Senin, 02 November 2020

SISTEM DEMOKRASI DAN KEIKUTSERTAAN PEREMPUAN DALAM POLITIK (STUDI PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB)


Ebing Karmiza

 

Pendahuluan

 

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik dilihat dari segi status sosial maupun perannya dalam keluarga maupun masyarakat umum sering menimbulkan permasalahan-permasalahan yang serius. Seperti pernyataan bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan, derajat laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, sehingga perempuan harus tunduk pada laki-laki, walaupun tidak semua orang beranggapan demikian.

Secara umum dinyatakan dalam Q.S Al-Hujurat: 13,  bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status sama di mata Allah Swt. Tidak juga perbedaan pada nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan, kerena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan (Shihab, 2012: 616). Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah Swt ditentukan oleh ketakwaan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

 

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” ( Q.S Al-Hujurot: 13)

 

Begitu pula dalam Q.S. An-Nisa: 1,  Allah Swt menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang mengembangbiakkan manusia. Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Q.S An-Nisa: 1)

Namun demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang sering diperdebatkan  oleh banyak kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang penciptaan perempuan dalam ayat di atas.

Dalam tafsir Ibnu katsir, dijelaskan bahwa penciptaan Hawa benar-benar dari tulang rusuk Adam, yang diambil dari tulang rusuk bagian kiri, ketika Adam sedang tidur, saat Adam bangun dari tidurnya Adam melihat Hawa dengan takjub, hingga muncul rasa cinta dan kasih sayang diantara keduanya. Dan sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk bagian atas yang paling bengkok (Katsir, 2003: 227)

Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha, dalam Tafsir al-Manar, menolak penafsiran tersebut di atas. Karena menurut mereka, surat An-Nisa ayat 1 secara lahir tidak menyatakan bahwa kata nafs wahidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wahidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya (Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan (Rashid Ridho: 323).

Menurut Aminah Wadud, kata nafs dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari asal usul yang sama. Kerena al-Qur’an tidak menunjukkan penciptaan kata nafs merujuk pada kata adam. Begitu juga kata azwaj bersifat netral kerena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk mu’annas atau muzakkar (Yusron, 2006: 91)

Terlihat jelas perbedaan penafsiran antara tafsir ibnu katsir dengan pendapat Muhammad Abduh dan Aminah Wadud , dari segi penciptaan jelas menurut Ibnu Katsir Hawa dari tulang rusuk Adam, sedangkan menurut Muhammad Abduh dan Aminah Wadud, bahwa Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan mereka berdua diciptakan dari materi yang sama. Secara tidak langsung baik Muhammad Abduh maupun Aminah Wadud memiliki semangat memperjuangkan hak-hak perempuan, dan menolak diskriminasi terhadap hak-hak perempuan, untuk Ibnu katsir sendiri belum begitu jelas dalam memberikan penjelasan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, hanya menjelaskan dari sudut penciptaannya saja.

Namun berbeda dengan M. Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Misbah, terkesan tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di dalam tafsirnya, M. Quraish Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wahidah wa khalaqa minha, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur’an (munasabah). Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan:

“Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imran:195. Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah lembutan wanita didambakan oleh pria” (Shihab, 2012: 400).

 

            Tulisan di atas menunjukkan bahwa meskipun M. Qurais Shihab sependapat dengan Ibnu Katsir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, namun itu tidak menunjukkan bawa wanita mempunyai kedudukan berada dibawah laki-laki. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa hubungan laki-laki dan perempuan terletak pada asas saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Dari proses penciptaannya saja kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah jadi perdebatan. Namun, dari serangkaian perdebatan mengenai keadilan laki-laki dan perempuan, bukan lagi sebatas proses penciptaan, kepemimpinan dalam agama dan rumah tangga, melainkan sudah berkembang di ranah publik termasuk di dalamnya masalah politik, yang terus diperdebatkan. Banyak tuduhan yang dialamatkan kepada  agama Islam yang dianggap tidak peka Gender.

