Jumat, 25 Februari 2022

Manajemen Waktu Dalam Q.S Al-Ashr

 By. Dr (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si


Perkembangan zaman bertujuan untuk memudahkan manusia dalam hampir di segala hal. Dengan kemudahan yang terjadi manusia bisa bekerja 100 kali lebih cepat dan besar dari zaman sebelumnya. Akan tetapi hal ini juga, membuat manusia menjadi makhluk yang sibuk dan sempit akan waktu yang dimiliki. Bahkan tidak sedikit waktu malam yang seharusnya waktu istirahat menjadi waktu kerja. Tidak lain hal ini dikarenakan manusia cenderung merasa kurang dengan waktu yang dimiliki. Ada juga karena kemudahan dari zaman saat ini, manusia memiliki banyak waktu yang tidak bisa dikelola dengan baik dan cenderung menjadi makhluk yang "malas". Tentunya ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang mengatur waktu sedisiplin mungkin.

Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan Allah  SWT  secara  gratis  dan  merata  kepada  setiap  orang.  Apakah  dia orang  kaya,  miskin,  penjahat,  ataupun  orang  alim  akan  memperoleh deposito  waktu  yang  sama,  yaitu  24  jam  atau  1.440  menit  atau  sama dengan   86.400   detik  setiap  hari.  Tergantung   kepada   masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan deposito tersebut[1].

Waktu adalah salah satu dimensi dalam hidup manusia. Karakter waktu senantiasa berpacu secara cepat, tanpa terasa, dan tiba-tiba menghujam.   Tidaklah   heran  masyarakat   Arab  mengkiaskan   cepatnya waktu  dengan  kilatan  pedang  menyambar,  al-waqt  ka al-saif  fa in lam taqtha’haa    qatha’aka    (waktu    laksana    pedang,    jika    kamu   tidak memanfaatkannya,  maka ia akan menebasmu).[2] Dengan  melihat  betapa  pentingnya  nilai waktu  dan betapa  besar nikmat   Allah  Swt  yang   terkandung   di dalamnya.   Al-Qur’an   memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah waktu dilihat dari berbagai sudut dan berbagai macam bentuk personifikasi.

Allah bersumpah pada permulaan surat tertentu dalam Al-Qur’an dengan menggunakan fase tertentu dari waktu seperti wal laili wan nahari (demi malam dan siang), wal fajr (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu dhuha), wal ashr (demi waktu ashar).[3]

Hidup akan bermakna selama manusia mampu memberikan makna terhadap waktu. Bahkan dalam surah al-ashr menegaskan dan memberikan perhatian   khusus   terhadap   nilai   dan   esensi   waktu   sebagai   sebuah peringatan. Demi waktu, sesungguhnya manusia pasti dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang mampu memberikan makna terhadap waktu dengan penunjukan amal prestatif dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.

Waktu  merupakan  rangkaian  saat,  momen,  kejadian  atau  batas awal dan akhir sebuah peristiwa. Hidup tidak mungkin ada tanpa dimensi waktu, karena hidup  merupakan  rangkaian  gerak yang terukur.  Bahkan, dapat   dikatakan   bahwa   waktu   adalah   salah   satu   dari   titik   sentral kehidupan.  Seseorang yang menyia-nyiakan  waktu, pada hakikatnya dia sedang mengurangi makna hidupnya. Bahkan, kesengsaraan manusia bukanlah terletak pada kurangnya harta, tetapi justru karena membiarkan waktu berlalu tanpa makna[4]

Dalam agama Islam ketentuan penggunaan waktu banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam al-Qur’an, penulis mengambil satu surah yang khusus dalam mengatur waktu, yaitu surah al-‘Ashr ayat 1 sampai 3 :

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran

Dalam tafsir KEMENAG RI mengenai surat ini, pokok dari surat ini adalah anjuran untuk saling memperingatkan dalam kebaikan, sebab orang yang tidak melaksanakan kebaikan akan dalam merugi.[5] Pokok ini diambil dari alasan manusia dalam keadaan merugi yang kemudian dijelaskan pada ayat ketiga. Penjelasan pada tafsir ayat ini, bahwa manusia yang tidak dapat menggunakan masa (waktu) dengan sebaik-baiknya termasuk golongan yang merugi.[6]

Menurut prof M. Quraish Shihab tentang surah al-‘Ashr dalam Tafsir al Misbah, didalam surah al-‘Ashr ini, Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi. Menurut beliau surat al-‘Ashr diambil dari ayat pertama surat ini. Para ulama sepakat mengartikan kata 'ashr pada ayat pertama surah ini dengan waktu, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Prof M. Quraish Shihab pun mengartikan al-‘Ashr adalah waktu secara umum.[7] Dari yang kita dapat diatas bahwa manusia cenderung dalam kelalaian dan diingatkan Allah SWT untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya, ini mencegah dari manusia untuk keluar dari kerugian.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Tafsir Ibnu Katsir 8/499, mengenai surat ini pernah berkata:

لَوْتَدَبَّرَالنَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَلَوَسَعَتْهُمْ

Artinya:Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah, beliau menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i, “Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar.” [Syarh Tsalatsatul Ushul][8]

Tentu dari penjelasan di atas tidak banyak perbedaan pendapat pada orang dewasa, karena orang yang sudah dewasa dianggap sudah seharusnya bijak dalam menggunakaan waktu. Tetapi belum memuaskan pertanyaan yang ada pada kondisi zaman sekarang. Pemahaman yang umum dari surat al-‘Ashr akan menggiring pemikiran dalam memaknai surah tersebut selain dari beriman dan beramal sholeh akan dalam kerugian. Tentu harus ada pembahasan yang lebih komprehensif mengenai pemahaman orang-orang masuk dalam kategori orang yang merugi dan orang yang beruntung dalam surat tersebut yang berkatian dengan manajemen waktu.

Dari pemaparan di atas sudah sangat jelas bahwa banyak manusia yang lalai dan tidak memanfaatkan waktunya dengan berbuat kebaikan, dalam kenyataan fakta dalam realita kehidupan, semakin majunya teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, namun disisi lain kemudahan itu semakin melalaikan manusia terhadap waktu, dimana waktu banyak dibuang sia-sia untuk hal yang tidak bermanfaat. maka dari itu dengan kemajuan teknologi dan segala kemudahan dan banyak hal-hal yang berupa kesenangan dan membuat manusia menyia-nyiakan waktu, maka tentu haruslah pandai-pandai mengendalikan pengaru teknologi dan memanajemen waktu dengan baik.



[1] Toto Tasmaran, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 73-74.

[2] Kamaruddin Baso, Renungan Pribadi Dalam Rangkuman 5000 Mutiara, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hlm. 331.

[3] Yusuf Al-Qardhawi, al-Waqtu fi Hayati al-Muslim, terj. Ali Imron, Waktu Adalah Kehidupan, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), hlm. 1.

[4] Toto tasmaran, Kecerdasan Ruhaniahhlm. 154.

[5] KEMENAG RI, AlQur’an & Tafsirnya Jilid X, Lentera Abadi, Jakarta, Cetakan 2010, hlm, 765

[6] KEMENAG RI, AlQur’an & Tafsirnya Jilid X…hlm, 768

[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, Cetakan 2010, hal 584

[8] Muhammad Nur Ichwan Muslim, Tafsir Surat al-Ashr Membebaskan diri dari Kerugian, diakses dari https://muslim.or.id/2535-tafsir-surat-al-ashr-membebaskan-diri-dari-kerugian.html pada tanggal 22 September 2018


Sabtu, 19 Februari 2022

Spiritualisasi Ayat-Ayat Asy-Syifa Dalam Kajian Tafsir Al-Misbah Pemikiran M.Quraish Shihab

By: Dr. (Can). Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si


Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang sehat, tenang, tentram dan bahagia, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai.[1] Islam sebagai agama, sangat memperhatikan keberadaan manusia, karena itulah Islam membentangkan konsep yang sangat tegas tentang kehidupan yang sehat kepada manusia, misalnya mengenai apakah hidup dan kehidupan itu serta kemana arah tujuannya. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan manusia karena dengan kondisi sehat, manusia bisa beraktifitas dengan nyaman dan banyak berbuat kebaikan dengan memberi manfaat kepada sesama. Sementara manusia adalah makhluk yang kompleks yang terdiri atas unsur fisik, psikis, sosial dan spiritual, maka manakala seseorang mengalami sakit tentunya harus dilakukan pemeriksaan dan penyembuhan secara menyeluruh.[2]

Pada hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi, yaitu fisik dan psikis. Substansi fisik sendiri adalah substansi material, tidak berdiri sendiri, tidak kekal dan berada dalam alam jasad, sedangkan substansi psikis adalah substansi imaterial, berdiri sendiri tidak berbentuk komposisi, mempunyai daya mengetahui dan menggerakan, kekal dan berada di dunia metafisik. Fisik dan psikis berhubungan ketika al-nuṭfah memenuhi syarat dengan jiwa yang kemudian keduanya berpisah bersamaan dengan datangnya kematian.[3] Dengan begitu kondisi fisik manusia adalah sebuah media yang menjadikan manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya di dunia dan juga sebagai modal kebaikan untuk bekal hidup di akhirat.

Al-Qur’an memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia khususnya umat muslim karena al-Qur’an merupakan pedoman hidup utama umat muslim yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini berkaitan dengan pengertian al-Qur’an  itu  sendiri  yang  salah  satu  pengertiannya  dikemukakan  oleh  Prof.  Dr. Rosihon Anwar, M. Ag. dalam bukunya yang mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surah An-Nas.[4]

Al-Qur’an menyebutkan macam-macam penyakit yang hati yang menimpa manusia selain itu ia juga telah mengajarkan kepada manusia agar tetap melestarikan lingkungan dan menjaga kebersihan tempat tinggal supaya tidak menjadi sarang kuman dan bakteri. Al-Qur’an juga menghimbau untuk menjauhi makanan dan minuman yang mengandung penyakit dan ia juga memberitahu tata cara mengobati diri kita ketika sakit.[5] Mengingat al-Qur’an membantu manusia di bidang ini sehingga al-Qur’an menyebut dirinya sebagai “penyembuh penyakit”, yang oleh kaum muslimin diartikan sebagai

Melihat peran al-Qur’an sebagai pedoman utama umat muslim, maka hal tersebut tidaklah terlepas dari setiap kegiatan rutinan umat muslim, termasuk dalam setiap ritual keibadahan, mulai dari ibadah yang bersifat fardhu’ seperti shalat hingga ibadah-ibadah sunnah, semuanya tidak terlepas dari penggunaan al-Qur’an didalamnya. Tidak hanya itu, dalam kehidupan sehari-hari pun, al-Qur’an memiliki peranan penting karena al-Qur’an merupakan solusi dari setiap persoalan yang dihadapi manusia. Salah satu sifat al-Qur’an adalah sebagai asy-Syifa’ (obat)[6]asy-Syifa’ itu sendiri ditujukan untuk lahiriah dan bathiniah, sehingga tidak hanya penyakit hati, melainkan seluruh penyakit lahiriah yang bersumber dari hati manusia.

Dinyatakan sebagai asy- Syifa’ karena al-Qur’an dijadikan Allah sebagai mukjizat yang berdeda dengan kitab- kitab yang diturunkan sebelumnya. Selain dari itu, al-Qur’an juga mengandung ilmu yakin, ia merupakan pemberi nasihat serta peringatan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan persoalan manusia  yang  berkaitan  dengan  ketentaun  Allah  Swt,  karena hidup manusia tidak selalu dalam suatu keadaan, ada senang begitu juga duka, ada sehat,  namun  ada  kalanya  sakit.  Semua  ini  merupakan  sunnatullah  yang  harus dihadapi oleh setiap manusia. Dari sekian banyak keadaan manusia yang dihadapinya, yang paling menarik adalah ketika manusia menghadapi keadaan duka dan sakit.

Salah satu di antara sekian banyak mukjizat al-Qur'an yang sudah terbukti sejak diturunkannya hingga saat ini adalah bisa menjadi obat penyembuh. Kemukjizatan al-Qur'an ditegaskan dalam firman Allah Swt:

وننَزِّلُ مِنَ القرآنِ مَا هُوَ شفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَزيْدُ الظالِمِيْنَ إلاَّ خَساراً
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al Isra’: 82)

Menurut Abu Bakar Al Jazairi, huruf من pada ayat di atas berfungsi sebagai penjelas (مبينة) bagi huruf maushul ما, bukan ibtida’ atau zaidah.[7] Sementara itu, Muhammad Sayyid Thanthawi mengatakan bahwa huruf من pada ayat tersebut bukan untuk tab’idh (للتبعيض) atau menunjukkan sebahagian, melainkan al jins (للجنس). Dengan demikian, ayat tersebut menegaskan bahwa semua kandungan al-Qur’an merupakan obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.[8]

Syifā‟ itu sendiri, oleh az-Zarkasyi digolongkan sebagai nama lain dari Alquran yang diuraikan melalui penjelasan bahwa Alquran dapat berfungsi sebagai asy-Syifa’ bagi orang-orang beriman dari penyakit kekafiran, dan bagi orang-orang yang mengetahui dan mengamalkannya dapat berfungsi sebagai asy-Syifa’ dari penyakit kebodohan.[9] Lebih lanjut,Ibnu Katsir justru memasukkan asy-Syifa’ sebagai nama lain dari surah al-Fatihah, karena ada keterangan yang diriwayatkan secara marfu’ oleh ad-Darimi dari Abu Said, “Fatihatul kitab merupakan obat dari segala racun”. Al-Fatihah dinamai ar-Ruqyah berdasarkan hadist dari Abu Said al-Khudri, yaitu tatkala dia menjampi orang yang sehat maka Rasulullah bersabda kepadanya, ”Dari mana anda tahu bahwa Fatihah merupakan jampi?” Fatihah juga dinamai Asasul-Quran berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh asy-Syaitibiy dari Ibnu Abbās bahwa dia menamainya AșasulQuran.Ibnu Abbās berkata, “Dasar al-Fātihah ( ىَانسدًُانهھانسدًتع “( Sufyan bin Uyainah menamai Alquran dengan al-Wāqiyah (penjagaan). Yahya bin Abi Katsir menamainya dengan al-Kāfiyah (yang mencakupi) berdasarkan keterangan dalam beberapa Hadits mursal yang menyatakan, “Ummul-Quran sebagai pengganti dari selain namanama al-Fātihah. Selain nama-nama al-Fātihah itu tidak ada lagi nama sebagai penggantinya.[10]

Untuk melengkapi pemaknaan lebih jauh tentang term syifā’, sangat diperlukan tinjauan dari berbagai kitab tafsir. Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kata syifā’ bisa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan juga dalam arti keterbatasan dari kekurangan, atau ketiadaan arah dalam memperoleh manfaat. Ibnu Bādīs dalam sebuah karyanya mengartikan syifā’ sebagai kesembuhan dari penyakit, baik fisik maupun psikis.[11]

Dalam pandangan M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan kata asy-Syifa’ dalam Tafsir al-Misbah, yaitu yang biasa diartikan “kesembuhan atau obat” dan dapat digunakan juga dalam arti  “keterbatasan  dari kekurangan” atau “ketiadaan aral” dan memperoleh manfaat. Dan juga M Quraish Shihab berpandangan, ketika sedang mengomentari pendapat para ulama yang memahami bahwa ayat-ayat  Al- Quran itu dapat mengobati dan menyembuhkan segala sesuatu penyakit jasmani.  Menurutnya,  bukan  penyakit  jasmani,  melainkan  hanya  adalah sesuatu penyakit ruhani (jiwa) yang berdampak pada jasmani. Ia adalah psikosomatik. Menurutnya, tidak jarang seseorang merasa sesak nafas atau dada bagaikan tertekan karena adanya ketidakseimbangan ruhani.[12]

Banyak mufassirin yang menafsirkan tentang  makna asy-Syifa’ dengan penafsiran  bahwa  al-Quran  adalah  sebagai  obat  penyakit  apa  yang  ada dalam  dada.  Akan  tetapi   semakin  maju  ilmu  pengetahuan   dan  juga banyaknya penelitian, muncul banyak hal-hal yang menakjubkan dalam Al- Quran, tidak  hanya sebagai obat  ruhani semata,  akan tetapi  juga sebagai jasmani. Namun dalam hal ini M. Quraish Shihab hanya menekankan bahwa al-Qur’an sebagai asy-syifa’ hanya untuk penyakit runahi saja atau mental.

M. Quraish Shihab beranggapan bahwa makna asy-Syifa’ sebagai pengobat penyakit ruhani atau mental hal ini dikarenakan ketika seseorang membaca al-Qur’an ada suatu spirit atau kekuatan berupa ketenangan dan ketegaran bagi yang membacanya, tentu ada beberapa kasus pengobatan dengan terapi al-Qur’an, kemudian ada seorang dokter yang sebelum mulai pengobatan menyuruh pasiennya membaca al-Qur’an. Hal inilah menunjukkan bahwa al-Qur’an sebagai asy-Sifa’ bisa memberikan spirit atau semangat bagi manusia untuk sembuh dari penyakitnya.

Kajian Pustaka

            Konsep Syifa’ dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi, ini adalah sebuah disertasi yang disusun oleh Dr. Aswadi, M. Ag. untuk menyelesaikan pendidikan S-3nya di UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Pada disertasi ini penulisnya hanya mengungkap konsep syifā’ pada kitab tafsirnya ar-Razi saja termasuk metode yang digunakan ar-Razi dalam menafsirkan ayat Syifa’.

Konsep al-Qur’an sebagai Syifā’; Telaah atas Persepsi Ibnu Qayyim al-Jauziyah Tentang Penyembuhan Gangguan Kejiwaan Dengan al-Qur’an. Ini adalah skripsi yang disusun oleh Ahmad Fauzi untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 Theology Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsi ini, penulisnya memaparkan persepsi Ibnu Qayyim tentang ayat-ayat syifā’ dalam al-Qur’an serta al-Qur’an sebagai syifā’ dari aspek psikologi. Menurut Ibnu Qayyim al-Qur’an adalah syifā’ dan itu mencakup keseluruhan al-Qur’an dan bukan salah satu ayat atau salah satu surat al-Qur’an. Termasuk di dalamnya memuat konsep, prinsip dan bentuk terapi penyembuhan menurut Ibnu Qayyim. Terapi yang ditawarka Ibnu Qayyim adalah terapi psiko-religius yang merupakan salah satu pendekatan terapi dalam penyembuhan kejiwaan berdasarkan paham keagamaan dan ajaran-ajarannya yang dilakukan oleh pemuka agama. Terapi ini bertujuan untuk menguatkan daya tahan mental. Ahmad Fauzi dalam menyusun skripsi ini mengkhususkan pemikiran Ibnu Qayyim dan aspek psikologi yang ada di dalamnya

Umar Latif, Al-Qur’an Sebagai Sumber Rahmat dan Obat Penawar (asy-Syifa’) Bagi Manusia, Jurnal Al-Bayan Tahun 2014. Sebagai wahyu yang dipandang begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris, seperti manusia terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq) atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini dapat dianggap sebagai rahmat dan obat   penawar bagi manusia. Bahkan tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan ungkapan kongkret bertujuan membimbing (ihtida’) manusia ke jalan yang benar, dan bukan sebagai laknat bagi hambanya.

Adad  Siddudin.  Konsep  Asy-Syifa’  dalam Al-Qur’an  Berdasarkan Tafsir Ibnu Kasir dan Mafatih Al-Ghaib, UIN Sunan Gung Jati Tahun 2014. Skripsi ini menyajikan penelitian tentang konsep asy-Syifa menurut tafsir Ibnu Kasir dan Mafatih Al-Ghaib. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa beberapa ayat al-Quran yang didalamnya membahasa tentang asy-Syifa’ dengan menggunakan sudut pandang Ibnu Katsir dan Fakhruddin Al-Razi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui  konsep  asy-Syifa’ dalam  al-Quran,  mengetahui  metode penafsiran  Ibnu Kasir dan Fakhruddin Al-Razi serta penafsiran terhadap ayat-ayat yang terkait dengan asy-Syifa’. Hasil dari analisis menunjukan bahwa Ibnu Kasir dan Al-Razi tidak banyak bertentangan ketika menafsirkan asy-Syifa’ dalam Al-Qur’an. Keduanya mengutarakan bahwa  asy-Syifa’  memiliki  tiga  makna,  yang  pertama  asy-Syifa’  dimaknai  sebagai penyembuh bagi hati dan badan manusia, yang kedua sebagai penyembuh badan manusia dan yang ketiga sebagai penyembuh hati manusia saja. Kemudia ada dzat lain sebagai penyembuh badan manusia yaitu madu yang masuk dalam kategori asy-Syifa’.

 



[1] M. Hamdani Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2004, hlm. 1

[2] Arman Yurisaldi Saleh, Berdzikir Untuk Kesehatan Saraf, Zaman, Jakarta, 2010, hlm. 17

[3] Moh. Sholeh dan Imam Musbikin, Agama Sebagai Terapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 69

[4] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia 2012), hlm, 11

[5] Abdul Mun’im Qindil, al-Qur’an Obat Paling Dahsyat; Mengungkap Secara Medis Keajaiban Kesehatan & Pengobatan al-Qur’an, Hilal Pustaka, Pasuruan, 1429 H, hlm. 2

[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qura, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta,Pustaka Al-Kautsar, 2006). Hlm. 56

[7] Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Aisaru Al Tafasir Li Kalam AL ‘Aliyyi Al Kabir. Kairo: Dar Al Hadits, 2006, Juz 2, hal. 249

[8] Muhammad Sayyid Thanthawi, Al Tafsir Al Wasit. Kairo: Dar Al Sa’adah, 2007, Jilid 8, hal. 416.

[9] Imam Badr ad-Din Muhammad bin `Abdullah az-Zarkasyi (745-794 H.), alBurhan fī Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), Jilid. I, h. 275 dan 280. Dalam hal ini ia merunjuk pada QS al-Isrā‟: 82.

[10] Muhammad Nasib ar-Rifā`i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsīr, (Jakarta : Gema insani 1999), Jus I, h. 49-50.

[11] M.Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm, 532.

[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, (Jakarta: Lantera Hati, 2002), hlm, 531

[13] Qamaruddin Saleh (dkk), Asbabun Nuzul;latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, Bandung,  CV. Diponegoro,  cet Ke ix, 2007

                [14]Kementrian Agama RI,  Al-Qur’an dan Tafsirnya, Sinergi Pustaka Indonesia, Jakarta, 2012, hlm, 70

           [15] Abd. Al-hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i suatu pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm, 45-46