Sabtu, 31 Desember 2022

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA (Peran Islam dalam Dunia Internasional)

 Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si

                   


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Proses modernisasi merupakan proses alamiah sejalan dengan naluri manusia yang selalu berkembang dan berubah yang umumnya menuju ke arah kemajuan. Proses modernisasi yang sudah berlangsung sejak abad pencerahan ini ditandai dengan dominannya rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta industrialisasi. Meski terdapat variasi tentang definisi kemoderenan ini, paling tidak ada beberapa kriteria yang dikemukakan oleh para sarjana, yakni: tingkat pertumbuhan keberlanjutan (self-sustaining growth) dalam ekonomi, tingkat partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara, penyebaran norma-norma sekuler-rasional dalam kebudayaan, dan peningkatan mobilitas dalam masyarakat.[1] Modernisasi ini hampir mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk bidang politik, sehingga dalam pembangunan politik pun disebut modernisasi politik.

Modernisasi politik merupakan perubahan politik secara total, baik secara struktural maupun kultural, meski proses perubahan ini mengambil bentuk yang bervariasi, tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Perubahan politik ini berpengaruh kepada (atau dipengaruhi oleh) proses modernisasi, yakni sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, industrialisasi, mobilitas sosial yang cepat, restratifikasi; peningkatan materi dalam standar hidup, penyebaran melek huruf, pendidikan dan media; persatuan nasional, dan ekstensi keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam politik. Secara historis tahapan tentang perubahan ini dapat dibedakan antara tradisional, transisional dan modern, walaupun pentahapan seperti ini juga tidak terlepas dari kritik. Pada dasarnya perbedaan antara sistem tradisional dan modern dapat dikatakan, jika sistem politik tradisional itu terutama bersifat askriptif dan partikularistik, maka sistem modern terutama bersifat orientasi pada prestasi (achievement-oriented) dan universalistik.[2]

Dalam kenyataannya, modernisasi politik itu tidak selamanya menuju kepada kondisi yang positif, melainkan bisa juga menuju ke kondisi negatif, meski halini dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi sangat subyektif. Dalam konteks integrasi nasional, misalnya, modernisasi politik di negara-negara Eropa Timur pada awal 1990-an justru melahirkan perpecahan nasional yang berakibat terbagi-baginya sebuah negara menjadi beberapa negara. Di beberapa negara Muslim modernisasi politik melahirkan proses sekularisasi yang kuat seperti terjadi di Indonesia pada masa-masa awal Orde Baru, atau bahkan menjadikan sekularisme sebagai prinsip kehidupan bernegara, seperti terjadi di Turki yang dibangun oleh Kamal Attaturk. Namun kemudian kecenderungan ini terkoresksi dengan munculnya kebangkitan agama dan perlawanan (counter) yang kuat terhadap sekularisasi yanga bisa menghilangkan identitas suatu bangsa.

Dalam konteks Indonesia, modernisasi politik ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat dalam perdebatan-perdebatan pada rapat-rapat persiapan kemerdekaan. Namun hal ini mengalami pasang surut sejalan dengan kecenderungan politik pemerintah.Modernisasi politik secara demokratis baru terjadi pada era reformasi ini, terutama melalui amandemen UUD 1945 yang melahirkan pembatasan kekuasaan presiden, penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas, pembangunan sistem multi partai, jaminan kebebasan yang lebih besar untuk berekspresi dan sebagainya. Hanya saja, sebagian dari ekspresi kebebasan itu melahirkan sejumlah aspirasi dan sikap yang potensial dapat mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional, termasuk yang berkaitan dengan aspirasi dan ekspresi keagamaan.

Islam merupakan agama yang mengajarkan prinsip-prinsip moral dan keagamaan yang dianggap universal dan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan antara individu dan negara. Menurut pandangan Islam, negara harus didirikan dan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan wadah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya, tanpa terkecuali.