Contoh yang paling nyata adalah di Indonesia, di mana perempuan bisa jadi pemimpin partai, anggota dewan, menteri dan bahkan pemimpin Negara sebagaimana Presiden RI ke-5 yakni Ibu Megawati Sukarno Putri naik tahta menggantikan K.H Abdur Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gusdur. Meskipun banyak ditentang oleh sebagian masyarakat dan ormas-ormas Islam, namun semua itu sah secara politik dan sesuai dengan sistem demokrasi yang dipakai di Indonesia, kemudia putri dari Presiden ke-4, yakni Ibu Yeni Wahid merupakan politikus dari partai PKB, dan para menteri perempuan, mulai dari Ibu Susi Puji Astuti Menteri Kelautan hingga Ibu Khofifah Indar Para Wangsa yang merupakan Menteri Sosial. Bahkan kesempatan ini terus diberikan, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU RI No. 8, 2012).

Dari perspektif historis, nampak bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul silih-berganti terlepas dari perbedaan boleh tidaknya perempuan ikut dalam politik dalam ranah ilmu fiqih. Dibawah ini terdapat ayat khusus yang berkenaan dengan hak politik. Q.S At-Thaubah: 71

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S At-Taubah; 71)

Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk berpolitik. Perintah untuk mencegah yang mungkar dan menyuruh kepada yang ma’ruf bisa dilakukan dengan ikut dalam berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh seluruh kaum Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memiliki tanggungjawab yang sama untuk  ikut menentukan arah,warna, dan pola generasi kini dan masa depan (Qardhawi, 2008: 221).

Dari pemaparan di atas tergambar jelas, sekalipun banyak perdebatan terhadap keikutsertaan perempuan dalam dunia politik, baik yang membolehkan ataupun melarang, namun pada faktanya dari masa ke masa semakin banyak perempuan yang ikut terjun ke dunia politik, dan harus di akui kontribusinya. Oleh kerena itu dibutuhkan suatu kejelasan mengenai posisi perempuan dalam politik. Selain boleh tidaknya perempuan ikut politik, yang lebih penting bagaimana sebenarnya al-Qur’an menggambarkan posisi perempuan dalam perpolitikan, bagaimana porsi dan kontribusinya.

Berangkat dari permasalahan keadilan gender khususnya pada hak berpolitik perempuan yang sedang menjadi topik dalam kajian Islam dan menjadi isu hangat ditengah-tengah umat Islam. Kemudian dengan memahami pemikiran M. Quraish Shihab yang bisa menjadi penengah antara mufassir klasik dan kontemporer, diharapkan bisa memberikan penjelasan dan solusi kedepannya mengenai kontribusi perempuan dalam dunia politik, maka dari itu penulis tertarik untuk memahami lebih jauh mengenai “ Kajian Gender: Perempuan dan Politik dalam Tafsir Al-Misbah”

 

Pemikiran M.Quraish Shihab Dalam Konteks Perempuan Dan Politik

 

Pada bagian sub bab ini kosentrasinya adalah politik untuk perempuan, pertama yang akan dibahas adalah dalam hal politik untuk perempuan dalam Islam dan terkhusus pandangan dari M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah. Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami dan tidak boleh berpolitik. Dalam hal ini Wahbah Zuhaili mengatakan syarat  kepala  negara  adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A‟la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.[1]

  Pemikiran lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang politik. Hal tersebut terjadi karena belum dipahaminya konsep tentang hak politik perempuan secara murni, dan juga karena dalam memahami teks ayat al-Qur`an masih bias gender. Perbedaan pandangan tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam  terutama ayat al-Qur`an yang berbicara tentang politik.

Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan dalam Islam. Berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai hak politik perempuan dari dua sisi, baik yang melarang maupun yang membolehkan.

1.        Perempuan Dilarang Berpolitik.

Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut. Pendapat  konservatif  ini mengemukakan  argumentasi  bahwa dalam praktik politik, Islam tidak mengakui persamaan politik antara laki-laki dan perempuan. Ulama-ulama  yang mendukung pendapat  seperti  ini, misalnya, Imam al-Ghozali yang menyatakan bahwa seorang perempuan tidak bisa didudukan  sebagai   imam  (kepala   negara).  Menurutnya   bagaiman bisa seorang perempuan melaksanakan pemerintahan sedangkan dia sendiri tidak memiliki hak untuk memutuskan  perkara besar dan tidak  mampu memberi kesaksian dalam berbagai persoalan hukum[2]. Kemudian juga di dukug oleh hadits yang berbunyi:

Artinya: “tidak  akan  berjaya  suatu  kaum  yang  mengangkat  seorang  wanita sebagai pemimpin mereka”(H.R. Bukhari)

Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar Hadits yang mempersoalkan  kesahihannya.  Sedangkan  dari segi diroyah; dalalah hadits ini   menunjukkan   dengan   past haramnya   wanita   memegan tampuk kekuasaan negara. Menurut faham konservatif ini, Islam telah menentukan peran perempuan dalawilayah  khusus (domestic role). Menurut  mereka, Islam tidak pernah menyandarkan urusan publik kepada perempuan, bahkan sejak masa kenabian tak satupun perempuan yang terlibat  secara langsung dalam kegiatan politik.

Kemudian pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena  Allah Swt telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS.. AN-Nisa:34)

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

 

Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”[3]

 

            Sekalipun ayat ini dijadikan argumen untuk melarang perempuan dalam politik namun M. Quraish Shihab mempunyai pandangan yang berebeda, beliau berpendapat bahwa kata pemimpin dalam ayat tersebut tidak sepenuhnya merujuk pada pemimpin akan tetapi dalam hal mendirikan sholat[4].

Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (Q.S. Al-Baqarah:228). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (Q.S. Al-Baqarah:282).

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨

 

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[5]

 

           Dalam ayat ini juga M. Quraish Shihab mempunyai pemikiran yang berbeda dari kebanyakan ulama lainnya,beliau berpendapat bahwa maksud daripada derajat dalam ayat di atas adalah derajat kepemimpinan yang berlandasakan kelapangan dada suami untuk meringankan sebagian kewajiban istri[6].

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡ‍ٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡ‍َٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٨٢

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”[7]

 

            Sama halnya dengan dua penafsiran ayat di atas M. Quraish Shihab tidak membenarkan bahwa ayat yang membandingkan persaksian antara satu laki-laki dan dua perempuan,menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi intelektualnya dan derajatnya dibandingkan perempuan, beliau beralasan bahwa di saat ayat ini turun wanita memang tidak pernah dilibatkan dalam hal utang piutang apalagi bekerja di luar rumah jadi secara pengetahuan pada masa itu memang perempuan terbatas, jika disbanding dengan zaman sekarang perempuan sudah banyak yang ahli di bidang tertentu dan bisa jadi saksi ahli[8].

Namun sebagi perbandingan sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan, sebagaimana yang diutarakan dalam kitab tafsir ibnu Katsir dalam menafsirkan Q.S An-Nisa: 34[9]. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim), kedua hadits tersebut dijelaskan dalam tafsir ibnu katsir untuk memperkuat Q.S Al-Baqarah: 34[10], hal tersebut menegaskan bahwa bagaimanapun juga perempuan tidak bisa terjun ke dunia politik yang tentunya nanti punya peluang untuk jadi seorang pemimpin.

Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki  (Sofwatul Tafâsîr[11]

Jadi dari pemaparan di atas bahwa dilarangnya perempuan berpolitik dan bahkan jadi seorang pemimpin, selain dari beberapa ayat di atas yang memperkuat posisi laki-laki berada satu level diatas perempuan, kerena laki-laki memiliki kecerdasan akal dan logika yang kuat, keberanian dalam berdialog, dan memiliki kekuatan fisik melebihi perempuan. Namun M. Quraish Shihab sendiri berpendapat bahwa kelebihan-kelebihan laki-laki atas perempuan merupakan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh perempuan gunanya untuk saling membantu dan saling menutupi kekurangan satu sama lain, kerena sebaliknya banyak kelebihan-kelebihan perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Jadi penulis berpendapat bahwa alasan perempuan dilarang dalam berpolitik sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang ini dengan alasan bahwa dalam banyak hal perempuan sudah setara dengan laki-laki, baik dari pendidikan, pergaulan maupun keahlian dalam bidang tertentu. Saat ini banyak saksi-saksi ahli berasal dariperempuan, kemudian pimpinan-pimpinan lembaga yang dipimpin oleh perempuan dan bahkan bisa sukses dalam kepemimpinanna, jadi menurut hemat penulis larangan perempuan berpolitik sudah tidak relevan lagi, bukan didasarkan pada jenis kelamin akan tetapi pada kemampuan individu.

2.      Bolehnya Perempuan Berpolitik

Sedangkan pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya pernyataan al-Qur’an Q.S. At-Tawbah:71 dan Q.S An-Naml:23).

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١

 

Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[12]

 

                        Sebagian berpendapat bahwa perempuan boleh berpolitik dengan alasan ayat di atas tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam amar ma’ruf nahi munkar, bepolitik merupakan salah satu jalan untuk melaksanakan hal tersebut, jadi perempuan boleh berpolitik.

إِنِّي وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةٗ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِيَتۡ مِن كُلِّ شَيۡءٖ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِيمٞ  ٢٣

 

Artinya: ”Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”[13]

 

             Ayat di atas juga menegaskan bahwa ada seorang wanita yang pernah jadi pemimpian suatu negara dan itu merupakan anugerah dari Allah Swt. Kerena kedua ayat di ataslah sebagian menyatakan boleh perempuan ikut dalam politik.

Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas, patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan berpolitik, sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam berpolitik dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti secara cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.

Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah Swt memberikan keutamaan kepada sebagian mereka. Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki bekerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya[14].

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai  penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir  dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:

Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah  yang bertanggung jawab atas perempuan karena Allah Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah suatu hal yang mutlak akan tetapi dilihat dari sisi fungsionalnya, artinya jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan  bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang[15]

Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan[16].

Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap Q.S An-Nisa: 34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang  posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu.

Jika melihat dari fenomena masyarakat saat ini dimana dominasi perempuan dalam duni kerja lebih banyak,lebih mudah mendapatkan pekerjaan untuk perempuan daripada laki-laki. Kemudian saat ini bukan lagi hal yang aneh melihat perempuan melakukan pekerjaan laki-laki, seperti menarik becak, taksi online bahkan sopir angkot, tukang parkir itu semua pekerjaan yang keras, secara fisik seharusnya laki-laki yang melakukan pekerjaan tersebut, namun pada kenyataannya perempuan juga melakukan pekerjaan tersebut.

            Dalam Q.S disebutkan, yaitu Q.S  Al-Baqarah: 228 .” ...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”. Derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah  talak, karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah politik dan kepemimpinan.

            Namun Quraish shihab sendiri menerjemahkan ayat di atas bahwasannya kata derajat itu bukan derajat kepemimpinan akan tetapi kepemimpinan yang berlandaskan kelapangan dada suami untuk meringankan kewajiban istri, suami akan memperoleh derajatnya jika memperlakukan istrinya dengan baik[17]

Disamping itu kata الرجال  pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.”[18]

 Jadi, ayat 34 dari Q.S An-Nisa  bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafkah penghidupan, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafkah. Bagaimana halnya saat ini yang bekerja dan  memberi nafkah adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafkah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan  menunjukkan fenomena  yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga[19]

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa jika memahami ayat terutama dalam Q.S An-Nisa 34 dan Q.S Al-Baqarah: 228, secara teks dan konteks turunnya ayat maka akan terlihat secara mutlaq apapun kondisinya tetaplah perempuan di bawah laki-laki dan laki-laki adalah pemipin perempuan dalam segala hal, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk perempuan untuk ikut berpartisipasi di dunia politik” perempuan dilarang dalam berpolitik”. Walaupun Quraish Shihab membantahnya dengan memberikan pendapat bahwa derajat adalah kelapangan dada suami. Namun sebaliknya jika berladasakan dalam Q.S At-Tawbah: 71 dan Q.S An-Naml: 23, dalam ayat tersebut jelas perempuan bisa jadi seorang pemimpin bukan hanya sekedar ikut serta dalam pemerintahan akan tetapi jadi seorang ratu seperti halnya ratu Balqis.

Setelah mengupas dua pihak yang memiliki  perberdaaan pandangan, penulis melihat fenomena di masyarakat dan berdasarkan pada kebutuhan zaman sangat jelas sekali mendukung pendapat yang kedua, mau tidak mau harus diakui bahwa perempuan punya hak untuk ikut berpartisipasi dalam dunia politik, secara pendidikan sudah tidak ada perbedaan lagi antara laki-laki dan perempuan, dalam hal kemampuan bisa dilihat di masyarakat dimana wanita bisa jadi lulusan terbaik dari sebuah universitas mengalahkan banyak laki-laki, ada yang bisa menjadi tenaga ahli dalam suatu perusahaan, bahkan yang memimpin partai politik.

Dalam hal ini M. Quraish Shihab satu pemikiran dengan pendapat yang kedua bahwa perempuan juga punya hak politik dan boleh ikut politik, perbedaan laki-laki dan perempuan hanya sebatas fungsional, yakni dalam hal penciptaan misalkan saja perempuan punya kemampuan untuk melahirkan dan menyusui sedangkan laki-laki tidak memiliki kelebihan itu, kemudian laki-laki diciptakan dengan tubuh yang kuat oleh kerena itu laki-laki punya tanggung jawab untuk bekerja dan melindungi keluarganya. Adapun dalam hal politik tidak ada yang bisa membatasi keikutsertaan perempuan, asalkan punya kemampuan dan tidak menelantarkan urusan keluarga, tidak ada larangan bagi perempuan untuk ikut menyumbangkan pemikirannya melalui jalur politik.[20]

Adapun kriteria kepala negara yang ideal, di antaranya adalah memiliki pengetahuan yang luas, adil dan objektif, memiliki kemampuan manajemen pemerintahan, berbadan sehat, berakhlaq al-karimah, taat dalam beragama, dan berasal dari suku Quraisy[21]. Dalam  memaknai  syarat  terakhir  yang  dikemukakannya, bahwa  pemimpin  ideal berasal  dari  suku  Quraisy,  nampaknya perlu dianalisis lebih mendalam. Khaldun sesungguhnya tidak memaknai syarat tersebut secara etimologis-dogmatis. Ia memaknai syarat tersebut secara majazi-historis; bahwa di era awal pemerintahan Islam, sosok pemimpin ideal yang memiliki kesanggupan sebagai pemimpin yang adil, amanah, jujur, intelek, dan bertanggungjawab merupakan prototipe yang hanya dimiliki suku Quraisy[22]. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila di era ini prototipe suku Quraisy merupakan sosok ideal seorang pemimpin umat. Namun dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, persyaratan tersebut tidak bisa dipertahankan. Hanya saja, nilai esensinya tetap sama dan masih bisa dipergunakan sebagai indiktor dalam memilih sosok pemimpin ideal. Dalam hal ini, apabila persyaratan kepribadian tersebut telah dimiliki seseorang di luar suku Quraisy, maka berhak untuk memperoleh kepercayaan sebagai pemimpin umat. Bahkan lebih ekstrim, bagi Khaldun kepala negara tidak mesti seorang muslim. Andaikata mampu memenuhi kriteria ideal sebagai seorang pemimpin dan selama mampu menciptakan kebijaksanaan bagi kemashlahatan umat manusia, maka siapapun bisa diangkat menjadi kepala negara. Namun demikian menurutnya lagi dalam rangka  menciptakan  masyarakat  madani,  maka  secara  ideal kepala negara hendaknya adalah seorang muslim. Hal ini disebabkan, secara  normatif,  Islam  memiliki  konsep  ideal  tersebut .

3.      Peraturan Yang  Menjamin Hak Perempuan Dalam Politik

Hak-hal politik atau ( political rights) adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seseorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam Negara[23]. Terlepas dari perbedaan pendapat dalam argumentasi agama, apapun yang terjadi Indonesia bukan penganut Negara dengan sistem hukum Islam, jadi hak politik perempuan dijamin dalam undang-undang “ dibolehkan”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), menyatakan secara tegas bahwa segala warga negara bersamaan  kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Ini berarti bahwa setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang setara dalam segala bentuk kehidupan di masyarakat, termasuk dalam kegiatan politik. Jaminan lain dalam Konstitusi, diantaranya dalam Pasal 28 bahwa ”kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.  Selain dalam UUD 1945, hak-hak warga negara untuk berpartisipasi dalam melaksanakan demokrasi  juga diatur dalam UU Politik, UU Pemilihan Umum, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemerintah Daerah dan peraturan-peraturan lainnya telah dibentuk sejak tahun 1999, namun setiap periode pemilihan umum yang baru selalu dilakukan penyempurnaan pada setiap peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Sebelum Pemilihan Umum 2009, pemerintah bersama DPR kembali melakukan perubahan dan mensahkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi yaitu: Pertama: UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagai pengganti Undang-undang Nomor 31 tahun 2001 tentang Partai Politik yang dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan demokrasi di Indonesia sehingga perlu diperbaharui. Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. UU ini secara signifikan  mendukung keterwakilan perempuan dalam partai politik, hal itu jelas dinyatakan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk  paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris[24] dan pendirian dan pembentukan Partai Politik tersebut menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.[25] Ketentuan ini merupakan tindakan affirmasi untuk mendorong percepatan partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia. Hal yang sama pernah dinyatakan pada ayat (1) Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan  bahwa  ”setiap partai politik yang berpartisipasi dapat mengajukan calon untuk DPR, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Kedua, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada konsideran UU ini disebutkan bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum serta adanya perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu diganti. UU ini mendukung terwujudkan kesetaraan gender sebagaimana tercermin pada  Pasal 8 yang menyebutkan bahwa Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (a) berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; (b) memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; (c) memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; (e) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota.

Ketiga, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; (c) tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya; (d)  mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; (e)  bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (f) telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; (g) tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; (h)  tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; (i) tidak pernah melakukan perbuatan tercela; (j) terdaftar sebagai Pemilih; (k)  memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi; (l) belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; (m)  setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (n) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (0)  berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun; (p)  berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; (q) bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan (r) memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.[26]  Persyaratan ini  memberikan kesempatan dan jaminan yang sama bagi laki-laki dan perempuan maupun penyandang cacat untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden meskipun tidak dinyatakan secara spesifik. Konteks Negara hukum termasuk Indonesia sudah sangat jelas perempuan hak politknya dijamin oleh undang-undang. Bukan hanya Indonesia yang menjamin hak politik perempuan hampir semua Negara maju di dunia yang menggunakan sistem demokrasi sudah menjamin hak politik perempuan, adanya Hak Asasi Manusia ( HAM), emansipasi wanita dan kesetaraan gender yang mendukung hak-hak politik perempuan.

Konteks kenegaraan tidak selalu berjalan dengan konteks keagamaan, termasuk dalam agama Islam, meskipun ulama’ berbeda pendapat mengenai jaminan hak politik perempuan, namun dalam hal ini Quraish Shihab mengatakan bahwa hak politik perempuan dijamin dalam al-Qur’an Q.S At-Tawbah: 7

كَيۡفَ يَكُونُ لِلۡمُشۡرِكِينَ عَهۡدٌ عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ رَسُولِهِۦٓ إِلَّا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّمۡ عِندَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۖ فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧[27]

 

Artinya: “Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haraam? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa

 

            Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gamabaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dalam kalimat menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.

            Kata awliya’ dalam ayat di atas mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan,sedangkan pengertian yang dikandung oleh menyuruh mengerjakan yang makruf mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat ( kritik) kepada penguasa. Dengan demikian setiap laki-laki maupun perempuan diharapkan mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran ( nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan[28]. Disisi lain al-Qur’an juga mengajak umatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Berikut firmannya dalam Q.S 42:38

وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨ [29]

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”

 

            Ayat di atas dijadikan oleh banyak ulama’ sebagai dasar atau landasan yang memperkuat hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan. Musyawarah telah menjadi salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur’an. Termasuk kehidupan politik dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersama berkelompok untuk senantiasa bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah.[30]

            Pemaparan di atas menjelaskan bahwa hak politik perempuan sebagai warga Negara dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), menyatakan secara tegas bahwa segala warga negara bersamaan  kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan juga didukung oleh undang-undang lainnya yang sudah dijelaskan di atas, sedangkan dalam al-Qur’an dijamin dalam Q.S At-Tawbah: 7 dan Q.S Asy-Syuro: 38 bawa baik laki-laki ataupun perempuan punya kewajiban untuk mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, kemudian laki-laki dan perempuan harus senantiasa bermusyawarah dalam setiap menyelesaikan suatu persoalan kehidupan berkelompok atau bermasyarakat hal inilah yang menekankan bahwa kedua ayat tersebut menjamin hak politik perempuan.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa M. Quraish Shihab satu pemikiran dengan pendapat yang membolehkan perempuan ikut dalam politik, bahwa perempuan juga mepunyai hak politik dan boleh ikut berpartisipasi dalam politik, perbedaan laki-laki dan perempuan hanya sebatas fungsional. Artinya perbedaan kekurangan dan kelebihan pada laki-laki dan perempuan tidak memperngaruhi hak politik itu hanya sekedar untuk menjalankan tugas masing-masing dalam kehidupan. Sedangkan dalam politik laki-laki dan peremupuan punya hak yang sama.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Agustin Hanafi, Peran Perempuan Dalam Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry,  Banda Aceh, 2015.

 

Anton  Bekker  dan  Ahmad  Charis  Zubair,  Metodologi  Penelitian  Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990, Cet ke-1.

 

Arista Aprilia. Hak-hak Politik Perempuan dalam Pemikiran Yusuf Qordowiy, Fakultas Syariah, UIN Jakarta 2016.

 

Budiardjo, Merian, Dasar-dasar Ilmu Politik,  Jakarta,  Gramedia , 1971

 

Fadlan, Islam, Feminisme dan Konsep Gender Dalam Al-Qur’an, Pemekasan, STAIN Pemekasan,  2011.

 

H.B, Widagdo, Managemen  Pemasaran  Partai Politik Era Reformasi, Jakarta, PT. Gramedia, 1999

 

Hidayatullah, ( 2014). Implementasi Sistem Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu: Studi pada Masyarakat Patrilineal di Indonesia

 

Http://dinulislami.blogspot.co.id/2013/07/hak-politik-perempuan-perspektif-islam_4.html diakses 22semptember 2017

 

Ibnu Katsir, Tafsir Ibu Katsir, Jakarta, Pustaka Imam Syafi’I, 2003, Cet Ke-2, Jilid 2.

 

Ja’far, Muhammad Anis Qasim , Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender Dalam Islam, Bandung,  Zaman Wacana Mulia, 1988.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesiah, Pengertian Partai, 18 Mei 2018,  http://  kbbi. web.Id/partai, (20:34 WIB)

 

Koeswara, (2014). Partisipasi Politik Kader Perempuan Parpol: Studi Tentang Kendala  Partisipasi Politik Kader  Perempuan Dalam Kegiatan  Parpol Pada Pelaksanaan Pilkada  Di Provinsi Jambi  Tahun  2005, Universitas Andalas

 

Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta,  Rosda Karya, 1991.

 

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000.

Muhammad Yusuf Pambudi, Perempuan dan Politik, Studi Tentang Aksibilitas Perempuan Menjadi Anggota Legislatif Di Kabupaten Sampang, Fisip, Universitas Airlangga, Surabaya,  2012

 

Muhsin, Aminah Wadud,  Quran and Woman, New York, Oxford University Press, 1999

Noer, Delier, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta, Rajawali, 1982

Kirk Patrik, Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya, Surabaya, Danur Wijaya Press, 1994

Ridâ, Muhammad Rashîd. Tafsîr al-Manâr. Beirut, Dâr al-Ma„rifah li al Tibâ’ah wa al-Nasr, Vol-4.

 

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung, Mizan, 1999

 

--------, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera hati , 2012, Cet Ke-5, Vol-2

 

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Rajawali Press, 1999

 

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Houve, 1983

 

Undang-undang Republik Indonesia No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu

 

Undang-undnag Republik Indonesia No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

 

Zuhra, Fatimah, Konsep Kesetaraan Gender DalamPerspektif Islam.Sumatra Utara, IAIN Sumatra Utara

 



[1] Istibsyaroh, Hak-hak Politik Perempuan Kajian Maudhu’I, UIN Sunan Ampel Surabaya dalam Jurnal Sipakalebbi, Vol 1, No2, 2014, hlm, 237

[2] Syafiq Hasyim Hal-Hal Yang Tak Terpikiurkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung; Mizan, 20012), hlm, 191

[3] Lihat Q.S An-Nisa: 34

[4]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta, Lentera hati , 2012, Cet Ke-5, Vol-2, hlm, 511

[5] Lihat Q.S Al-baqarah: 228

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,…………, Vol-1, hlm, 596

[7] Lihat Q.S Al-Baqarah: 282

[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,…………, Vol-1, hlm, 736

[9] Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsir, ditahqiq oleh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurrahman Bin Ishaq  As-Sheikh, Tafsir Ibnu Katsri, diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Ghoffar, Pustaka Imam Syafii, Kairo, Cet Ke-5, Juz Ke-5, hlm, 297

[10] Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibnu Katsir,…………….., hlm, 297

[12] Lihat Q.S At-Taubah: 71

[13]Lihat Q.S An-Naml: 23

[14] Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, terj, Syafir-Al-Azhar, Jakarta, Ikrar Mandiri, Vol-4, hlm, 2202

[15] Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, 1996 hlm, 72. (http://ebooks.rahnuma.org/religion/Fazlur_Rehman/Fazlur_Rehman-Major-Themes-of-the-Qur-an.pdf)

[16]Aminah Wadud Muhsin, Quran and Woman, New York, Oxford University Press, 1999 hlm,73.(http://www.weldd.org/sites/default/files/Wadud%20Amina%20Qur%27an%20and%20Women.pdf)

[17] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan  Keserasian Al-Qur’an, Vol-1, hlm, 596

[18] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998hlm, 149-150.

[19] Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,  hlm, 10, kol.5-9

[20] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1999, hlm, 425

[21] Ibnu Khaldun, Muqoddimah Ibnu Khaldun, diterjemahkan Ahmadie Toha,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) Cet Ke-7, hlm 239

[22] Ibnu Khaldun, Muqoddimah Ibnu Khaldun…hlm 239

[23]Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non Muslim dalam Komunikasi Islam, Angkasa Bandung, Bandung, 2003, Cet Ke-1, hlm, 49

[24] Ayat (1) Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

[25] Ayat (2) Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

[26] Pasal 5 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

[27]Lihat. Q.S At-Tawbah: 7

[28] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,……………hlm, 425

[29] Lihat Q.S Asy-Syuro: 38

[30] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,…………hlm, 426

Tidak ada komentar:

Posting Komentar