi untuk tidak makan dan minum
kecuali yang jelas-jelas halal agar hati menjadi terang dan menambah semangat
ibadah.
Terkait dengan asbab nuzul ayat
di atas Q.S Al-Baqarah; 187 banyak riwayat ditemukan dalam kitab tafsir dan Ulum
Al-Qur’an (asbab nuzul), bahwa Al-Suyuthi menyebutkan, Ibn Abi
Hatim meriwayatkan dari Sa'id ibn Zubair, dia berkata, "Umru'ul Qais ibn
‘Ȧbis dan ‘Abdan ibn Asywa' al-Haḏrami memperebutkan sebidang tanah. Lalu Umru ul Qais ingin bersumpah, maka padanya turun firman Allah, "Dan janganlah kamu
memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil"."[67].
Sedangkan Ibn Hajar al-‘Asqolani dalam
karyanya, Al-‘Ijab fi Bayan al-Asbab,
menyatakan seperti yang tersebut dalam buku Asbab Nuzul Al-Qur’an
karya al-Wahidi, tapi dipenghujung kalimat dijelaskan bahwa si “Aidan tidak
memiliki bukti kepemilikan (baiyinah), ketika Umru'ul Qais ingin bersumpah maka Nabi Muhammad Saw membaca ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah Swt dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…”. Umru ul Qais pun tidak jadi bersumpah dan tidak membantah keputusan Nabi Muhammad Saw.[68]
Jika diperhatikan sebab
turun ayat di atas, maka akan ditemukan bahwa ayat ini terkait dengan klaim seseorang terhadap harta yang
bukan miliknya. Orang yang memakan harta orang lain dengan cara yang batil sama
saja dengan memakan hartanya sendiri dengan batil. Oleh sebab itu Allah Swt
menegaskan dengan redaksi وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ (janganlah kalian memakan harta kalian), padahal yang
dimaksud adalah harta orang lain. Redaksi seperti ini banyak ditemukan di dalam al-Qur’an ketika Allah Swt menjelaskan hubungan orang beriman dengan orang
mukmin yang lain, seperti ayat وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُم (janganlah kalian mengolok-olok diri kalian), padahal yang dimaksud
adalah larangan mengolok-olok orang lain. Begitu pula potongan ayat وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ (dan janganlah kalian membunuh diri kalian), yang dimaksud
di sini adalah membunuh orang lain. Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan hikmah
dari metode seperti ini, ia berkata, "karena Allah Swt menjadikan mukmin
yang satu dengan mukmin yang lainnya bersaudara (ikhwah), maka yang
membunuh saudaranya seperti membunuh dirinya sendiri, begitu pula yang
mengolok-olok saudaranya, sama dengan mengolok-olok dirinya sendiri.[69]
Salah satu gambaran yang populer dari praktek
memakan harta yang batil ini adalah dengan memperlakukan risywah (suap/sogokan).
Said Hawa mengatakan ketika mengomentari potongan ayat وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ Potongan ayat ini memiliki dua penafsiran. Pertama, janganlah kalian membawa-bawa
urusan itu dan memperkarakannya kepada hakim, sementara kalian mengetahui diri
kalian dalam kebatilan, memakan harta dengan jalan dosa (kezaliman). Kedua, kalian membawa perkara itu
kepada hakim dengan menyodorkan risywah (suap/sogokan)." Menurut al-Thabrusi, ayat ini
memiliki tiga tafsiran. Pertama, tentang titipan yang tidak disertai adanya bukti (penitipan). Kedua,harta anak yatim di tangan
pengelolanya, yang mana mereka datang kepada hakim dengan menyodorkan risywah untuk mendapatkan sebagian dari
harta itu. Ketiga, sesuatu (harta) yang dimenangkan dengan kesaksian palsu. Bertolak dari beberapa tafsiran di atas, dapat disimpulkan,
pertama di larang (haram) memakan harta yang diperoleh dengan cara batil (tidak
sesuai hukum syara’), kedua, keputusan hakim tidak bisa merubah yang haram
menjadi halal, ketiga, para hakim, (pejabat dan penguasa) sangat rentan
terinveksi penyakit risywah.[70]
Ketiga, Surat An-Nisa (surah Madaniyah)
ayat 29-30, munasabah ayat menurut al-Maragi adalah ketika Allah Swt
mengingatkan pada ayat yang sebelumnya (Q.S An-Nisa: 28) terkait dengan
bagaimana caranya ber-mu’amalah yang baik dengan ayat yatim, dan
memberikan hartanya ketika dewasa, tidak menyerahkan harta kepada sufaha’,
wajib membayar mahar kepada wanita, dan tidak boleh mengambilnya (tanpa
izinnya) dengan alasan apapun. Kemudian pada ayat ini disebutkan kaidah umum bagaimana semua harta didapat
(dikumpulkan) bisa membuat hati dan jiwa tenang.[71]
Ayat di atas lebih spesifik
menerangkan tentang ketidak halalan
memakan harta orang lain dengan jalan transaksi yang batil (haram) yakni yang
tidak halal dalam aspek hukum syara’. Pertama, memakan harta dengan praktek riba, judi, najas dan
kezaliman. Kedua, seseorang yang membeli
barang, kemudian menjualnya lagi dengan memberikan tambahan uang. Praktek jual
beli ini yang diistilahkan di dalam konsep ekonomi Islam sebagai jual beli ‘inah. Ketiga, ada yang
berpendapat bahwa ayat ini turun terkait dengan larangan memakan harta orang
lain kecuali dengan cara membeli.
Ayat ini menegaskan satu aspek
terpenting di dalam transaksi jual beli ataupun transaksi muamalah lainnya, yaitu sikap saling
ridha (tarāḏi) antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
Al-Sya'rawi di dalam tafsirnya mengatakan, "kata عن تراض di dalam ayat ini menunjukkan
bahwa keridhaan hati manusai dalam bertransaksi merupakan syarat (ukuran)
kehalalan transaksi tersebut." Meskipun demikian, Wahbah Zuhaili menambahkan, bahwa tidak setiap kerelaan
dibenarkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya keridhaan itu didasari atas
nilai islam. Riba yang menyertai pinjaman modal atau menfaat yang dihasilkan
dari suatu pinjaman hukumnya haram, sekalipun diberikan dengan suka hati.
Begitu pula harta yang dihasilkan dari keuntungan judi, tetap dalam status
haram kendatipun yang kalah mengaku rela terhadap hartanya.[72] Kemudian pada Q.S An-Nisa’ ayat yang ke 30 Allah Swt, mengancam, barangsiapa yang memakan harta
saudaranya dengan cara lalim yakni tidak ada saling ridho maka akan dicampakkan
kedalam neraka. Dari penafsiran para mufassirin diatas dapat disimpulkan
diantaranya: pertama, saling ridho adalah syarat pokok dalam bermu’āmalah
(bertransaksi), kedua, muamalah tanpa saling ridho jelas bertentangan
dengan hukum syara, ketiga, risywah (suap) termasuk dalam transaksi yang
bertentangan dengan hukum syara’, keempat, siapa yang bertransaksi tidak sasuai
dengan hukum syara’ akan diancam Allah Swt dengan nerakaNya.[73]
Keempat: Surat Al-Ma'idah (surah Madaniyah)
ayat 42, asbab nuzul ayat ini
diturunkan para hakim orang Yahudi seperti Ka’ab bin al-Asyraf, Lubābah bin
Sa’fah, sa’id bin ‘Amr, dan para pemuka/pemimpinnya, mereka suka menerima suap
dan mereka akan memutuskan (memenangkan) orang yang menyuap mereka.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarịr dari Ibn ‘Abbās pada firman Allah Swt:
سمعون للكذب أكلون للسحت diturunkan
kepada orang Yahudi karena mereka suka menerima/mengambil risywah dalam
peradilan, dan mereka selalu memutuskan keputusan palsu.[74]
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hātim
dari Ibn Abbas, bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda:
رشوة الحكام حرام ، وهي السحت الذي ذكر الله في كتابه
Artinya:“Merisywah (menyuap) para hakim (penguasa) haram,
karena termasuk suht yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an.[75]”
السحت adalah semua harta yang diperoleh
dari risywah, hasil melacur, hasil jual khamar dan semua bentuk yang
diperoleh dari cara-cara yang haram. Kata suht berasal dari kata isti’shol
(mencabut sampai akarnya) karena (suap) mencabut agama orang yang disuap, dan
menghilangkan keberkahan.
Berdasarkan penafsiran dan
keterangan para mufassirin terkait ayat diatas dapat dipahami: 1) السحت termasuk diantaranya suap menyuap,
merupakan karakter busuk orang Yahudi; 2) prilaku suht akan membuat
rusaknnya agama secara pribadi, dan hilangnya keberkahan dalam kehidupan.
Kelima: Surat al-Taubah (surah Madaniyah) ayat 34, para mufassirin berbeda
tentang asbabun nuzul, diantaranya: a) diturunkan kepada
pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani karena benar-benar memakan harta orang
lain dengan batil; b) diturunkan kepada pembesar-pembesar Yahudi dan
nasrani karena mereka melakukan transaksi suap dengan rakyat jelata (dengan
alasan) memberi keringan dalamm syari’at dan toleransi dalam hukum; c)
diturunkan kepada pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani karena mereka menulis
dan merubah kitab (taurat dan injil) dengan tangan mereka sendiri khususnya
yang terkait dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw, kemudian mereka mengatakan
bahwa itu dari Allah Swt, juga dijadikan mereka sebagai sumber mata
pencaharian; d) kitab taurat banyak menjelaskan tentang sifat Nabi Muhammad
Saw., kemudian para pembesar-pembesar Yahudi dan nasrani mentakwilkan
sifat-sifat (ciri-ciri) tersebut dengan takwilan yang salah, dengan alasan
mencari kedudukan, sumber rezeqi, dan mencegah orang untuk beriman seperti
firman Allah Swt ويصدون عن سبيل الله
(dan mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah Swt).[76]
Adapun bentuk-bentuk memakan harta dengan batil:
a.
Melakukan praktek risywah dalam perkara hukum, atau membantu menolak
kebenaran dan mewujudkan yang batil, (biasa) pelakunya orang yang memiliki
otoritas keagamaan dan sipil, baik formal maupun non formal;
b.
Melakukan praktek riba merupakan cita-cita orang-orang Yahudi dan
pembesarnya, bahkan mereka mengeluarkan fatwa boleh bertransaksi riba dan
memakannya dengan selain orang Yahudi, bepedoman dengan taurat palsu yang
membolehkan riba;
c.
Membangun dan memasang tirai kuburan para nabi, orang-orang soleh, dan
tempat-tempat ibadah dengan nama mereka, sebagai hadiah dan nazar;
d.
Meyakinkan orang bahwa mereka memiliki kelebihan, dan telah diberikan
mandat oleh Allah Swt untuk bisa memenuhi kebutuhan dan menolak bahaya, sehingga
harus dijadikan sebagai perantara dalam setiap urusan manusia dengan Allah Swt;
e.
Menerapkan upah dalam pengampunan dosa, maka setiap orang bisa menjumpai
para pendeta menceritakan semua kesalahannya, mereka meyakini kalau para
pendeta sudah memaafkan dan mengampuni semua kesalahan mereka pasti Allah Swt
juga akan mengampuninya;
f.
Mereka meminta bayaran untuk semua fatwa yang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal, untuk memenuhi keinginan para penguasa dan orang-orang
kaya, atau sebagai balas dendam terhadap musuh-musuhnya;
g.
Mereka membolehkan mengambil, dan mencuri harta orang yang berbeda agama
dan bangsa.[77]
Berdasarkan penjelasan para mufassir
diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Allah Swt ingin mengingatkan Nabi
Muhammad Saw, dam umat Islam akan karakter busuk yang dimiliki oleh orang-orang
Yahudi, nasrani, dan para pembesar-pembesarnya yang biasa memakan harta orang
lain dengan cara batil, termasuk diantaranya melakukan praktek risywah
(suap).
Keenam, Surat Al-Maidah (surah Madaniyah) ayat 33, adapun munasabah
ayat (إنما جزاؤا الذين يحاربون
الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا ) dengan ayat yang sebelumnya (Q.S
Al-Ma’idah: 32), ketika Allah Swt., menyebutkan perbuatan kriminal (pembunuhan)
pertama sekali yang dilakukan oleh Qobil terhadap saudaranya sendiri (Habil),
kemudian Allah Swt menjelaskan kedurhakaan Bani Israil yang suka membunuh
orang-orang yang tidak bersalah, dan di ayat ini Allah Swt menjelaskan sanksi
dan hukuman para pembuat kerusakan (al-mufsidịn) termasuk diantara para
perompok (quṭȯ’ al-ṭorịq)[78]. Munasabah dari ayat yang sebelumnya,
kesamaan dalam memerangi Allah Swt (ḥaribullah) dan kesamaan sebagai
sumber kejahatan dan kerusakan di bumi. Dan menurut al-Marāgi, ketika Allah Swt
menjelaskan bahaya membunuh, seperti membunuh semua manusia, kemudian
berikutnya Allah Swt menjelaskan sanksi orang yang membuat kerusakan dibumi
agar mereka jera.[79]
Asbab nuzul ayat ini bahwa Diriwayatkan oleh Ali dari Ibn Abbas, bahwa kaum dari Ahlu Kitab telah
melakukan kesepakatan/perjanjian (piagam Madinah), tapi kemudian mereka
melanggar perjanjian, dan membuat kerusakan dibumi, maka Allah Swt memberi opsi
kepada Nabi Muhammad Saw apakah mereka dibunuh atau memotong tangan dan kaki
mereka menyilang. Diriwayatkan oleh Juwaibir dari Al-Ḍohhāk, beberapa kaum telah
melakukan kesepakatan dengan Nabi Muhammad Saw, namun mereka melanggarnya,
(bahkan) mereka merampok, dan membuat kekacauan dan kerusakan dibumi, maka Allah
Swt memberi opsi kepada Nabi Muhammad Saw tentang mereka, apakah dibunuh, atau
disalib, dan atau di poton tangan dan kakinya menyilang.[80]
Dapat disimpulkan dari penjelasan
diatas bahwa setiap pelaku mafsdah (kerusakan) termasuk diantaranya suap
(menyuap, disuap, dan perantara suap), cepat atau lambat pasti akan mendapat
sanksi (hukuman) dari Allah Swt. Orang bisa lepas dari sanksi dunia, tapi tidak
akan bisa lepas dari sanksi Allah Swt diakhirat.
Kesimpulan
Makna suap dalam al-Qur’an yaitu memberikan sesuatu
dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan dan kelancaran urusan dengan melanggar
aturan yang ada. Kemudian perilaku suap akan memberikan dampak buruk pada
individu, ekonomi dan masyarakat. Dampak negatif suap sangat luas
dan kompleks, tidak hanya merusak mental dan kredibilitas pejabat dan aparat sebagai
penegak hukum dan penyelenggara kepentingan publik, namun juga menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Abd. Muhsin. Suap dalam Pandangan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2001
Abdurrahman
bin Muhammad ibn Idris al-Rāzi ibn Abi Hātim, Tafsir al-Qurān al-‘Aẓim
musnadan “an Rasulillah SAW Wa al-ṣohābah wa al-tābi’in, cet. 1, ed. As’ad
Muhammad al-Ṭoib, (Maktabah Naār Muṣṭafa al-Bāz: 1997), jilid III, hlm,
1135 dalam Tulisan Sarto Abu Jiyad, Ayat-ayat
da n Hadits tentang Risywah (Suap)
Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat
Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsuddin
al-Qurtuby, Tafsir Al- Qurthuby 6/183, Syamsuddin Muhammad bin Abil
Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj
8/243,Ibnu Hazm, Al-Muhalla 8/118, dalam bab-bab yang membahas
tentang suap dan memakan harta haram.
Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabary, (Jakarta: Pustaka
Azam 2009), Jilid 08
Ahmad S, Abu Abdul Halim., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan
Syar’i & Sosial, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Ahmad Muṣṭofa
al-Maragi, Tafsir al-Marāgi, cet.1, (Kairo, Maktabah wa Maṭba’ah Musṭofa
al-Bābi al-Halabi: 1946), Jilid V
Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata, Bandung, Pondok Yatim Al-Hilal, 2010.
Al-Fayruz
al-Abadi, al-Qamus al-Muhith, III/487; Ibn Sayidih, al-Mukhashish,
III/67; Murtadha az-Zabidi, Taj al-‘Urus min Jawahir al-Qamus, 1/8663;
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, XIII
Al-Qamus al-Fiqhi, 1/367, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta ,
Intermasa, 1996
Depag
RI, Himpunan Fatwa MUI, Proyek Sarana dan
Prasarana Produk Halal (Jakarta, 2003), hlm, 274 dalam Jurnal Wawan Trans
Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum
Islam, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015
Hamdani,
Fikri Konsep Hadiah dalam Surat An-Naml
Ayat 35-36: Suatu Kajian Tahlili, (Makasar: UIN Alaudin, 2013)
Haryono,
Risywah (Suap Menyuap) dan Perbedaanya
dengan Hadiah dalam Pandangan Hukum Islam: Kajian Tematik Ayat dan Hadits
tentang Risywah, STAI Al-Hidayah, Bogor, 2015
Hasa, Alwi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 2012
Hasibuan, Ahmad Supardi Korupsi dan Pencegahannya dalam Perspektif Hukum Islam,
(Riau, Kemenag Riau, 2014)
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/16/suap-perkara-korupsi-terbesar-di-indonesia diakses 17 April 2017 pukul 21.25 Wib.
https://parismanalush.blogspot.com/2014/09/pengertian-suap.html diaksek 25
Agustus 2018 pukul 21.00 Wib
Ibnu
Hajar al-Asqolani, Fathul Bari (Tahqiq Ibnu Baz dan Muhibbudin al-Khotib),dar Al-Fikr, Beirut, Juz 5 hlm, 221 dalam Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum Islam,
dalam Jurnal Adzkiyah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015
Ibnu
katsir. Lubaabul Tafsir Min Ibni Katsir. (Jakarta:Imam
as- Syafi’I, 2007
‘Imad
al-Dịn Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar ibn Kasir al-Damasyqy, Tafsir al-Qurān,
Bairut, Dār al-Kutub al-Imiyah, 1998, Cet Ke-1 jilid VI
Ismawan, Indra
Money Politic Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo, 1999
Jalaluddin
Abi Abdurrahman Al-Suyŭṭị, Asbab an-Nuzul al-MusammA al-NuqUl fi AsbAb
an-NuzUl, cet.1, (Bairut, Muassah Al-Kitub al-Ṡaqȯfah: 2002)
Jiyad,
Saryoto Abu, Ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadits Tentang Risywah diakses 19 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib dalam
http://abijyad.blogspot.com/2014/01/ayat-ayat-alquran-dan-hadis-tentang_24.html
Khoironi,
Anang Perbedaan Antara Hadiah dan Suap
diakses 07 Oktober 2018 Pukul 21.00
Wibhttps://intinebelajar.blogspot.com/2017/04/perbedaan-antara-hadiah-dengan-suap.html
Manalu,
Paris, Referensi Hukum; Berbagi Referensi Hukum, KUHP, KUHAP dan TIPIKOR,
diakses dari https://parismanalush.blogspot.com/2014/09/pengertian-suap.html 07 Oktober
2018 Pukul 21.00 Wib
Misbâhul Munir dinukil
dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait; 1983) Juz 22
Moleong, Lexy J. Metologi
Penelitian Kualitatif. Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2002.
Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, cet. 1, ed. ‘Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin al-Turki, (Bairut,
Muassasah al-Risālah: 2006), jilid XVI
Mu’jam Lughah al-Fukaha’, 1/493, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.
Mujamma’
al-Lugoh al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasịṭ, (Kairo, Maktabah asy-Syurŭq
al-Dauliyah, 2004, Cet Ke-4)
Nashruddin Baidan, Metodologi penafsiran al-Qur’an ,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Nawatmi, Sri, Pengaruh Korupsi Terhadap Perkembangan
Ekonomi Studi Empiris Negara-Negara Asia Pasifik, Universitas STIKUBANK
dalam Jurnal Media Ekonomi dan Manajemen Vol 31 No 1, 2016
Putra, Agustian Adi, Implementasi Undang-Undang No. 20 Tahun
2001, Tentang Tindak Pidana Korupsi di Ditreskrimsus Subdit III Tipikor Polda
Sumatera Selatan, (Palembang: Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa),
2018
Qordowiy, Yusuf Halal Wal
Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh Tatam Wijaya, Tuntas Memahami Halal
dan Haram, Jakarta, Qalam, 2017, Cet Ke-1.
Riyadi, Slamet, Jurnal
tentang Reinterpretasi Tindak Pidana Korupsi Suap oleh Penegak Hukum dalam
Perspektif Hukum Islam, 2015, STIH Muhammadiyah Kota Bumi Lampung.
Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
Saleh, K. Wantjik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983.
Saleh, Qamaruddin (dkk), Asbabun
Nuzul;latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Bandung, CV. Diponegoro, Cet Ke ix, 2007.
Shihab, Muhamad Quraish
, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesandan
Keserasianal-Qur’an,
Jakarta, Lentera Hati, 2012, Cet
Ke-V, Vol I.
Sukmayeti, Evi, Jurnal
tentang Redefinisi Suap Dalam
Birokrasi
Menurut Etika Islam Tentang Risywah,
2010, STIA Mataram.
Surachmin, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta,
Sinar Grafika,
2011)
Suyitno, “Menyingkap Makna Hadis Tentang Risywah: Suatu Kajian Kritik Hadis,” dalam Suyitno (ed.), Korupsi, Hukum, Dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih
Antikorupsi,
Yogyakarta,
Gama Media, 2006.
Tim Revisi, Pedoman Penulisan Skripsi dan Makalah, Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, Palembang, 2015.
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, (Jakarta, Gema Insani
Press,2003)
UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12b Tentang Gratifikasi
Waluyo, Joko, Analisis Hubungan Kausalitas
Antara Korupsi, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan, http://repository.upnyk.ac.id, hlm.162. diakses 05 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib
Yuliadi, Tri, Implementasi Kebijakan Gratifikasi di Ditreskrimsus Subdit III Tipikor
Polda Sumatera Selatan,
(Palembang: Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa)
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta, Handika Agung, 1989
Zaid,
Nasr Hamid Abu, Tektualitas al- Qurān; Kritik Terhadap Ulumul Qurān tej.
Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta, LkiS: 2001), Cet Ke-1
Zen, Hepi Riza, Jurnal tentang Politik Uang dalam
Pandangan Hukum Positif dan Syariah, 2015, IAIN Raden Intang Lampung.
[1] Suyitno, “Menyingkap Makna Hadis Tentang Risywah: Suatu Kajian Kritik Hadis,”
dalam Suyitno (ed.), Korupsi, Hukum, Dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih
Antikorupsi,
Yogyakarta,
Gama Media, 2006, hlm. 87
[2] Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan
Syar’i & Sosial, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 1996, hlm. 93.
[3] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata, Bandung, Pondok Yatim
Al-Hilal, 2010, hlm, 379
[4] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379
[5]Abu Abdul Halim Ahmad S., Suap, Dampak & Bahayanya Bagi Masyarakat,
hlm, 26-29
[6] K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm, 79
[8]Yusuf Qordhowi, Halal Wal Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh
Tatam Wijaya, Tuntas Memahami Halal dan Haram, (Jakarta, Qalam, 2017),
Cet Ke-1, hlm, 495
[9] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…29
[10] Muhamad Quraish
Shihab,
Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati,
2012, Cet Ke-V, Vol I, hlm, 498
[11] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…115
[12] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta:Handika Agung, 1989), hlm, 142
[13] Indra Ismawan, Money Politic
Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Penerbit Media Presindo, 1999), hlm,
4.
[14] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta , Intermasa, 1996),
hlm, 1506
[15] Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah,
(Kuwait; 1983) Juz 22, hlm, 219
[16] Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah…hlm,
219
[17] Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah…hlm,
219
[18] Abdullah bin Abd. Muhsin, Suap dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001),
hlm, 9
[19] Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 2012), hlm, 1234
[20] Yusuf Qordhowi, Halal Wal Haram Fil Islam, diterjemahkan oleh Tatam
Wijaya, Tuntas Memahami Halal dan Haram, Jakarta, Qalam, 2017, Cet Ke-1,
hlm, 495
[21] Mujamma’ al-Lugoh al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam
al-Wasịṭ, (Kairo, Maktabah asy-Syurŭq al-Dauliyah, 2004, Cet Ke-4), hlm, 347.
[22] Saryoto Abu Jiyad, Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Tentang Risywah diakses 19 Oktober
2018 Pukul 21.00 Wib dalam http://abijyad.blogspot.com/2014/01/ayat-ayat-alquran-dan-hadis-tentang_24.html
[23] Yusuf al Qarḍhawị, Halal Haram Dalam Islam…hlm, 320.
[24] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari (Tahqiq Ibnu Baz
dan Muhibbudin al-Khotib),dar Al-Fikr, Beirut, Juz
5 hlm, 221 dalam Pujianto, Risywah dalam
Perspektif Hukum Islam, dalam Jurnal Adzkiyah, STAIN Jurai Siwo Metro, 2015
[25] Haryono, Risywah (Suap Menyuap) dan Perbedaanya dengan Hadiah dalam Pandangan
Hukum Islam: Kajian Tematik Ayat dan Hadits tentang Risywah, STAI
Al-Hidayah, Bogor, 2015
[26] Depag RI, Himpunan Fatwa MUI, Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal
(Jakarta, 2003), hlm, 274 dalam Jurnal Wawan Trans Pujianto, Risywah dalam Perspektif Hukum Islam,
STAIN Jurai Siwo Metro, 2015
[27] Mujamma’ al-Lugoh al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasịṭ… hlm, 526
[28] Abdurrahman bin Muhammad ibn Idris al-Rāzi
ibn Abi Hātim, Tafsir al-Qurān al-‘Aẓim musnadan “an Rasulillah SAW Wa
al-ṣohābah wa al-tābi’in, cet. 1, ed. As’ad Muhammad al-Ṭoib, (Maktabah
Naār Muṣṭafa al-Bāz: 1997), jilid III, hlm, 1135 dalam Tulisan Sarto Abu
Jiyad, Ayat-ayat da n Hadits tentang
Risywah (Suap).
[29] Sahabuddin et al., Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 261.
[30] Fikri Hamdani, Konsep Hadiah dalam Surat An-Naml Ayat 35-36: Suatu Kajian Tahlili,
(Makasar: UIN Alaudin, 2013), hlm, 36
[31] Yusuf al Qarḍhawi, Halal dan
Haram dalam Islam…hlm, 321.
[32] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata… hlm, 380
[33] https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 27 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib
[34] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an, (Jakarta, Lentera Hati,
201), Cet Ke-V, Vol IX, hlm, 440
[35] https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-36#tafsir-jalalaynhttps://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 27 Oktober 2018 Pukul 22.00 Wib
[36] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an…Vol IX, hlm, 4
[37] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 29
[38] K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung, Diponegoro,
2011, Cet Ke-2), hlm, 54
[39] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an…Vol I, hlm, 449
[40] https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-188tafsir-jalalayn
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 28 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib
[41] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 83
[42] https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-29
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 28 Oktober 2018 Pukul 22.00 Wib
[43] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an, (Jakarta, Lentera Hati,
2012), Cet Ke-V, Vol II, hlm, 497
[44] https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-30
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 28 Oktober 2018 Pukul 23.00 Wib
[45] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an…II, hlm, 500
[46] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 115
[47] K.H.Q Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul…hlm, 195
[48] https://tafsirq.com/5-Al-Ma%27idah/ayat-42
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 29 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib
[49] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an…III, hlm, 125
[50] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 192
[51] https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-34
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 29 Oktober 2018 Pukul 22.00 Wib
[53] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 113
[54] https://tafsirq.com/5-Al-Ma%27idah/ayat-33
dalam https://tafsirq.com/27-an-naml/ayat-35#tafsir-jalalayn
diakses 30 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib
[55] Muhamad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesandan Keserasianal-Qur’an… Vol IV, hlm, 103
[56] Jafar Shodiq, Ayat-ayat
Makiyah dan Madaniyah, Diakses 22 Oktober 2018 Pukul 21.00 Wib dari https://www.academia.edu/24329240/Ayat
Makkiyah dan Madaniyah
[57] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis
Fi Ulumul Qur’an, diteremahkan Muzakir, As, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011),
Cet Ke-14, hlm 83
[58] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis
Fi Ulumul Qur’an…hlm 83
[59] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan; Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung, Mizan, 1999),
hlm, 25-30. Baca juga, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan, 2001), hlm,24-26.
[60] Nasr Hamid Abu Zaid, Tektualitas al-
Qurān; Kritik Terhadap Ulumul Qurān tej. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta,
LkiS: 2001), Cet Ke-1 hlm, 31.
[61] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379
[62] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379
[63] ‘Imad al-Dịn Abi al-Fida’
Isma’il bin ‘Umar ibn Kaśir al-Damasyqy, Tafsir al-Qurān, Bairut, Dār
al-Kutub al-Imiyah, 1998, Cet Ke-1 jilid VI, hlm,
171
[64] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurṭubi,
al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, cet. 1, ed. ‘Abdullah bin
‘Abd al-Muhsin al-Turki, (Bairut, Muassasah al-Risālah: 2006), jilid XVI,
hlm,156
[65] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 379
[66] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Perkata…hlm, 29
[67] Jalaluddin Abi Abdurrahman Al-Suyŭṭị, Asbab
an-Nuzul al-MusammA al-NuqUl fi AsbAb an-NuzUl, cet.1, (Bairut, Muassah Al-Kitub
al-Ṡaqȯfah: 2002), hlm, 34.
[68] Ahmad bin ‘Ali bin Ibn Hajar al-‘Asqolāni, al-‘Ijāb fi Bayān
al-Asbāb, hlm, 451.
[69] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Ṭabari.Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wịl Ȧi al-Qurān, cet. 1, ed. Abdullah bin Abdulmuhsin al-Turki, (Kairo, Hajr li
Taba’ah: 2001), hlm, 276.
[70] Abu Muhammad ‘Abdulhaq bin ‘Aṭiyah al-Andalusi, Al-Muharrir
al-Wajiz fi Tafsir al-Kitāb al-‘Aziz, cet. 1, ed. ‘Abdussalam ‘Abdu
al-Syāfi Muhammad, (Bairut, Dār al-Kutub al-Ilmiyah:2001), jilid I, hlm, 260.
[71] Ahmad Muṣṭofa al-Maragi, Tafsir
al-Marāgi, cet.1, (Kairo, Maktabah wa Maṭba’ah Musṭofa al-Bābi al-Halabi:
1946), Jilid V, hlm, 16.
[72] Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus, Dar al-Fikr: 2003), Jilid.III, hlm,33.
[73] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari; Jami' al-Bayan fi ta'wili al-Qur'an, hlm, 639.
[74] Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Ṭabari, Tafsir al-Thabari; Jami' al-Bayan fi ta'wili al-Qur'an, jilid VIII, h. 428.
[75] Abdurrahman bin Muhammad bin Idris al-Rāzi ibn Hātim, Tafsir
al-Qurān al-Aẓịm, cet. 1, ed. As’ad Muhammad Ṭoib, (Riyāḏ, Maktabah Nazār
Muṣṭafa : 1997), Jilid IV, hlm, 1134.
[76] Agus Berkah Hamdani, Asbabun
Nuzul Ayat Diakses 21 Oktober 2018 Pukul 21 Wib dari
http://asbabunnuzulquran.blogspot.com/2014/07/quran-surat-at-taubah-ayat-34penjelasan.html
[77] Muhammad al-Amịn bin Abdullah al-Uramiyyi al-Alawi al-Harari
al-Syāfi’i, Tafsir Hadāiq al-Rauh wa al-Raihān, jilid XI, hlm, 217-218.
[79] Ahmad Muṣṭafa al-Marāgi,, Tafsir al-Marāgi, cet. 1, Mesir, Maktabah Muṣṭafa
al-Bābi: 1946) jilid VI, hlm, 104
[80] M. Quraish Shihab. Tafsir
al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Hlm, 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar