By: Dr. (Can). Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang sehat, tenang,
tentram dan bahagia, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut
tercapai.[1]
Islam sebagai agama, sangat memperhatikan keberadaan manusia, karena itulah
Islam membentangkan konsep yang sangat tegas tentang kehidupan yang sehat
kepada manusia, misalnya mengenai apakah hidup dan kehidupan itu serta kemana
arah tujuannya. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan
manusia karena dengan kondisi sehat, manusia bisa beraktifitas dengan nyaman
dan banyak berbuat kebaikan dengan memberi manfaat kepada sesama. Sementara
manusia adalah makhluk yang kompleks yang terdiri atas unsur fisik, psikis,
sosial dan spiritual, maka manakala seseorang mengalami sakit tentunya harus
dilakukan pemeriksaan dan penyembuhan secara menyeluruh.[2]
Pada
hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi, yaitu fisik dan psikis.
Substansi fisik sendiri adalah substansi material, tidak berdiri sendiri, tidak
kekal dan berada dalam alam jasad, sedangkan substansi psikis adalah substansi
imaterial, berdiri sendiri tidak berbentuk komposisi, mempunyai daya mengetahui
dan menggerakan, kekal dan berada di dunia metafisik. Fisik dan psikis
berhubungan ketika al-nuṭfah memenuhi syarat dengan jiwa yang kemudian keduanya
berpisah bersamaan dengan datangnya kematian.[3]
Dengan begitu kondisi fisik manusia adalah sebuah media yang menjadikan manusia
dapat berhubungan dengan manusia lainnya di dunia dan juga sebagai modal
kebaikan untuk bekal hidup di akhirat.
Al-Qur’an memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia khususnya umat muslim karena al-Qur’an merupakan pedoman hidup utama umat
muslim yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad
Saw.
Hal ini berkaitan dengan pengertian al-Qur’an itu
sendiri
yang salah
satu pengertiannya dikemukakan oleh Prof. Dr.
Rosihon Anwar, M. Ag. dalam bukunya yang mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan
kalam Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,
yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surah An-Nas.[4]
Al-Qur’an menyebutkan macam-macam penyakit yang hati yang
menimpa manusia selain itu ia juga telah mengajarkan kepada manusia agar tetap
melestarikan lingkungan dan menjaga kebersihan tempat tinggal supaya tidak
menjadi sarang kuman dan bakteri. Al-Qur’an juga menghimbau untuk menjauhi makanan dan minuman
yang mengandung penyakit dan ia juga memberitahu tata cara mengobati diri kita
ketika sakit.[5]
Mengingat al-Qur’an membantu manusia di bidang ini sehingga al-Qur’an menyebut
dirinya sebagai “penyembuh penyakit”, yang oleh kaum muslimin diartikan sebagai
Melihat peran al-Qur’an sebagai pedoman utama umat muslim,
maka hal tersebut tidaklah
terlepas dari setiap kegiatan rutinan umat muslim, termasuk dalam setiap ritual keibadahan, mulai dari ibadah yang
bersifat fardhu’ seperti shalat hingga
ibadah-ibadah sunnah, semuanya tidak terlepas dari
penggunaan al-Qur’an didalamnya. Tidak hanya itu, dalam kehidupan
sehari-hari pun, al-Qur’an memiliki peranan penting karena al-Qur’an merupakan
solusi dari setiap persoalan yang dihadapi
manusia. Salah satu sifat al-Qur’an
adalah sebagai asy-Syifa’ (obat)[6]asy-Syifa’ itu sendiri
ditujukan untuk lahiriah
dan bathiniah, sehingga
tidak hanya penyakit hati, melainkan
seluruh penyakit lahiriah yang bersumber dari hati manusia.
Dinyatakan sebagai asy- Syifa’
karena al-Qur’an
dijadikan Allah sebagai mukjizat yang
berdeda dengan kitab-
kitab yang
diturunkan sebelumnya. Selain dari itu, al-Qur’an juga mengandung
ilmu yakin, ia
merupakan pemberi nasihat serta
peringatan. Hal ini sangat berkaitan erat
dengan persoalan manusia
yang berkaitan dengan
ketentaun Allah Swt, karena
hidup manusia tidak selalu dalam suatu keadaan, ada senang begitu juga duka, ada sehat, namun
ada kalanya
sakit.
Semua
ini
merupakan sunnatullah yang
harus
dihadapi oleh setiap manusia. Dari sekian banyak keadaan manusia yang dihadapinya, yang paling menarik
adalah ketika manusia
menghadapi
keadaan duka dan
sakit.
Salah satu di antara sekian banyak mukjizat al-Qur'an
yang sudah terbukti sejak diturunkannya hingga saat ini adalah bisa menjadi
obat penyembuh. Kemukjizatan al-Qur'an ditegaskan dalam firman Allah Swt:
وننَزِّلُ مِنَ القرآنِ مَا
هُوَ شفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَزيْدُ الظالِمِيْنَ إلاَّ
خَساراً
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al
Isra’: 82)
Menurut Abu Bakar Al Jazairi, huruf من pada ayat di atas berfungsi sebagai penjelas (مبينة) bagi huruf maushul ما, bukan ibtida’
atau zaidah.[7]
Sementara itu, Muhammad Sayyid Thanthawi mengatakan bahwa huruf من pada ayat tersebut bukan untuk tab’idh (للتبعيض) atau menunjukkan sebahagian, melainkan al jins (للجنس). Dengan demikian, ayat tersebut menegaskan bahwa semua
kandungan al-Qur’an merupakan
obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.[8]
Syifā‟
itu sendiri, oleh az-Zarkasyi digolongkan sebagai nama lain dari Alquran yang
diuraikan melalui penjelasan bahwa Alquran dapat berfungsi sebagai asy-Syifa’
bagi orang-orang beriman dari penyakit kekafiran, dan bagi orang-orang yang
mengetahui dan mengamalkannya dapat berfungsi sebagai asy-Syifa’ dari
penyakit kebodohan.[9] Lebih lanjut,Ibnu Katsir
justru memasukkan asy-Syifa’ sebagai nama lain dari surah al-Fatihah,
karena ada keterangan yang diriwayatkan secara marfu’ oleh ad-Darimi
dari Abu Said, “Fatihatul kitab merupakan obat dari segala racun”. Al-Fatihah
dinamai ar-Ruqyah berdasarkan hadist dari Abu Said al-Khudri, yaitu tatkala dia
menjampi orang yang sehat maka Rasulullah bersabda kepadanya, ”Dari mana anda
tahu bahwa Fatihah merupakan jampi?” Fatihah juga dinamai Asasul-Quran
berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh asy-Syaitibiy dari Ibnu Abbās
bahwa dia menamainya AșasulQuran.Ibnu Abbās berkata, “Dasar al-Fātihah ( ىَانسدًُانهھانسدًتع
“( Sufyan bin Uyainah menamai Alquran dengan al-Wāqiyah (penjagaan). Yahya bin
Abi Katsir menamainya dengan al-Kāfiyah (yang mencakupi) berdasarkan keterangan
dalam beberapa Hadits mursal yang menyatakan, “Ummul-Quran sebagai pengganti
dari selain namanama al-Fātihah. Selain nama-nama al-Fātihah itu tidak ada lagi nama sebagai
penggantinya.[10]
Untuk
melengkapi pemaknaan lebih jauh tentang term syifā’, sangat diperlukan tinjauan
dari berbagai kitab tafsir. Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
kata syifā’ bisa diartikan kesembuhan atau obat, dan digunakan juga dalam arti
keterbatasan dari kekurangan, atau ketiadaan arah dalam memperoleh manfaat.
Ibnu Bādīs dalam sebuah karyanya mengartikan syifā’ sebagai kesembuhan dari
penyakit, baik fisik maupun psikis.[11]
Dalam pandangan
M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan kata asy-Syifa’ dalam Tafsir al-Misbah, yaitu yang biasa diartikan
“kesembuhan atau obat” dan dapat digunakan juga dalam arti “keterbatasan dari kekurangan” atau “ketiadaan aral” dan memperoleh
manfaat. Dan juga M Quraish Shihab berpandangan, ketika sedang
mengomentari pendapat para ulama yang memahami bahwa ayat-ayat
Al- Quran itu dapat mengobati dan menyembuhkan
segala sesuatu penyakit jasmani. Menurutnya,
bukan penyakit
jasmani, melainkan hanya adalah
sesuatu penyakit ruhani (jiwa) yang berdampak pada
jasmani. Ia adalah psikosomatik. Menurutnya, tidak jarang seseorang merasa sesak nafas atau dada bagaikan tertekan karena adanya ketidakseimbangan ruhani.[12]
Banyak mufassirin yang menafsirkan tentang
makna asy-Syifa’ dengan penafsiran
bahwa
al-Quran adalah sebagai obat penyakit
apa
yang ada dalam
dada.
Akan
tetapi semakin maju
ilmu
pengetahuan
dan juga banyaknya penelitian, muncul banyak hal-hal yang menakjubkan dalam Al-
Quran, tidak hanya sebagai obat
ruhani semata, akan
tetapi juga
sebagai jasmani. Namun
dalam hal ini M. Quraish Shihab hanya menekankan bahwa al-Qur’an sebagai asy-syifa’
hanya untuk penyakit runahi saja atau mental.
M. Quraish Shihab beranggapan bahwa makna asy-Syifa’ sebagai pengobat penyakit ruhani atau mental hal ini dikarenakan ketika seseorang membaca al-Qur’an ada suatu spirit atau kekuatan berupa ketenangan dan ketegaran bagi yang membacanya, tentu ada beberapa kasus pengobatan dengan terapi al-Qur’an, kemudian ada seorang dokter yang sebelum mulai pengobatan menyuruh pasiennya membaca al-Qur’an. Hal inilah menunjukkan bahwa al-Qur’an sebagai asy-Sifa’ bisa memberikan spirit atau semangat bagi manusia untuk sembuh dari penyakitnya.
Kajian Pustaka
Konsep
Syifa’ dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin al-Razi, ini adalah
sebuah disertasi yang disusun oleh Dr. Aswadi, M. Ag. untuk menyelesaikan
pendidikan S-3nya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2007. Pada disertasi ini penulisnya hanya mengungkap konsep syifā’
pada kitab tafsirnya ar-Razi saja termasuk metode yang digunakan ar-Razi dalam
menafsirkan ayat Syifa’.
Konsep al-Qur’an sebagai Syifā’;
Telaah atas Persepsi Ibnu Qayyim al-Jauziyah Tentang Penyembuhan Gangguan
Kejiwaan Dengan al-Qur’an. Ini adalah skripsi yang disusun oleh Ahmad Fauzi
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 Theology Islam di Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsi ini, penulisnya memaparkan
persepsi Ibnu Qayyim tentang ayat-ayat syifā’ dalam al-Qur’an serta al-Qur’an
sebagai syifā’ dari aspek psikologi. Menurut Ibnu Qayyim al-Qur’an adalah
syifā’ dan itu mencakup keseluruhan al-Qur’an dan bukan salah satu ayat atau
salah satu surat al-Qur’an. Termasuk di dalamnya memuat konsep, prinsip dan
bentuk terapi penyembuhan menurut Ibnu Qayyim. Terapi yang ditawarka Ibnu
Qayyim adalah terapi psiko-religius yang merupakan salah satu pendekatan terapi
dalam penyembuhan kejiwaan berdasarkan paham keagamaan dan ajaran-ajarannya
yang dilakukan oleh pemuka agama. Terapi ini bertujuan untuk menguatkan daya
tahan mental. Ahmad Fauzi dalam menyusun skripsi ini mengkhususkan pemikiran
Ibnu Qayyim dan aspek psikologi yang ada di dalamnya
Umar Latif, Al-Qur’an Sebagai Sumber
Rahmat dan Obat Penawar (asy-Syifa’) Bagi Manusia, Jurnal Al-Bayan Tahun
2014. Sebagai wahyu yang dipandang
begitu bernilai, al-Qur’an dengan tingkat
sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa
dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial
masyarakat, dan konteks tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda (ayat-ayat) empiris, seperti manusia
terkadang siap menerima sesuatu yang memiliki kebenaran (tashdiq) atau terkadang siap menolak sebagai kepalsuan (takhdhib). Dua bentuk ini dapat dianggap
sebagai rahmat dan obat
penawar bagi manusia. Bahkan tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, yang oleh Allah merupakan ungkapan kongkret
bertujuan membimbing (ihtida’) manusia
ke jalan yang benar, dan bukan
sebagai laknat bagi hambanya.
A’dad
Siddudin.
Konsep Asy-Syifa’ dalam Al-Qur’an Berdasarkan
Tafsir
Ibnu Kasir
dan Mafatih Al-Ghaib, UIN Sunan Gung Jati Tahun 2014. Skripsi ini menyajikan penelitian tentang
konsep asy-Syifa’ menurut tafsir Ibnu Kasir dan Mafatih Al-Ghaib. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa
beberapa ayat al-Qur’an yang didalamnya membahasa tentang asy-Syifa’ dengan menggunakan sudut
pandang Ibnu Katsir dan Fakhruddin Al-Razi. Penelitian
ini ditujukan untuk
mengetahui konsep asy-Syifa’ dalam al-Qur’an,
mengetahui metode penafsiran
Ibnu Kasir dan Fakhruddin Al-Razi serta penafsiran terhadap ayat-ayat yang
terkait dengan asy-Syifa’.
Hasil dari analisis menunjukan bahwa Ibnu Kasir dan Al-Razi tidak banyak
bertentangan ketika menafsirkan asy-Syifa’
dalam Al-Qur’an. Keduanya mengutarakan bahwa
asy-Syifa’ memiliki tiga
makna,
yang pertama asy-Syifa’
dimaknai sebagai penyembuh bagi hati dan badan manusia, yang
kedua sebagai penyembuh badan manusia dan yang ketiga sebagai penyembuh hati
manusia saja. Kemudia ada dzat lain sebagai penyembuh badan manusia yaitu madu
yang masuk dalam kategori asy-Syifa’.
[1] M.
Hamdani Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru,
Yogyakarta, 2004, hlm. 1
[2] Arman
Yurisaldi Saleh, Berdzikir Untuk Kesehatan Saraf, Zaman, Jakarta, 2010, hlm. 17
[3] Moh.
Sholeh dan Imam Musbikin, Agama Sebagai Terapi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2005, hlm. 69
[4] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia 2012), hlm, 11
[5] Abdul
Mun’im Qindil, al-Qur’an Obat Paling Dahsyat; Mengungkap Secara Medis
Keajaiban Kesehatan & Pengobatan al-Qur’an, Hilal Pustaka, Pasuruan,
1429 H, hlm. 2
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta,Pustaka Al-Kautsar, 2006). Hlm.
56
[7] Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Aisaru Al
Tafasir Li Kalam AL ‘Aliyyi Al Kabir. Kairo: Dar Al Hadits, 2006, Juz 2,
hal. 249
[8] Muhammad Sayyid Thanthawi, Al Tafsir Al
Wasit. Kairo: Dar Al Sa’adah, 2007, Jilid 8, hal. 416.
[9] Imam
Badr ad-Din Muhammad bin `Abdullah az-Zarkasyi (745-794 H.), alBurhan fī
Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), Jilid. I, h. 275 dan 280. Dalam
hal ini ia merunjuk pada QS al-Isrā‟: 82.
[10] Muhammad
Nasib ar-Rifā`i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsīr,
(Jakarta : Gema insani 1999), Jus I, h. 49-50.
[11] M.Quraish
shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm, 532.
[12]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, (Jakarta: Lantera Hati, 2002),
hlm, 531
[13]
Qamaruddin Saleh (dkk), Asbabun Nuzul;latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-ayat al-Qur’an, Bandung, CV.
Diponegoro, cet Ke ix, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar