Ebing Karmiza
Pendahuluan
Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan baik dilihat dari segi status sosial maupun perannya
dalam keluarga maupun masyarakat umum sering menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang serius. Seperti pernyataan bahwa laki-laki lebih
kuat daripada perempuan, derajat laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan,
sehingga perempuan harus tunduk pada laki-laki, walaupun tidak semua orang beranggapan
demikian.
Secara umum dinyatakan dalam Q.S Al-Hujurat:
13, bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis
kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya,
mempunyai status sama di mata Allah Swt. Tidak juga perbedaan pada nilai kemanusiaan laki-laki
dan perempuan, kerena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan
(Shihab, 2012: 616). Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah
Swt ditentukan oleh ketakwaan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” ( Q.S Al-Hujurot: 13)
Begitu
pula dalam Q.S. An-Nisa: 1, Allah Swt
menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang
mengembangbiakkan manusia. Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara
perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا
زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا
١
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”
(Q.S An-Nisa: 1)
Namun
demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam
penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang
sering diperdebatkan oleh banyak
kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang
penciptaan perempuan dalam ayat di atas.
Dalam
tafsir Ibnu katsir, dijelaskan bahwa penciptaan Hawa benar-benar dari tulang
rusuk Adam, yang diambil dari tulang rusuk bagian kiri, ketika Adam sedang
tidur, saat Adam bangun dari tidurnya Adam melihat Hawa dengan takjub, hingga
muncul rasa cinta dan kasih sayang diantara keduanya. Dan sesungguhnya wanita
diciptakan dari tulang rusuk bagian atas yang paling bengkok (Katsir, 2003:
227)
Muhammad
‘Abduh dan Rasyid Ridha, dalam Tafsir al-Manar, menolak penafsiran tersebut di
atas. Karena menurut mereka, surat An-Nisa ayat 1 secara lahir tidak menyatakan
bahwa kata nafs wahidah adalah Adam,
dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut.
Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs
wahidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya
(Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan
(Rashid Ridho: 323).
Menurut
Aminah Wadud, kata nafs dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa seluruh umat
manusia berasal dari asal usul yang sama. Kerena al-Qur’an tidak menunjukkan
penciptaan kata nafs merujuk pada kata adam. Begitu juga kata azwaj bersifat
netral kerena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk mu’annas
atau muzakkar (Yusron, 2006: 91)
Terlihat
jelas perbedaan penafsiran antara tafsir ibnu katsir dengan pendapat Muhammad
Abduh dan Aminah Wadud , dari segi penciptaan jelas menurut Ibnu Katsir Hawa
dari tulang rusuk Adam, sedangkan menurut Muhammad Abduh dan Aminah Wadud,
bahwa Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan mereka berdua
diciptakan dari materi yang sama. Secara tidak langsung baik Muhammad Abduh
maupun Aminah Wadud memiliki semangat memperjuangkan hak-hak perempuan, dan
menolak diskriminasi terhadap hak-hak perempuan, untuk Ibnu katsir sendiri
belum begitu jelas dalam memberikan penjelasan tentang perbedaan laki-laki dan
perempuan, hanya menjelaskan dari sudut penciptaannya saja.
Namun
berbeda dengan M. Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Misbah, terkesan
tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di
dalam tafsirnya, M. Quraish Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak
tentang frase min nafs wahidah wa khalaqa
minha, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha
mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian
al-Qur’an (munasabah). Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya
mengatakan:
“Perlu
dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam,
maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga,
atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita
anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi
surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu
dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imran:195. Lelaki lahir dari pasangan
pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi
kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah
lembutan wanita didambakan oleh pria” (Shihab, 2012: 400).
Tulisan di atas menunjukkan bahwa
meskipun M. Qurais Shihab sependapat dengan Ibnu Katsir bahwa Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam, namun itu tidak menunjukkan bawa wanita mempunyai
kedudukan berada dibawah laki-laki. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa
hubungan laki-laki dan perempuan terletak pada asas saling ketergantungan atau
saling membutuhkan. Dari proses penciptaannya saja kesetaraan laki-laki dan
perempuan sudah jadi perdebatan. Namun, dari serangkaian perdebatan mengenai
keadilan laki-laki dan perempuan, bukan lagi
sebatas proses penciptaan, kepemimpinan dalam agama dan rumah tangga, melainkan
sudah berkembang di ranah publik termasuk di dalamnya masalah politik, yang
terus diperdebatkan. Banyak tuduhan yang dialamatkan kepada
agama Islam yang dianggap tidak peka Gender.
Contoh
yang paling nyata adalah di Indonesia, di mana perempuan bisa jadi pemimpin
partai, anggota dewan, menteri dan bahkan pemimpin Negara sebagaimana Presiden
RI ke-5 yakni Ibu Megawati Sukarno Putri naik tahta menggantikan K.H Abdur
Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gusdur. Meskipun banyak ditentang
oleh sebagian masyarakat dan ormas-ormas Islam, namun semua itu sah secara
politik dan sesuai dengan sistem demokrasi yang dipakai di Indonesia, kemudia
putri dari Presiden ke-4, yakni Ibu Yeni Wahid merupakan politikus dari partai
PKB, dan para menteri perempuan, mulai dari Ibu Susi Puji Astuti Menteri
Kelautan hingga Ibu Khofifah Indar Para Wangsa yang merupakan Menteri Sosial. Bahkan kesempatan ini terus
diberikan, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU RI No. 8, 2012).
Dari perspektif historis, nampak
bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul
silih-berganti terlepas dari perbedaan boleh tidaknya perempuan ikut dalam
politik dalam ranah ilmu fiqih. Dibawah ini terdapat ayat khusus yang berkenaan
dengan hak politik. Q.S At-Thaubah: 71
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ
وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ
وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ
ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S At-Taubah; 71)
Ayat ini lebih mempertegas
lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk berpolitik. Perintah untuk mencegah yang
mungkar dan menyuruh kepada yang ma’ruf bisa dilakukan dengan ikut dalam
berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh
seluruh kaum Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya
memiliki tanggungjawab yang sama untuk ikut
menentukan arah,warna, dan pola generasi kini
dan masa depan (Qardhawi, 2008: 221).
Dari
pemaparan di atas tergambar jelas, sekalipun banyak perdebatan terhadap
keikutsertaan perempuan dalam dunia politik, baik yang membolehkan ataupun
melarang, namun pada faktanya dari masa ke masa semakin banyak perempuan yang
ikut terjun ke dunia politik, dan harus di akui kontribusinya. Oleh kerena itu
dibutuhkan suatu kejelasan mengenai posisi perempuan dalam politik. Selain
boleh tidaknya perempuan ikut politik, yang lebih penting bagaimana sebenarnya
al-Qur’an menggambarkan posisi perempuan dalam perpolitikan, bagaimana porsi
dan kontribusinya.
Berangkat dari permasalahan
keadilan gender khususnya pada hak berpolitik perempuan yang sedang menjadi
topik dalam kajian Islam dan menjadi isu hangat ditengah-tengah umat Islam.
Kemudian dengan memahami pemikiran M. Quraish Shihab yang bisa menjadi penengah
antara mufassir klasik dan kontemporer, diharapkan bisa memberikan penjelasan
dan solusi kedepannya mengenai kontribusi perempuan dalam dunia politik, maka
dari itu penulis tertarik untuk memahami lebih jauh mengenai “ Kajian Gender:
Perempuan dan Politik dalam Tafsir Al-Misbah”
Pemikiran
M.Quraish Shihab Dalam Konteks Perempuan Dan Politik
Pada bagian sub bab ini kosentrasinya adalah politik
untuk perempuan, pertama yang akan dibahas adalah dalam hal politik untuk
perempuan dalam Islam dan terkhusus pandangan dari M. Quraish Shihab dalam
tafsir al-Misbah. Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah,
mengabdi kepada suami dan
tidak boleh berpolitik. Dalam hal ini Wahbah Zuhaili mengatakan
syarat kepala negara
adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A‟la al-Maududi mengharamkan
perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan
kepala negara.[1]
Pemikiran lain menyatakan
perempuan mempunyai kemerdekaan untuk berperan, baik di dalam maupun di luar
rumah demikian juga dalam bidang politik. Hal tersebut terjadi karena belum dipahaminya
konsep tentang hak politik perempuan secara murni, dan juga karena dalam
memahami teks ayat al-Qur`an masih bias gender. Perbedaan pandangan
tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam terutama ayat al-Qur`an yang
berbicara tentang politik.
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi
kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan dalam Islam. Berikut ini
akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai hak politik perempuan dari dua sisi,
baik yang melarang maupun yang membolehkan.
1.
Perempuan Dilarang Berpolitik.
Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan
argumentasi sebagai berikut. Pendapat konservatif
ini mengemukakan
argumentasi bahwa dalam praktik politik, Islam tidak mengakui persamaan politik antara laki-laki dan perempuan.
Ulama-ulama yang mendukung pendapat seperti ini, misalnya,
Imam al-Ghozali yang menyatakan bahwa
seorang perempuan tidak bisa didudukan sebagai imam (kepala negara). Menurutnya bagaimana bisa seorang
perempuan melaksanakan
pemerintahan sedangkan dia
sendiri tidak memiliki hak untuk memutuskan perkara besar dan tidak mampu
memberi kesaksian dalam berbagai persoalan
hukum[2].
Kemudian juga di dukug oleh hadits yang berbunyi:
Artinya: “tidak akan berjaya suatu kaum
yang
mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin
mereka”(H.R. Bukhari)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar Hadits yang mempersoalkan
kesahihannya.
Sedangkan
dari segi diroyah; dalalah hadits ini menunjukkan
dengan
pasti haramnya
wanita memegang tampuk
kekuasaan negara. Menurut faham konservatif ini, Islam telah menentukan peran perempuan dalawilayah
khusus (domestic role). Menurut
mereka,
Islam tidak pernah menyandarkan urusan publik kepada perempuan, bahkan sejak masa kenabian tak satupun perempuan yang terlibat
secara langsung dalam
kegiatan politik.
Kemudian pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi
pemimpin atas perempuan, karena Allah Swt
telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS.. AN-Nisa:34)
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ
عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ
أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ
لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا
كَبِيرٗا ٣٤
Artinya: ”Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”[3]
Sekalipun ayat ini dijadikan argumen untuk melarang
perempuan dalam politik namun M. Quraish Shihab mempunyai pandangan yang
berebeda, beliau berpendapat bahwa kata pemimpin dalam ayat tersebut tidak
sepenuhnya merujuk pada pemimpin akan tetapi dalam hal mendirikan sholat[4].
Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan
(Q.S. Al-Baqarah:228). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti
satu orang laki-laki (Q.S. Al-Baqarah:282).
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ
أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[5]
Dalam
ayat ini juga M. Quraish Shihab mempunyai pemikiran yang berbeda dari
kebanyakan ulama lainnya,beliau berpendapat bahwa maksud daripada derajat dalam
ayat di atas adalah derajat kepemimpinan yang berlandasakan kelapangan dada
suami untuk meringankan sebagian kewajiban istri[6].
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ
وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ
وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي
عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ
فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن
رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن
تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا
تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ
ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا
تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ
فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا
تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ
فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ
بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”[7]
Sama halnya dengan dua penafsiran
ayat di atas M. Quraish Shihab tidak membenarkan bahwa ayat yang membandingkan
persaksian antara satu laki-laki dan dua perempuan,menunjukkan bahwa laki-laki
lebih tinggi intelektualnya dan derajatnya dibandingkan perempuan, beliau
beralasan bahwa di saat ayat ini turun wanita memang tidak pernah dilibatkan
dalam hal utang piutang apalagi bekerja di luar rumah jadi secara pengetahuan
pada masa itu memang perempuan terbatas, jika disbanding dengan zaman sekarang
perempuan sudah banyak yang ahli di bidang tertentu dan bisa jadi saksi ahli[8].
Namun
sebagi perbandingan sebagian kitab tafsir
telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya,
pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki
lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan, sebagaimana
yang diutarakan dalam kitab tafsir ibnu Katsir dalam menafsirkan Q.S An-Nisa:
34[9]. Hadis
Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan
kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan
kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim), kedua hadits tersebut dijelaskan
dalam tafsir ibnu katsir untuk memperkuat Q.S Al-Baqarah: 34[10], hal
tersebut menegaskan bahwa bagaimanapun juga perempuan tidak bisa terjun ke
dunia politik yang tentunya nanti punya peluang untuk jadi seorang pemimpin.
Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah
(asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal)
laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql),
kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah
al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh
karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah),
persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki (Sofwatul Tafâsîr[11]
Jadi dari pemaparan di atas bahwa dilarangnya perempuan
berpolitik dan bahkan jadi seorang pemimpin, selain dari beberapa ayat di atas
yang memperkuat posisi laki-laki berada satu level diatas perempuan, kerena
laki-laki memiliki kecerdasan akal dan logika yang kuat, keberanian dalam
berdialog, dan memiliki kekuatan fisik melebihi perempuan. Namun M. Quraish
Shihab sendiri berpendapat bahwa kelebihan-kelebihan laki-laki atas perempuan
merupakan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh perempuan gunanya untuk
saling membantu dan saling menutupi kekurangan satu sama lain, kerena
sebaliknya banyak kelebihan-kelebihan perempuan yang tidak dimiliki laki-laki.
Jadi penulis berpendapat bahwa alasan perempuan dilarang dalam berpolitik sudah
tidak relevan lagi di zaman sekarang ini dengan alasan bahwa dalam banyak hal
perempuan sudah setara dengan laki-laki, baik dari pendidikan, pergaulan maupun
keahlian dalam bidang tertentu. Saat ini banyak saksi-saksi ahli berasal
dariperempuan, kemudian pimpinan-pimpinan lembaga yang dipimpin oleh perempuan
dan bahkan bisa sukses dalam kepemimpinanna, jadi menurut hemat penulis
larangan perempuan berpolitik sudah tidak relevan lagi, bukan didasarkan pada
jenis kelamin akan tetapi pada kemampuan individu.
2.
Bolehnya Perempuan Berpolitik
Sedangkan pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik,
argumentasinya pernyataan al-Qur’an Q.S. At-Tawbah:71 dan Q.S An-Naml:23).
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ
بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٞ ٧١
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”[12]
Sebagian berpendapat
bahwa perempuan boleh berpolitik dengan alasan ayat di atas tidak membedakan
laki-laki dan perempuan dalam amar ma’ruf nahi munkar, bepolitik merupakan
salah satu jalan untuk melaksanakan hal tersebut, jadi perempuan boleh
berpolitik.
إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ
تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ ٢٣
Artinya: ”Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita
yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar”[13]
Ayat di
atas juga menegaskan bahwa ada seorang wanita yang pernah jadi pemimpian suatu
negara dan itu merupakan anugerah dari Allah Swt. Kerena kedua ayat di ataslah
sebagian menyatakan boleh perempuan ikut dalam politik.
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas,
patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan berpolitik,
sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik
dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti secara
cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah Swt memberikan
keutamaan kepada sebagian mereka. Keutamaan atau tafdil disini yang
dimaksud adalah laki-laki bekerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari
penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di
bawah naungannya[14].
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn
berarti laki-laki sebagai penjaga,
penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang
bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu
tafsir dibuat yang sangat merendahkan
kedudukan kaum perempuan. Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir
kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah yang bertanggung jawab atas perempuan karena
Allah Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena
laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah suatu hal yang mutlak
akan tetapi dilihat dari sisi fungsionalnya, artinya jika seorang istri di
bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan
suaminya akan berkurang[15]
Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan
dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap
laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara
otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara
fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an yaitu
memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua
laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan[16].
Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan
penafsir kontemporer terhadap Q.S An-Nisa: 34. Sehingga kalau dihadapkan dengan
realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang
posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada
kualitas masing-masing individu.
Jika melihat dari fenomena masyarakat saat ini dimana
dominasi perempuan dalam duni kerja lebih banyak,lebih mudah mendapatkan
pekerjaan untuk perempuan daripada laki-laki. Kemudian saat ini bukan lagi hal
yang aneh melihat perempuan melakukan pekerjaan laki-laki, seperti menarik
becak, taksi online bahkan sopir angkot, tukang parkir itu semua pekerjaan yang
keras, secara fisik seharusnya laki-laki yang melakukan pekerjaan tersebut,
namun pada kenyataannya perempuan juga melakukan pekerjaan tersebut.
Dalam
Q.S disebutkan, yaitu Q.S Al-Baqarah:
228 .” ...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari
perempuan (isterinya)…”. Derajat laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah talak, karena laki-laki berhak menentukan
talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah politik dan
kepemimpinan.
Namun Quraish shihab sendiri menerjemahkan ayat di atas
bahwasannya kata derajat itu bukan derajat kepemimpinan akan tetapi
kepemimpinan yang berlandaskan kelapangan dada suami untuk meringankan
kewajiban istri, suami akan memperoleh derajatnya jika memperlakukan istrinya
dengan baik[17]
Disamping itu kata الرجال pada ayat tersebut menurut
Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu,
karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada
perempuan.”[18]
Jadi, ayat
34 dari Q.S An-Nisa bersifat fungsional,
artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafkah
penghidupan, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafkah. Bagaimana halnya
saat ini yang bekerja dan memberi nafkah
adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan
yang ahwalnya menyerupai laki-laki,
yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafkah, berarti perempuan yang
bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun
waktu 30 tahun terakhir, bahkan
menunjukkan fenomena yang sangat
mengejutkan. Berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri
sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah
Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum
perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga[19]
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa jika memahami ayat
terutama dalam Q.S An-Nisa 34 dan Q.S Al-Baqarah: 228, secara teks dan konteks
turunnya ayat maka akan terlihat secara mutlaq apapun kondisinya tetaplah
perempuan di bawah laki-laki dan laki-laki adalah pemipin perempuan dalam
segala hal, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk perempuan untuk ikut
berpartisipasi di dunia politik” perempuan dilarang dalam berpolitik”. Walaupun
Quraish Shihab membantahnya dengan memberikan pendapat bahwa derajat adalah
kelapangan dada suami. Namun sebaliknya jika berladasakan dalam Q.S At-Tawbah:
71 dan Q.S An-Naml: 23, dalam ayat tersebut jelas perempuan bisa jadi seorang
pemimpin bukan hanya sekedar ikut serta dalam pemerintahan akan tetapi jadi
seorang ratu seperti halnya ratu Balqis.
Setelah
mengupas dua pihak yang memiliki perberdaaan
pandangan, penulis melihat fenomena di masyarakat dan berdasarkan pada
kebutuhan zaman sangat jelas sekali mendukung pendapat yang kedua, mau tidak
mau harus diakui bahwa perempuan punya hak untuk ikut berpartisipasi dalam
dunia politik, secara pendidikan sudah tidak ada perbedaan lagi antara
laki-laki dan perempuan, dalam hal kemampuan bisa dilihat di masyarakat dimana
wanita bisa jadi lulusan terbaik dari sebuah universitas mengalahkan banyak
laki-laki, ada yang bisa menjadi tenaga ahli dalam suatu perusahaan, bahkan
yang memimpin partai politik.
Dalam
hal ini M. Quraish Shihab satu pemikiran dengan pendapat yang kedua bahwa
perempuan juga punya hak politik dan boleh ikut politik, perbedaan laki-laki
dan perempuan hanya sebatas fungsional, yakni dalam hal penciptaan misalkan
saja perempuan punya kemampuan untuk melahirkan dan menyusui sedangkan
laki-laki tidak memiliki kelebihan itu, kemudian laki-laki diciptakan dengan
tubuh yang kuat oleh kerena itu laki-laki punya tanggung jawab untuk bekerja
dan melindungi keluarganya. Adapun dalam hal politik tidak ada yang bisa
membatasi keikutsertaan perempuan, asalkan punya kemampuan dan tidak
menelantarkan urusan keluarga, tidak ada larangan bagi perempuan untuk ikut
menyumbangkan pemikirannya melalui jalur politik.[20]
Adapun kriteria kepala negara yang
ideal, di antaranya adalah memiliki pengetahuan yang luas, adil dan objektif,
memiliki kemampuan manajemen pemerintahan, berbadan sehat, berakhlaq
al-karimah, taat dalam beragama, dan berasal dari suku Quraisy[21].
Dalam memaknai syarat
terakhir yang dikemukakannya, bahwa pemimpin
ideal berasal dari suku
Quraisy, nampaknya perlu
dianalisis lebih mendalam. Khaldun sesungguhnya tidak memaknai syarat tersebut
secara etimologis-dogmatis. Ia memaknai syarat tersebut secara majazi-historis;
bahwa di era awal pemerintahan Islam, sosok pemimpin ideal yang memiliki
kesanggupan sebagai pemimpin yang adil, amanah, jujur, intelek, dan bertanggungjawab
merupakan prototipe yang hanya dimiliki suku Quraisy[22].
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila di era ini prototipe suku Quraisy
merupakan sosok ideal seorang pemimpin umat. Namun dengan perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan, persyaratan tersebut tidak bisa dipertahankan. Hanya
saja, nilai esensinya tetap sama dan masih bisa dipergunakan sebagai indiktor
dalam memilih sosok pemimpin ideal. Dalam hal ini, apabila persyaratan
kepribadian tersebut telah dimiliki seseorang di luar suku Quraisy, maka berhak
untuk memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin umat. Bahkan lebih ekstrim, bagi
Khaldun kepala negara tidak mesti seorang muslim. Andaikata mampu memenuhi
kriteria ideal sebagai seorang pemimpin dan selama mampu menciptakan
kebijaksanaan bagi kemashlahatan umat manusia, maka siapapun bisa diangkat
menjadi kepala negara. Namun demikian menurutnya lagi dalam rangka menciptakan
masyarakat madani, maka
secara ideal kepala negara
hendaknya adalah seorang muslim. Hal ini disebabkan, secara normatif,
Islam memiliki konsep
ideal tersebut .
3. Peraturan Yang Menjamin Hak Perempuan
Dalam Politik
Hak-hal politik atau ( political rights)
adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seseorang
anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri
dan memegang jabatan umum dalam Negara[23]. Terlepas
dari perbedaan pendapat dalam argumentasi agama, apapun yang terjadi Indonesia
bukan penganut Negara dengan sistem hukum Islam, jadi hak politik perempuan dijamin
dalam undang-undang “ dibolehkan”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), menyatakan secara tegas bahwa segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ini
berarti bahwa setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan sama-sama
memiliki hak yang setara dalam segala bentuk kehidupan di masyarakat, termasuk
dalam kegiatan politik. Jaminan lain dalam Konstitusi, diantaranya dalam Pasal
28 bahwa ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Selain
dalam UUD 1945, hak-hak warga negara untuk berpartisipasi dalam melaksanakan
demokrasi juga diatur dalam UU Politik, UU Pemilihan Umum, dan Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, UU Pemerintah Daerah dan peraturan-peraturan lainnya telah
dibentuk sejak tahun 1999, namun setiap periode pemilihan umum yang baru selalu
dilakukan penyempurnaan pada setiap peraturan perundang-undangan yang sudah
ada.
Sebelum Pemilihan Umum 2009, pemerintah bersama
DPR kembali melakukan perubahan dan mensahkan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi yaitu: Pertama: UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik sebagai pengganti Undang-undang Nomor 31 tahun 2001
tentang Partai Politik yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan
demokrasi di Indonesia sehingga perlu diperbaharui. Dalam konsideran secara
tegas dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul serta mengeluarkan
pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Partai Politik
merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. UU ini
secara signifikan mendukung keterwakilan perempuan dalam partai politik,
hal itu jelas dinyatakan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa partai politik
didirikan dan dibentuk paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara
Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris[24] dan
pendirian dan pembentukan Partai Politik tersebut menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.[25] Ketentuan
ini merupakan tindakan affirmasi untuk mendorong percepatan partisipasi
perempuan dalam politik di Indonesia. Hal yang sama pernah dinyatakan pada ayat
(1) Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang
menyebutkan bahwa ”setiap partai politik yang berpartisipasi dapat
mengajukan calon untuk DPR, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah
pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Kedua,
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada konsideran UU ini disebutkan bahwa dengan
adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika
masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, perlu diganti. UU ini mendukung terwujudkan kesetaraan gender
sebagaimana tercermin pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa Partai politik
dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (a) berstatus badan
hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; (b) memiliki
kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; (c) memiliki kepengurusan di
2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; (d)
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; (e) memiliki anggota
sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari
jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota.
Ketiga,
UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (a)
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri; (c) tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan
tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya; (d) mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden; (e) bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (f) telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; (g) tidak sedang memiliki
tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi
tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; (h) tidak sedang
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; (i) tidak pernah melakukan
perbuatan tercela; (j) terdaftar sebagai Pemilih; (k) memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama
5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi; (l) belum pernah menjabat sebagai
Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan
yang sama; (m) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945; (n) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (0) berusia
sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun; (p) berpendidikan paling
rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat; (q) bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat
langsung dalam G.30.S/PKI; dan (r) memiliki visi, misi, dan program dalam
melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.[26] Persyaratan ini
memberikan kesempatan dan jaminan yang sama bagi laki-laki dan perempuan maupun
penyandang cacat untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden
meskipun tidak dinyatakan secara spesifik. Konteks Negara hukum termasuk Indonesia
sudah sangat jelas perempuan hak politknya dijamin oleh undang-undang. Bukan
hanya Indonesia yang menjamin hak politik perempuan hampir semua Negara maju di
dunia yang menggunakan sistem demokrasi sudah menjamin hak politik perempuan,
adanya Hak Asasi Manusia ( HAM), emansipasi wanita dan kesetaraan gender yang
mendukung hak-hak politik perempuan.
Konteks
kenegaraan tidak selalu berjalan dengan konteks keagamaan, termasuk dalam agama
Islam, meskipun ulama’ berbeda pendapat mengenai jaminan hak politik perempuan,
namun dalam hal ini Quraish Shihab mengatakan bahwa hak politik perempuan
dijamin dalam al-Qur’an Q.S At-Tawbah: 7
كَيۡفَ يَكُونُ
لِلۡمُشۡرِكِينَ عَهۡدٌ عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ رَسُولِهِۦٓ إِلَّا ٱلَّذِينَ
عَٰهَدتُّمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۖ فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ
لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧[27]
Artinya: “Bagaimana
bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu,
hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa
Secara
umum ayat di atas dipahami sebagai gamabaran tentang kewajiban melakukan
kerjasama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang
dilukiskan dalam kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang
mungkar.
Kata awliya’ dalam ayat di
atas mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan,sedangkan pengertian yang
dikandung oleh menyuruh mengerjakan yang makruf mencakup segala segi kebaikan
atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat ( kritik) kepada penguasa.
Dengan demikian setiap laki-laki maupun perempuan diharapkan mampu mengikuti
perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi
saran ( nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan[28]. Disisi
lain al-Qur’an juga mengajak umatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk bermusyawarah,
melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Berikut firmannya
dalam Q.S 42:38
وَٱلَّذِينَ
ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ
بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨ [29]
Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka”
Ayat di atas dijadikan oleh banyak
ulama’ sebagai dasar atau landasan yang memperkuat hak politik baik bagi
laki-laki maupun perempuan. Musyawarah telah menjadi salah satu prinsip
pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur’an. Termasuk
kehidupan politik dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama
berkelompok untuk senantiasa bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah.[30]
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa
hak politik perempuan sebagai warga Negara dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), menyatakan secara tegas bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan juga didukung
oleh undang-undang lainnya yang sudah dijelaskan di atas, sedangkan dalam
al-Qur’an dijamin dalam Q.S At-Tawbah: 7 dan Q.S Asy-Syuro: 38 bawa baik
laki-laki ataupun perempuan punya kewajiban untuk mengajak kepada yang ma’ruf
dan mencegah yang mungkar, kemudian laki-laki dan perempuan harus senantiasa
bermusyawarah dalam setiap menyelesaikan suatu persoalan kehidupan berkelompok
atau bermasyarakat hal inilah yang menekankan bahwa kedua ayat tersebut
menjamin hak politik perempuan.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa M.
Quraish Shihab satu pemikiran dengan pendapat yang membolehkan perempuan ikut
dalam politik, bahwa perempuan juga mepunyai hak politik dan boleh ikut berpartisipasi
dalam politik, perbedaan laki-laki dan perempuan hanya sebatas fungsional.
Artinya perbedaan kekurangan dan kelebihan pada laki-laki dan perempuan tidak
memperngaruhi hak politik itu hanya sekedar untuk menjalankan tugas masing-masing
dalam kehidupan. Sedangkan dalam politik laki-laki dan peremupuan punya hak
yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin Hanafi, Peran Perempuan Dalam Islam, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh,
2015.
Anton Bekker dan
Ahmad Charis
Zubair,
Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990, Cet ke-1.
Arista Aprilia. Hak-hak Politik
Perempuan dalam Pemikiran Yusuf Qordowiy, Fakultas Syariah, UIN Jakarta 2016.
Budiardjo,
Merian, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia , 1971
Fadlan, Islam, Feminisme dan Konsep
Gender Dalam Al-Qur’an, Pemekasan, STAIN Pemekasan, 2011.
H.B, Widagdo, Managemen
Pemasaran Partai Politik Era Reformasi,
Jakarta, PT. Gramedia, 1999
Hidayatullah, ( 2014).
Implementasi
Sistem Keterwakilan Perempuan
dalam Pemilu: Studi pada
Masyarakat Patrilineal
di Indonesia
Ibnu Katsir, Tafsir Ibu Katsir, Jakarta,
Pustaka Imam Syafi’I, 2003, Cet Ke-2, Jilid 2.
Ja’far, Muhammad
Anis Qasim , Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan
Gender Dalam Islam, Bandung, Zaman
Wacana Mulia, 1988.
Kamus Besar Bahasa Indonesiah, Pengertian Partai, 18 Mei 2018,
http:// kbbi. web.Id/partai, (20:34 WIB)
Koeswara, (2014). Partisipasi Politik
Kader Perempuan Parpol: Studi Tentang Kendala Partisipasi Politik Kader Perempuan Dalam Kegiatan Parpol
Pada Pelaksanaan Pilkada
Di
Provinsi Jambi Tahun 2005, Universitas Andalas
Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya, 1991.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000.
Muhammad Yusuf Pambudi, Perempuan
dan Politik, Studi Tentang Aksibilitas Perempuan Menjadi Anggota Legislatif Di
Kabupaten Sampang, Fisip, Universitas Airlangga, Surabaya, 2012
Muhsin, Aminah Wadud, Quran and Woman, New York, Oxford
University Press, 1999
Noer, Delier, Pemikiran Politik di
Negeri Barat, Jakarta, Rajawali, 1982
Kirk Patrik, Partisipasi
Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, Surabaya, Danur Wijaya
Press, 1994
Ridâ, Muhammad Rashîd. Tafsîr
al-Manâr. Beirut, Dâr al-Ma„rifah li al Tibâ’ah wa al-Nasr, Vol-4.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung, Mizan, 1999
--------, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian
Al-Qur’an, Jakarta, Lentera hati , 2012, Cet Ke-5, Vol-2
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Rajawali Press, 1999
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta,
Ichtiar Baru Van Houve, 1983
Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Undang-undnag Republik Indonesia No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Zuhra,
Fatimah, Konsep Kesetaraan Gender DalamPerspektif Islam.Sumatra Utara, IAIN Sumatra
Utara
[1] Istibsyaroh, Hak-hak Politik Perempuan Kajian Maudhu’I,
UIN Sunan Ampel Surabaya dalam Jurnal Sipakalebbi, Vol 1, No2, 2014, hlm, 237
[2] Syafiq Hasyim Hal-Hal Yang Tak Terpikiurkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam,
(Bandung; Mizan, 20012), hlm, 191
[3] Lihat
Q.S An-Nisa: 34
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera hati ,
2012, Cet Ke-5, Vol-2, hlm, 511
[5] Lihat
Q.S Al-baqarah: 228
[6] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,…………,
Vol-1, hlm, 596
[7] Lihat
Q.S Al-Baqarah: 282
[8] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,…………,
Vol-1, hlm, 736
[9] Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, ditahqiq oleh
Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq
As-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsri, diterjemahkan oleh Muhammad Abdul
Ghoffar, Pustaka Imam Syafii, Kairo, Cet Ke-5, Juz Ke-5, hlm, 297
[10] Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsir,…………….., hlm,
297
[11]http://dinulislami.blogspot.co.id/2013/07/hak-politik-perempuan-perspektif-islam_4.html diakses 22 semptember 2018 Pukul 21 Wib
[12] Lihat
Q.S At-Taubah: 71
[13]Lihat Q.S An-Naml: 23
[14] Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, terj, Syafir-Al-Azhar, Jakarta,
Ikrar Mandiri, Vol-4, hlm, 2202
[15] Fazlur Rahman, Mayor
Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, 1996 hlm, 72.
(http://ebooks.rahnuma.org/religion/Fazlur_Rehman/Fazlur_Rehman-Major-Themes-of-the-Qur-an.pdf)
[16]Aminah Wadud Muhsin, Quran
and Woman, New York, Oxford University Press, 1999 hlm,73.(http://www.weldd.org/sites/default/files/Wadud%20Amina%20Qur%27an%20and%20Women.pdf)
[17] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol-1, hlm, 596
[18] Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1998hlm, 149-150.
[19] Harian Kompas,
Selasa, 4 Juli 2000, hlm, 10, kol.5-9
[20] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan,
1999, hlm, 425
[21] Ibnu
Khaldun, Muqoddimah Ibnu Khaldun,
diterjemahkan Ahmadie Toha, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008) Cet Ke-7, hlm 239
[22] Ibnu
Khaldun, Muqoddimah Ibnu Khaldun…hlm
239
[23]Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak
Politik Minoritas Non Muslim dalam Komunikasi Islam, Angkasa Bandung,
Bandung, 2003, Cet Ke-1, hlm, 49
[24] Ayat (1) Pasal 2 UU No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
[25] Ayat (2) Pasal 2 UU No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
[26] Pasal
5 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[27]Lihat. Q.S At-Tawbah: 7
[28] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,……………hlm, 425
[29] Lihat Q.S Asy-Syuro: 38
[30] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,…………hlm, 426
Tidak ada komentar:
Posting Komentar