Di dalam Islam, negara tidak boleh mengatur atau mengontrol agama, karena agama merupakan urusan pribadi yang tidak boleh diintrusi oleh pihak lain. Namun demikian, negara harus memainkan peran dalam menegakkan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama, seperti memberikan pelindungan terhadap kebebasan beragama dan menjamin keadilan bagi seluruh warganya.

Pada dasarnya, Islam menekankan pentingnya kerjasama antara individu dan negara dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara individu dan negara, seperti kewajiban warga negara untuk taat kepada pemerintah yang sah dan memberikan bantuan kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya, serta hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dari pemerintah.

Secara keseluruhan, hubungan antara Islam dan negara dapat dilihat sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi, di mana Islam memberikan prinsip-prinsip moral dan keagamaan yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, sementara negara memainkan peran dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  HUBUNGAN ISLAM & NEGARA

Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara.Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.[3]

Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses dimana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[4]

Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya.

             Ideologi yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.

Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Ide materialisme ini dibangun oleh dua ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme.

Agama tidak mempunyai tempat didalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan. Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri.

Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)

B.  KEKUATAN POLITIK ISLAM DENGAN NEGARA (ORDE BARU)

Untuk memperoleh gambaran mengenai konfrontasi negara ORBA dengan kekuatan politik Islam pada dua dekade pertama periode ORBA berikut faktor-faktor penyebabnya, pada poin ini, dengan cara pemaparan historis, akan dibicarakan tiga kelompok fenomena. Pertama, Setting politik menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin dan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Dalam usaha menekan kekuatan politik PKI dan para simpatisannya, kekuatan politik Islam tampil sebagai partner utama ABRI. Peran umat Islam sebagai pelaku paling menentukan dalam grand coalition “Pengganyangan” PKI antara lain terlihat dari hampir keseluruhan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAP Gestapu, KAMI dan KAPI yang pucuk pimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh organisasi Islam. Partnership militer dengan kekuatan politik Islam terus berlanjut setelah pembubaran PKI, karena lagi-lagi militer amat membutuhkan kekuatan umat Islam untuk menekan Soekarno turun dari kekuasaannya. Militer tidak bisa berharap banyak untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam, apalagi PNI, untuk meng hadapi Soekarno.

    Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis umumnya cukup senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke meja prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru. Namun kekuatan-kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur kekuatan politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi akhirnya berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya pengaruh dan peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran Orde Baru, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam menentukan strategi selanjutnya.

            Bagi mereka, memasuki era ORBA merupakan momentum yang tepat untuk mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan politik Islam melalui pembangunan kembali partai-partai Islam, karena jasa kaum muslimin dalam melahirkan ORBA dan naiknya pamor politik Islam setelah lenyapnya PKI dari papan percaturan politik kepartaian tanah air. Namun, sementara kekuatan –kekuatan plitik Islam sangat bersemangat mengkonsolidasikan partai-partai Islam, kelompok koalisi ORBA justru memandang perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara ketat. Para anggota koalisi utama ORBA yang berkuasa, dalam menghadapi krisis politik dan ekonomi yang parah warisan ORLA, memutuskan untuk menerapkan strategi stabilitas politik yang ketat dengan “menghapuskan” politik kepartaian. Dengan demikian, teramat jelas antara strategi revitalitas partai Islam oleh para pemimpin Islam dengan strategi deparpolisasi negara ORBA berbanding terbalik. Kenyataan perbedaan logika strategi politik tersebut yang jatuh berimpit dengan latar belakang kultural para aktor koalisi inti ORBA di sekitar Jendral Soeharto yang didominasi oleh kalangan sekuler {abangan} dan primordial Kristen/Katolik secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat Islam dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi Orde Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga menjelang penghujung dekade 1980-an. Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau pertentangan antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum, konfrontasi dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara Orde Baru bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok:

{1} Petentangan politik partisan dan;

{2} Pertentangan terkait dengan isu-isu kebijakan publik.

Partisipasi politik yang kongkrit terdiri dari kesempatan memilih dan berkampanye selama pemilu. Disamping itu, partisipasi juga bisa berbentuk melakukan lobi, demonstrasi, mogok, protes, petisi, pawai, boikot dan bahkan kekerasan politik. Kegiatan ini bisa jadi dilakukan secara perorangan atau berkelompok sebagaimana dalam bentuk partai politik (poltical society), civil society seperti organisasi profesi dan organisasi massa, maupun kelompok-kelompok primordial, seperti etnis dan wilayah. Partisipasi politik menjadi salah satu indikator demokrasi, sehingga semakin banyak partisipasi pada umunya dianggap sebagai sesuatu yang baik; dan sebaliknya, semakin kurang partisipasi dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Dalam masyarakat yang plural dan multikultur, memenuhi semua aspirasi dan kepentingan bukanlah merupakan hal yang mudah. Ini berarti bahwa beberapa diantaranya mungkin tidak dapat dipenuhi dan hal ini dapat menyebabkan kondisi yang tidak memuaskan, yang kemudian dapat mengarah kepada protes atau bahkan konflik dan kekerasan antar anggota kelompok sosial atau politik. Hal ini dijadikan dalih oleh pemerintah Orde Baru untuk membatasi partisipasi rakyat ini oleh sebagian besar pemerintahan otoriter di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru berusaha menghilangkan konflik tersebut dengan meniadakan partai-partai oposisi dan menganggap oposisi ini sebagai tidak sesuai dengan Pancasila. Bahkan kriritk-kritik terhadap pemerintah yang diekspresikan oleh individu maupun organisasi juga sering dianggap sebagai opisisi, dan oleh karenanya harus ditekan.

Jatuhnya pemerintah Orde Baru dan munculnya era reformasi, yang mendukung demokrasi secara substantif, memberikan kebebasan warga untuk berekspresi dan berasosiasi sebagai bagian dari partisipasi politik, termasuk kritik dan oposisi terhadap pemerintah. Jika pada masa Orde Baru, oposisi itu dianggap sebagai bertentangan dengan ideologi negara, maka pada era reformasi opisisi ini justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam sebuah demokrasi, karena pemerintah harus selalu dikontrol agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan dan penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja, oposisi yang dimaksud bukanlah oposisionalisme melainkan opisisi loyal. Oposisionalisme, yang lazimnya bersifat destruktif, menggunakan prinsip bahwa setiap persoalan yang berasal dari pemerintah pasti dianggap salah dan oleh karenanya harus ditolak. Sebaliknya, oposisi loyal dan konstruktif menggunakan prinsip, bahwa jika kebijakan pemerintah yang diputuskan itu sejalan dengan aspirasi politiknya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, ia harus dianggap benar.[5]

Di masa Orde Baru, kekuatan politik Islam di Indonesia cukup besar dan tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Partai-partai politik yang bernuansa Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), merupakan salah satu kekuatan politik yang cukup dominan di masa itu. Selain itu, ada juga organisasi-organisasi Islam yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Di masa Orde Baru, pemerintah juga memperlakukan Islam sebagai agama resmi negara dan mempromosikan budaya keislaman di masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, seperti pengembangan pendidikan Islam dan pembentukan lembaga-lembaga keagamaan yang dibiayai oleh pemerintah.

Namun demikian, kekuatan politik Islam di masa Orde Baru juga terkait dengan perdebatan tentang bagaimana agama Islam harus diinterpretasikan dan diterapkan dalam kehidupan politik. Beberapa kelompok Islam lebih condong ke arah paham sosialisme dan keadilan sosial, sementara kelompok lain lebih memperjuangkan prinsip-prinsip konservatif dan tradisional.

Secara keseluruhan, kekuatan politik Islam di masa Orde Baru tergantung pada bagaimana agama Islam diinterpretasikan dan diterapkan dalam kehidupan politik, serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait dengan pengembangan agama Islam di IndonesiaTop of Form

C.  PERUBAHAN POSISI, EKSPRESI KEKUATAN POLITIK ISLAM

Menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan kepresidenan terdapat perubahan yang cukup fundamental menyangkut posisi dan ekspresi kekuatan-kekuatan politik Islam di tanah air. Dua perubahan penting itu antara lain:

1.      Mainstream para pemimpin kekuatan Islam yang memasuki dekade 1990-an menerapkan strategi akomodasi dengan pemerintah “menolak” melanjutkan politik akomodasi dengan presiden Soeharto. Menjelang kejatuhan Soeharto, nampak sekali para pemimpin Islam dari “sayap modernis” menerapkan kembali “strategi oposisi” terhadap pemerintah;

2.      Seiring dengan berhembusnya angin kencang reformsi untuk menggulingkan Soeharto, kekuatan-kekuatan Islam terlihat berusaha merevitalisasi perjuangan Islam melalui gelanggang poltik partisan.

Menarik disimak bahwa menjelang lengsernya Soeharto dari puncak piramida politik Indonesia pada Mei 1998, dia sesunggguhnya berusaha mempertahankan gripnya terhadap kekuatan Islam melalui politik akomodasinya. Beberapa indikasi kuat political will Soeharto untuk merangkul kekuatan Islam itu antara lain:

1.      Pertama, masih banyaknya pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksi-fraksi yang mewakili kelompok koalisi pemerintah di DPR/MPR-RI dalam Sidang Umum 1998.

2.      Kedua, kelompok koalisi pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998 melakukan terobosan akomodasi baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut status aliran kepercayaan dalam GBHN.

3.      Ketiga, terepresentasikan elite muslim ke dalam struktur kabinet pembangunan VII.

Kendati Soeharto waktu itu masih terlihat berupaya menjalankan poltik akomodasi dengan kekuatan Islam, dari kalangan kekuatan Islam sebagean besar nampaknya menolak melanjutkan proyek politik “simbolis mutualisme “dengan rezim Orde Baru. Gejala awal mengayunnya bandul poltik konfrontasi elite Islam pada tahun 1995 ketika Dr.Sri Bintang Pamungkas, salah satu pendiri ICMI, melakukan serangkaian kritikan keras terhadap pemerintah yang berujung pada penangkapan dirinya oleh pihak keamanan karena dituduh mempermalukan presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraannya ke Dresden, Jerman. Beberapa bulan kemudian Dr. M. Amien Rais semakin lantang menyerukan suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Dalam berbagai kesempatan, intelektual muslim dari Yogya itu semakin tajam menyorot korupsi, kolusi,dan nepotisme dalam pemerintahan Orde Baru.Rangkaian kritikan Amien Rais tersebut kabarnya membuat berang Soeharto yang menemukan bentuknya lebih jelas pada kritikan intelektual itu terhdap skandal tambang emas busang awal tahun 1997. Presiden Soeharto selaku dewan pembina ICMI waktu itu melalui BJ. Habibie menekannya untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI pada Maret 1997. Reaksi dari Soeharto semacam itu tidak melunakkan sikap para pemimpin muslim dalam menyerang pemerintahan Soeharto.

Dalam perjalanan selanjutnya malahan Amien Rais nyaris menjadi simbol determinasi dalam gerakan “penggusuran” Soeharto dari panggung kekuasaaan pada Mei 1998. Munculnya radikalisasi beberapa tokoh kunci elite Islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya wktu itu merupakan persoalan yang layak untuk dikaji. Karena rezim ORBA itu hingga hari-hari terakhir turunnya dari papan atas percaturan politik Indonesia terlihat semakin memperjelas identifikasi kedekatannya dengan kekuatan Islam melalui komite reformasi yang hendak dibentuknya. Dalam proses perencanaan pembentukan komite reformasi dan kabinet reformasi Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998 mengundang para tokoh-tokoh masyarakat terkemuka.

Menariknya, para pemimpim-pemimpin masyarakat yang diajak berembuk Soeharto itu seluruhnya berasal dari kekuatan-kekuatan besar sayap Islam, dari kelompok radikal hingga yang moderat. Unsur-unsur penting faksi muslim tersebut antara lain, dari unsur NU KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma’aruf Amin, Ahmad Bagja, KH. Ali Yafie. Dari kalangan Masyumi terdapat Anwar Haryono, Yusril Ihza Mahendra. Dari kalangan Muhammadiyah terdapat nama Malik Fajar, Sutrino Muhdam serta dari tokoh muslim populer lain adalah Emha Ainun Nadjib dan Nurcholis Madjid serta beberapa nama lainnya. Dalam team yang diundang Soeharto itu yang kemudian di media massa disebut team “sembilan wali” tak ada satupun dari elemen kekuatan non-islam. Dari sini sebenarnya terlihat sekali Soeharto ingin mempertegas kedekatannya dengan kalangan Islam. Dengan predisposisi politik Soeharto seperti itu lantas mengapa beberapa tokoh sentral Islam tetap mengambil sikap konfrontasi dengan pemerintahan Soeharto? Ada beberapa penjelasan untuk menjawab teka-teki itu:

Pertama, adanya sumber ketegangan menyangkut visi masa depan pemerintah Soeharto dengan para pemimpin Islam menyangkut persoalan pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir tidak lagi masalah perselisihan pure agama.

Kedua, Soeharto dianggap telah melakukan politicking terhadap kelompok ICMI dalam proses rekruitmen di parlemen dan penyusunan kabinet setelah SU MPR Maret 1998. Tak disangkal lagi bahwa ketidakpuasan masalah disribusi politik itu menjadi salah satu pendorong sikap konfrontatif elite islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya. Demikianlah hubungan Islam dan negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA yang akhirnya dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.

 

D.  ISLAM DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Sejarah hubungan internasional berdasarkan negara berdaulat dapat ditelusuri hingga Perdamaian Westfalen tahun 1648, sebuah batu loncatan dalam perkembangan sistem negara modern. Sebelumnya, organisasi otoritas politik Eropa abad pertengahan masih didasarkan padaordo keagamaan hierarkis yang tidak jelas. Berlawanan dengan kepercayaan masyarakat, Westfalen masih menerapkan sistem kedaulatan berlapis, khususnya di dalam Kekaisaran Romawi Suci. Selain Perdamaian Westfalen, Traktat Utrecht tahun 1713 dianggap mencerminkan suatu norma baru bahwa negara berdaulat tidak punya kesamaan internal di dalam wilayah tetapnya dan tidak ada penguasa luar yang dapat menjadi penguasa mutlak di dalam perbatasan sebuah wilayah berdaulat.

Sejarah Hubungan Internasional dalam Islam bisa dilihat pada saat pemerintahan Islam yang pertama yang berpusat di Madinah tersebut, pemerintahan Islam telah memulai hubungan internasionalnya dengan mengirimkan para diplomat untuk menyampaikan dakwah Islam kepada para penguasa di belahan yang lain di dunia.

Beberapa di antaranya kepada Najasy di Habasyah (Ethiopia),Hiroklius penguasa Romawi (Roa), Kisra penguasa Persia (Iran), Muqauqis di Yaman, dan lain-lain. Dakwah terus berkembang dan mencapai ke negeri-negeri yang sangat jauh. Selain mendapatkan kemenangan dalam merekrut manusia ke dalam Islam, tetapi juga Islam semakin tersebar ke seluruh dunia. Persia, Mesir, Yerussalem, Romawi dan sebagainya jatuh ke pangkuan Islam.

Dalam kondisi itulah interaksi antar manusia, kelompok dan negara tidak dapat dihindari, dan tuntutan kepada aturan yang jelas bagi aktivitas mereka menjadi suatu keharusan dalam bentuk kesepakatan, perjanjian dan aturan yang selanjutnya menjadi hukum internasional. Yaitu merupakan suatu tata hukum dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antara negara dan dalam rangka itu mengatur pula hubungan di antaranya. (Hamodurrahman 1976: 90-92)Sejarah telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW, sejak tahun ke 3 hijriah telah mengirimkan beberapa utusan (envoys) ke negara-negara lain.

Demikian juga pada tahun ke 9 hijriah Nabi Muhammad SAW. telah menerima duta dan utusan-utusan dari negara-negara lain, sehingga tahun ini terkenal dengan sebutan tahun duta-duta. Delegasi yang diterima Rasulullah SAW. pada tahun ke 9 hijrah (April630-Maret 631) adalah dari Thaif, Kristen Najran, Bani Sa’ad, BaniThayyi, Bani Tamim, Bani Hanifa, Raja-Raja Himyar, dan dari Kind.(Afza Iqbal 2000 : 49-74) Pada waktu itu Heraklius dan Kisra masing-masing sebagai kepala kerajaan Romawi dan Persia, dua buah kerajaan yang terkuat dizamannya merupakan dua orang yang telah menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya.

Acharya dan Buzan sebagaimana dikutip oleh Muhammad Qobidl ’Ainul Arif, (Turkish Jornal of International Relation 2006 : V.5No.4) mengatakan Islam memahami manusia dan memiliki tanggapan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan, dapat bertindak sebagai teori, hampir sama seperti yang berada pada filsafat politik barat mengenai tindakan manusia. Dalam buku ini mereka memberikan tiga sumber yang berbeda dalam dunia Islam dan bagaimana seharusnya Islam berinteraksi dengan orang lain, yaitu :

1.      Landasan dalam pemahaman teori hubungan internasional bersumber pada Al Qur’an, Hadist, sunnah atau Ijtihad

2.      Adanya pemberontakan terhadap ortodoksi yang berlaku dan dipimpin oleh para pemimpin nasional

3.      Adanya rekonsiliasi sebagai sebuah gerakan Islamisasi untuk sebuah rekonseptualisasi ilmu sosial, dan ektensi teori hubungan internasional.

Beberapa pertimbangan dari teori hubungan internasional dalam Islam, pertama harus diklarifikasikan pendekatan yudisial dengan Al-Qur’an. Kedua dalam hal Dar al Islam dan Dar al Harb sebenarnya tidak dinyatakan secara jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah, tetapi diciptakan oleh para sarjana muslim. Ketiga, dualisme (dakwah dan jihad) seharusnya menjadi konsep sentral dari teori hubungan internasional dalam Islam, tujuan akhir Islam menurut pandangan ini yaitu membentuk umat dimana aturan syariah dapat diterapkan. Keempat, hukum Islam menjadi sebuah yang realis berdasarkan kekuasaan dan perang dimana adanya interpretasi dari ayat-ayat dalam AlQur’an. Kekerasaan hanya boleh dilakukan untuk membela diri, melindungi properti dan membela iman mereka.

Secara umum hukum internasional menurut Islam mencakupseluruh aspek baik dalam kondisi perang maupun damai. Pelaksanaannyadapat di implementasikan dalam tiga wilayah yaitu: pertama, Darul Islam(Negara Islam yaitu negara yang menerapkan syari’at Islam) . Kedua, Darul Harbi (Negara Kafir yaitu yang memerangi Negara Islam). Ketiga,Darul ‘Ahdi (Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan NegaraIslam).

Adapun prinsip-prinsip dasar hukum internasional dalam Islam adalah 1). Saling menghormati pakta-pakta dan traktat-traktat (QS.8:58, 9:4&7, 16:91, 17:34). 2). Kehormatan dan Integrasi Internasional (QS.16:92) 3). Keadilan internasional (QS.5:8). 4). Menjaga perdamaian (QS. 8:61) 5). Menghormati kenetralan negara-negara lain (Non Combatants) (QS. 4:89,90). 6). Larangan terhadap eksploitasi imperialis (QS. 16:92, 28:83). 7). Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam di negara lain (QS. 8:72) 8). Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral (QS. 60:8,9). 9). Kehormatan dalam hubungan internasional (QS. 55:60). 10). Persamaan keadilan untuk para penyerang (QS. 2:194, 16:126, 42:40-42). Selain itu Islam menegaskan bahwa hak asasi manusia baik yang muslim maupun non muslim, laki-laki maupun perempuan dilindungi undang-undang. 1). Hak hidup (QS. Al-Isra:33, Al-An’am:151). 2). Hak Milik (QS. Al-Baqarah:188, AnNisa:29). 3). Perlindungan kehormatan (QS. Al-Hujurat:11-12). 4). Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (QS. An-Nur:27, AlHujurat:12). 5). Keamanan Kemerdekaan pribadi (QS. Al-Hujurat: 6) 6). Perlindungan dari hukuman penjara yang sewenang-wenang (QS. Al-An’am: 164). 7). Hak untuk memprotes kelaliman (tirani) (QS. AnNisa:148, Al-Maidah: 78-79, Ali Imran:110). 8). Kebebasan ekspresi (QS. At-Taubah:71). 9). Kebebasan hati nurani (QS. Al-Baqarah: 256). 10). Status warga Negara non Muslim dalam negara Islam dilindungi (Hadits Riwayat Abu Dawud). 11). Kebebasan berserikat (QS. Ali Imran:104-105). 12) Kebebasan berpindah (QS. Al-Baqarah:84-85). 13). Persamaan hak dalam hukum (QS. An-Nisa:1, Al-Hujurat:13). 14). Hak mendapatkan keadilan (QS. Asy-Syura:15). 15). Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia (QS. Adz-Dzariyat:19). 16). Hak mendapatkan pendidikan (QS. Yunus:101). (Syekh Syaukat Hussain 1996 : 59-95)

Pelaksanaannya diimplementasikan dalam hubungan internasional Islam yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip yaitu: pertama, hubungan internasional dilandasi dengan prinsip untuk memelihara ketertiban dan perdamaian di dunia. Prinsip perdamaian memiliki doktrin sebagai berikut: 1). Umat manusia dan bangsa-bangsa di dunia berasal dari satu orang, yaitu Nabi Adam as. 2). Al-Qur’an telah menggariskan suatu ketentuan asasi agar manusia senantiasa menghormati perjanjian termasuk perjanjian perdamaian. 3). Perang hanya diizinkan dalam keadaan-keadaan khusus, yakni apabila keamanan dan pertahanan negara terancam oleh pihak musuh. 4). Islam tidak membenarkan dan melarang paksaan dan kekerasan. 5). Islam mengajarkan agar perdamaian itu dimulai dari hubungan perorangan.

Kedua, Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar supaya memenuhi persetujuan-persetujuan dan perjanjian internasional. Ketiga, sejak zaman Nabi Muhammad SAW. hubungan internasional dilaksanakan dengan cara pertukaran duta atau utusan (envoys). (H.M. Daud Ali 1989 : 87-92)

Dasar hukum hubungan luar negeri dalam Islam adalah berlandaskan ketentuan Syarī`ah. Sumber hukum otentik dalam Syarī`ah itu sendiri adalah al-Qur’ān dan tradisi Nabi (Sunnah). Turunan dari Syarī`ah tersebut adalah hukum Islam atau biasa disebut sebagai Fiqh yang meliputi permasalahan-permasalahan yang banyak ditemukan dalam kehidupan keseharian manusia.

Islam merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan internasional. Dalam pandangan Islam, hubungan internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kerjasama yang saling menguntungkan bagi seluruh negara.

Di dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional, seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip keadilan (justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan adil dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang menekankan pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara negara-negara.

Islam juga mengajarkan pentingnya kerjasama antarnegara dalam mengatasi masalah-masalah global, seperti perubahan iklim, kelaparan, dan kemiskinan. Dalam hal ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam mencari solusi atas masalah-masalah tersebut dan berpartisipasi dalam kerjasama internasional yang saling menguntungkan.

Secara keseluruhan, Islam memberikan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan dalam menjalankan hubungan internasional yang sejahtera dan adil bagi seluruh negara.

Islam merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan internasional. Dalam pandangan Islam, hubungan internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kerjasama yang saling menguntungkan bagi seluruh negara.

Di dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional, seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip keadilan (justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan adil dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang menekankan pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara negara-negara.

Islam juga mengajarkan pentingnya kerjasama antarnegara dalam mengatasi masalah-masalah global, seperti perubahan iklim, kelaparan, dan kemiskinan. Dalam hal ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam mencari solusi atas masalah-masalah tersebut dan berpartisipasi dalam kerjasama internasional yang saling menguntungkan.

Secara keseluruhan, Islam memberikan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan dalam menjalankan hubungan internasional yang sejahtera dan adil bagi seluruh negara.

Islam merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia internasional. Di dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional, seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip keadilan (justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan adil dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang menekankan pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara negara-negara.

Oleh karena itu, di dunia internasional, Islam dapat memainkan peran dalam menjaga keamanan dan stabilitas global, serta mempromosikan prinsip-prinsip keadilan dan toleransi di antara negara-negara. Selain itu, Islam juga dapat memainkan peran dalam mengatasi masalah-masalah global, seperti perubahan iklim, kelaparan, dan kemiskinan, melalui kerjasama internasional yang saling menguntungkan.

Selain itu, Islam juga dapat memainkan peran dalam menjadi penghubung antarnegara dan memfasilitasi dialog antarnegara, terutama di kawasan-kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Melalui dialog tersebut, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dapat saling bertukar pikiran dan mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi bersama.

Secara keseluruhan, Islam memiliki peran yang cukup signifikan di dunia internasional dalam menjaga keamanan, stabilitas, dan keadilan global, serta memfasilitasi dialog dan kerjasama internasional yang saling menguntungkan.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.                Kesimpulan

Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.

Islam yang komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan, termasuk pula memberikan prinsip-prinsip pokok bagi hubungan internasional, dan juga memberikan contoh-contoh konkrit bagaimana prinsip tersebut dilaksanakan, sejak permulaan sejarah Islam. Hanya saja terdapat beberapa prinsip hubungan internasional yang dilandasi dengan prinsip hukum internasional yang didasarkan pada aspek kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, perlindungan atas diri dan properti.


 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan BintangJakarta. 1989.

Ali Mansur, Assyari’atul Islamiyyatu wal qanunut Dalliyu al’am. 1965 dalam L. Amin Widodo. Fiqih Siasah Dalam Hubungan Internasional. Tiara Wacana-Yogya. 1994.

David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 9, New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1969

The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, New York: Macmillan Publishing Company

Gergely Rosta,“Secularization or Desecularization in the Work of Peter Berger, and the ChangingReligiosity of Europe”, dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.

Ismail Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.), Menegakkan Demokrasi, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia

Memikirkan kembali teori hubungan internasional dalam Islam: Menuju Pendekatan yang Lebih Memadai- disadur dari Turkish Journal of Internasional Relation, vol. 5, no. 4, Winter 2006

Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1993.

Syekh Syaukat Hussain. Human Right in Islam (terjemahan). Gema Insani Press-Jakarta. 1996.

T.M. Hasbi Ash-Shidieqy. Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam.. Bulan Bintang-Jakarta. 1391 H/1971 M.



[2] David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 9, (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1969), hlm 395

[3] The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, (New York: Macmillan Publishing Company), hlm. 159.

[4]  Gergely Rosta,“Secularization or Desecularization in the Work of Peter Berger, and the ChangingReligiosity of Europe”, dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.

[5] Ismail Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.), Menegakkan Demokrasi, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia), h. 52.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar