By. Dr (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
Perkembangan zaman bertujuan untuk memudahkan manusia
dalam hampir di segala hal. Dengan kemudahan yang terjadi manusia bisa bekerja
100 kali lebih cepat dan besar dari zaman sebelumnya. Akan tetapi hal ini juga,
membuat manusia menjadi makhluk yang sibuk dan sempit akan waktu yang dimiliki.
Bahkan tidak sedikit waktu malam yang seharusnya waktu istirahat menjadi waktu
kerja. Tidak lain hal ini dikarenakan manusia cenderung merasa kurang dengan
waktu yang
dimiliki. Ada juga karena
kemudahan dari zaman saat ini, manusia memiliki banyak waktu yang tidak bisa
dikelola dengan baik dan cenderung menjadi makhluk yang "malas".
Tentunya ini sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang mengatur waktu
sedisiplin mungkin.
Waktu merupakan deposito paling berharga yang
dianugerahkan
Allah SWT
secara
gratis dan merata
kepada
setiap
orang. Apakah
dia orang
kaya,
miskin, penjahat, ataupun orang alim akan memperoleh deposito waktu yang
sama,
yaitu
24
jam atau 1.440
menit atau sama dengan 86.400
detik
setiap hari.
Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia memanfaatkan deposito tersebut[1].
Waktu adalah salah satu
dimensi dalam hidup manusia. Karakter waktu senantiasa berpacu secara cepat, tanpa terasa, dan
tiba-tiba menghujam. Tidaklah heran masyarakat Arab
mengkiaskan cepatnya waktu dengan
kilatan
pedang menyambar,
al-waqt ka al-saif fa in lam taqtha’haa qatha’aka (waktu
laksana pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya, maka ia akan menebasmu).[2] Dengan
melihat
betapa
pentingnya nilai waktu dan
betapa besar nikmat Allah Swt
yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah waktu dilihat dari berbagai sudut dan berbagai macam bentuk personifikasi.
Allah bersumpah pada permulaan surat tertentu dalam Al-Qur’an dengan menggunakan fase tertentu dari waktu seperti wal
laili wan nahari (demi malam dan siang), wal fajr (demi waktu fajar), wad dhuha (demi waktu dhuha), wal ashr (demi waktu ashar).[3]
Hidup akan bermakna selama manusia mampu memberikan makna terhadap waktu. Bahkan dalam
surah al-ashr menegaskan dan memberikan perhatian khusus terhadap nilai dan
esensi waktu sebagai sebuah peringatan. Demi waktu, sesungguhnya manusia pasti
dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang mampu memberikan makna
terhadap waktu
dengan
penunjukan amal prestatif dan
saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
Waktu merupakan
rangkaian
saat,
momen,
kejadian
atau batas awal dan akhir sebuah peristiwa. Hidup tidak mungkin ada tanpa dimensi waktu, karena hidup merupakan rangkaian gerak yang terukur. Bahkan, dapat dikatakan bahwa waktu adalah salah
satu dari titik sentral kehidupan. Seseorang yang menyia-nyiakan
waktu, pada hakikatnya dia sedang
mengurangi makna
hidupnya. Bahkan, kesengsaraan manusia bukanlah terletak pada kurangnya harta, tetapi
justru karena membiarkan waktu berlalu tanpa makna[4]
Dalam agama Islam
ketentuan penggunaan waktu banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam
al-Qur’an, penulis mengambil satu surah yang khusus dalam mengatur waktu, yaitu
surah al-‘Ashr ayat 1 sampai 3 :
وَٱلۡعَصۡرِ
١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran”
Dalam tafsir KEMENAG RI mengenai surat
ini, pokok dari surat ini adalah anjuran untuk saling memperingatkan dalam
kebaikan, sebab orang yang tidak melaksanakan kebaikan akan dalam merugi.[5]
Pokok ini diambil dari alasan manusia dalam keadaan merugi yang kemudian
dijelaskan pada
ayat ketiga. Penjelasan pada tafsir ayat ini, bahwa manusia yang
tidak dapat menggunakan masa (waktu) dengan sebaik-baiknya termasuk golongan
yang merugi.[6]
Menurut prof M.
Quraish Shihab tentang surah al-‘Ashr
dalam Tafsir al Misbah, didalam surah al-‘Ashr
ini, Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia
diisi. Menurut beliau surat al-‘Ashr
diambil dari ayat pertama surat ini. Para ulama sepakat mengartikan kata 'ashr pada ayat pertama surah ini dengan
waktu, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Prof M. Quraish Shihab pun mengartikan
al-‘Ashr adalah waktu secara umum.[7]
Dari yang kita dapat diatas bahwa manusia cenderung dalam kelalaian dan
diingatkan Allah SWT untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya, ini mencegah
dari manusia untuk keluar dari kerugian.
Imam
Asy
Syafi’i rahimahullah dalam Tafsir
Ibnu Katsir 8/499, mengenai surat ini pernah berkata:
لَوْتَدَبَّرَالنَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَلَوَسَعَتْهُمْ
Artinya: “Seandainya setiap manusia
merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.”
Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahullah, beliau menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i, “Maksud
perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk
mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal
sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak
bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh
syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini,
maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara
menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu
beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran
(berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar.” [Syarh Tsalatsatul Ushul][8]
Tentu dari penjelasan di atas tidak banyak perbedaan pendapat pada orang dewasa, karena orang yang sudah dewasa dianggap sudah seharusnya bijak dalam menggunakaan waktu. Tetapi belum memuaskan pertanyaan yang ada pada kondisi zaman sekarang. Pemahaman yang umum dari surat al-‘Ashr akan menggiring pemikiran dalam memaknai surah tersebut selain dari beriman dan beramal sholeh akan dalam kerugian. Tentu harus ada pembahasan yang lebih komprehensif mengenai pemahaman orang-orang masuk dalam kategori orang yang merugi dan orang yang beruntung dalam surat tersebut yang berkatian dengan manajemen waktu.
Dari pemaparan di atas sudah sangat jelas bahwa banyak manusia yang lalai dan tidak memanfaatkan waktunya dengan berbuat kebaikan, dalam kenyataan fakta dalam realita kehidupan, semakin majunya teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, namun disisi lain kemudahan itu semakin melalaikan manusia terhadap waktu, dimana waktu banyak dibuang sia-sia untuk hal yang tidak bermanfaat. maka dari itu dengan kemajuan teknologi dan segala kemudahan dan banyak hal-hal yang berupa kesenangan dan membuat manusia menyia-nyiakan waktu, maka tentu haruslah pandai-pandai mengendalikan pengaru teknologi dan memanajemen waktu dengan baik.
[1] Toto Tasmaran, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 73-74.
[2] Kamaruddin Baso, Renungan Pribadi Dalam Rangkuman 5000 Mutiara, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), hlm. 331.
[3] Yusuf Al-Qardhawi, “al-Waqtu fi Hayati al-Muslim”, terj. Ali Imron, Waktu Adalah Kehidupan, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), hlm. 1.
[4] Toto tasmaran, Kecerdasan Ruhaniah…hlm.
154.
[5] KEMENAG RI, AlQur’an & Tafsirnya Jilid X,
Lentera Abadi, Jakarta, Cetakan 2010, hlm,
765
[6] KEMENAG RI, AlQur’an & Tafsirnya Jilid X…hlm, 768
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah:Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, Cetakan 2010, hal 584
[8] Muhammad Nur Ichwan Muslim, Tafsir Surat al-Ashr Membebaskan diri dari Kerugian, diakses dari https://muslim.or.id/2535-tafsir-surat-al-ashr-membebaskan-diri-dari-kerugian.html
pada
tanggal 22 September 2018