Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Proses
modernisasi merupakan proses alamiah sejalan dengan naluri manusia yang selalu
berkembang dan berubah yang umumnya menuju ke arah kemajuan. Proses modernisasi
yang sudah berlangsung sejak abad pencerahan ini ditandai dengan dominannya
rasionalisme dan ilmu pengetahuan serta industrialisasi. Meski terdapat variasi
tentang definisi kemoderenan ini, paling tidak ada beberapa kriteria yang
dikemukakan oleh para sarjana, yakni: tingkat pertumbuhan keberlanjutan
(self-sustaining growth) dalam ekonomi, tingkat partisipasi rakyat dalam
penyelenggaraan negara, penyebaran norma-norma sekuler-rasional dalam
kebudayaan, dan peningkatan mobilitas dalam masyarakat.[1]
Modernisasi ini hampir mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, termasuk bidang politik, sehingga dalam pembangunan politik pun
disebut modernisasi politik.
Modernisasi
politik merupakan perubahan politik secara total, baik secara struktural maupun
kultural, meski proses perubahan ini mengambil bentuk yang bervariasi, tidak
sama antara satu negara dengan negara lainnya. Perubahan politik ini
berpengaruh kepada (atau dipengaruhi oleh) proses modernisasi, yakni
sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, industrialisasi, mobilitas sosial
yang cepat, restratifikasi; peningkatan materi dalam standar hidup, penyebaran
melek huruf, pendidikan dan media; persatuan nasional, dan ekstensi
keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam politik. Secara historis tahapan
tentang perubahan ini dapat dibedakan antara tradisional, transisional dan
modern, walaupun pentahapan seperti ini juga tidak terlepas dari kritik. Pada
dasarnya perbedaan antara sistem tradisional dan modern dapat dikatakan, jika
sistem politik tradisional itu terutama bersifat askriptif dan partikularistik,
maka sistem modern terutama bersifat orientasi pada prestasi
(achievement-oriented) dan universalistik.[2]
Dalam
kenyataannya, modernisasi politik itu tidak selamanya menuju kepada kondisi
yang positif, melainkan bisa juga menuju ke kondisi negatif, meski halini dalam
kasus-kasus tertentu bisa jadi sangat subyektif. Dalam konteks integrasi
nasional, misalnya, modernisasi politik di negara-negara Eropa Timur pada awal
1990-an justru melahirkan perpecahan nasional yang berakibat terbagi-baginya
sebuah negara menjadi beberapa negara. Di beberapa negara Muslim modernisasi
politik melahirkan proses sekularisasi yang kuat seperti terjadi di Indonesia
pada masa-masa awal Orde Baru, atau bahkan menjadikan sekularisme sebagai
prinsip kehidupan bernegara, seperti terjadi di Turki yang dibangun oleh Kamal
Attaturk. Namun kemudian kecenderungan ini terkoresksi dengan munculnya
kebangkitan agama dan perlawanan (counter) yang kuat terhadap sekularisasi
yanga bisa menghilangkan identitas suatu bangsa.
Dalam
konteks Indonesia, modernisasi politik ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak
awal kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat dalam perdebatan-perdebatan pada
rapat-rapat persiapan kemerdekaan. Namun hal ini mengalami pasang surut sejalan
dengan kecenderungan politik pemerintah.Modernisasi politik secara demokratis
baru terjadi pada era reformasi ini, terutama melalui amandemen UUD 1945 yang
melahirkan pembatasan kekuasaan presiden, penyelenggaraan pemilihan umum yang
bebas, pembangunan sistem multi partai, jaminan kebebasan yang lebih besar
untuk berekspresi dan sebagainya. Hanya saja, sebagian dari ekspresi kebebasan
itu melahirkan sejumlah aspirasi dan sikap yang potensial dapat mengancam
harmoni sosial dan integrasi nasional, termasuk yang berkaitan dengan aspirasi
dan ekspresi keagamaan.
Islam merupakan agama yang mengajarkan prinsip-prinsip
moral dan keagamaan yang dianggap universal dan dapat diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan antara individu dan negara. Menurut
pandangan Islam, negara harus didirikan dan dijalankan sesuai dengan
prinsip-prinsip agama dan merupakan wadah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh warganya, tanpa terkecuali.
Di dalam Islam, negara tidak boleh mengatur atau
mengontrol agama, karena agama merupakan urusan pribadi yang tidak boleh
diintrusi oleh pihak lain. Namun demikian, negara harus memainkan peran dalam
menegakkan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama, seperti memberikan
pelindungan terhadap kebebasan beragama dan menjamin keadilan bagi seluruh
warganya.
Pada dasarnya, Islam menekankan pentingnya kerjasama
antara individu dan negara dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera. Oleh
karena itu, di dalam Islam terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan
antara individu dan negara, seperti kewajiban warga negara untuk taat kepada
pemerintah yang sah dan memberikan bantuan kepada pemerintah dalam menjalankan
tugas-tugasnya, serta hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dan
keadilan dari pemerintah.
Secara keseluruhan, hubungan antara Islam dan negara
dapat dilihat sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi, di mana Islam
memberikan prinsip-prinsip moral dan keagamaan yang dapat diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat, sementara negara memainkan peran dalam mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh warganya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. HUBUNGAN ISLAM & NEGARA
Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa
kini, hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional
(persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara
agama dan negara.Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat
dianggap sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan
negara. Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi,
dimana para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme
dan lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip
non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi
sosial.[3]
Pemisahan agama dan negara tersebut
memerlukan proses yang disebut sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi,
termasuk pengertian yang sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger
berarti “sebuah proses dimana sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan
budaya dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[4]
Hubungan negara dan agama dilihat secara
ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan
pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang
kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan,
serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia,
dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan
sesudahnya.
Ideologi
yang ada di dunia ada tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme
(Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang
kehidupan pun ada tiga macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme
dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar
yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk
di antaranya hubungan agama-negara.
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang
menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan,
tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Ide materialisme ini dibangun
oleh dua ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi
Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme.
Agama tidak mempunyai tempat didalam
Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang
jelas-jelas diingkari oleh ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan
sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara
mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan
dienyahkan. Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan
(fashluddin ‘anil hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama
secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan.
Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama
tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan
tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu
sendiri.
Agama hanya berlaku dalam hubungan secara
individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam
interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional
dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan
moral individu-individu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah,
para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar
(taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir
berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah
Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap
hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa
pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme)
adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus)
terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa
yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
B. KEKUATAN POLITIK ISLAM DENGAN NEGARA (ORDE BARU)
Untuk
memperoleh gambaran mengenai konfrontasi negara ORBA dengan kekuatan politik
Islam pada dua dekade pertama periode ORBA berikut faktor-faktor penyebabnya,
pada poin ini, dengan cara pemaparan historis, akan dibicarakan tiga kelompok
fenomena. Pertama, Setting politik menjelang berakhirnya demokrasi terpimpin
dan masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Dalam usaha menekan kekuatan
politik PKI dan para simpatisannya, kekuatan politik Islam tampil sebagai
partner utama ABRI. Peran umat Islam sebagai pelaku paling menentukan dalam
grand coalition “Pengganyangan” PKI antara lain terlihat dari hampir
keseluruhan kesatuan-kesatuan aksi seperti KAP Gestapu, KAMI dan KAPI yang
pucuk pimpinannya dipegang oleh tokoh-tokoh organisasi Islam. Partnership
militer dengan kekuatan politik Islam terus berlanjut setelah pembubaran PKI,
karena lagi-lagi militer amat membutuhkan kekuatan umat Islam untuk menekan
Soekarno turun dari kekuasaannya. Militer tidak bisa berharap banyak untuk
bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan politik non-Islam, apalagi PNI, untuk
meng hadapi Soekarno.
Kekuatan-kekuatan politik non-Islam yang anti komunis
umumnya cukup senang melihat PKI lumpuh dan siap mengajak presiden Soekarno ke
meja prundingan untuk melakukan kerangka perimbangan kekuasaan politik baru.
Namun kekuatan-kekuatan anti Soekarno yang dimotori militer dan unsur-unsur
kekuatan politik Islam di partai-partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi
akhirnya berhasil memaksa Soekarno turun dari kursi kekuasaannya. Besarnya
pengaruh dan peranan umat Islam dalam “Pengganyangan “ PKI dan meruntuhkan Orde
Lama bersama militer, yang berarti memiliki andil besar dalam proses kelahiran
Orde Baru, telah mempengaruhi persepsi para pemimpin politik Islam dalam
menentukan strategi selanjutnya.
Bagi
mereka, memasuki era ORBA merupakan momentum yang tepat untuk mengkonsolidasikan
kekuatan-kekuatan politik Islam melalui pembangunan kembali partai-partai
Islam, karena jasa kaum muslimin dalam melahirkan ORBA dan naiknya pamor
politik Islam setelah lenyapnya PKI dari papan percaturan politik kepartaian
tanah air. Namun, sementara kekuatan –kekuatan plitik Islam sangat bersemangat
mengkonsolidasikan partai-partai Islam, kelompok koalisi ORBA justru memandang
perlunya pembatasan ruang gerak partai politik secara ketat. Para anggota
koalisi utama ORBA yang berkuasa, dalam menghadapi krisis politik dan ekonomi
yang parah warisan ORLA, memutuskan untuk menerapkan strategi stabilitas
politik yang ketat dengan “menghapuskan” politik kepartaian. Dengan demikian,
teramat jelas antara strategi revitalitas partai Islam oleh para pemimpin Islam
dengan strategi deparpolisasi negara ORBA berbanding terbalik. Kenyataan
perbedaan logika strategi politik tersebut yang jatuh berimpit dengan latar
belakang kultural para aktor koalisi inti ORBA di sekitar Jendral Soeharto yang
didominasi oleh kalangan sekuler {abangan} dan primordial Kristen/Katolik
secara potensial memiliki benih-benih permusuhan dengan kelompok Islam. Atas
dasar itu, tak mengherankan bila partnership yang terbina antara umat Islam
dengan militer yang merupakan pilar utama rezim ORBA pada masa transisi Orde
Lama mulai berubah menjadi penuh pertentangan dan kecurigaan hingga menjelang
penghujung dekade 1980-an. Kedua, kasus-kasus konfrontasi atau pertentangan
antara kekuatan politik Islam dan negara Orde Baru. Secara umum, konfrontasi
dan pertentangan antara kekuatan pollitik Islam dan negara Orde Baru bisa
dikategorikan ke dalam dua kelompok:
{1} Petentangan politik partisan dan;
{2} Pertentangan terkait dengan isu-isu kebijakan publik.
Partisipasi politik yang kongkrit terdiri dari kesempatan memilih dan
berkampanye selama pemilu. Disamping itu, partisipasi juga bisa berbentuk
melakukan lobi, demonstrasi, mogok, protes, petisi, pawai, boikot dan bahkan
kekerasan politik. Kegiatan ini bisa jadi dilakukan secara perorangan atau
berkelompok sebagaimana dalam bentuk partai politik (poltical society), civil
society seperti organisasi profesi dan organisasi massa, maupun
kelompok-kelompok primordial, seperti etnis dan wilayah. Partisipasi politik
menjadi salah satu indikator demokrasi, sehingga semakin banyak partisipasi
pada umunya dianggap sebagai sesuatu yang baik; dan sebaliknya, semakin kurang
partisipasi dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Dalam masyarakat yang plural
dan multikultur, memenuhi semua aspirasi dan kepentingan bukanlah merupakan hal
yang mudah. Ini berarti bahwa beberapa diantaranya mungkin tidak dapat dipenuhi
dan hal ini dapat menyebabkan kondisi yang tidak memuaskan, yang kemudian dapat
mengarah kepada protes atau bahkan konflik dan kekerasan antar anggota kelompok
sosial atau politik. Hal ini dijadikan dalih oleh pemerintah Orde Baru untuk
membatasi partisipasi rakyat ini oleh sebagian besar pemerintahan otoriter di
negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia pada masa Orde Baru. Pemerintah
Orde Baru berusaha menghilangkan konflik tersebut dengan meniadakan
partai-partai oposisi dan menganggap oposisi ini sebagai tidak sesuai dengan
Pancasila. Bahkan kriritk-kritik terhadap pemerintah yang diekspresikan oleh
individu maupun organisasi juga sering dianggap sebagai opisisi, dan oleh
karenanya harus ditekan.
Jatuhnya pemerintah Orde Baru dan munculnya era reformasi, yang mendukung
demokrasi secara substantif, memberikan kebebasan warga untuk berekspresi dan
berasosiasi sebagai bagian dari partisipasi politik, termasuk kritik dan
oposisi terhadap pemerintah. Jika pada masa Orde Baru, oposisi itu dianggap
sebagai bertentangan dengan ideologi negara, maka pada era reformasi opisisi
ini justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam sebuah demokrasi, karena
pemerintah harus selalu dikontrol agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan dan
penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja, oposisi yang dimaksud bukanlah
oposisionalisme melainkan opisisi loyal. Oposisionalisme, yang lazimnya
bersifat destruktif, menggunakan prinsip bahwa setiap persoalan yang berasal
dari pemerintah pasti dianggap salah dan oleh karenanya harus ditolak.
Sebaliknya, oposisi loyal dan konstruktif menggunakan prinsip, bahwa jika
kebijakan pemerintah yang diputuskan itu sejalan dengan aspirasi politiknya
untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, ia harus dianggap benar.[5]
Di masa Orde Baru, kekuatan politik Islam di Indonesia
cukup besar dan tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Partai-partai politik
yang bernuansa Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), merupakan salah satu kekuatan politik yang cukup
dominan di masa itu. Selain itu, ada juga organisasi-organisasi Islam yang
memiliki pengaruh besar di masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah.
Di masa Orde Baru, pemerintah juga memperlakukan Islam
sebagai agama resmi negara dan mempromosikan budaya keislaman di masyarakat.
Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah, seperti
pengembangan pendidikan Islam dan pembentukan lembaga-lembaga keagamaan yang
dibiayai oleh pemerintah.
Namun demikian, kekuatan politik Islam di masa Orde
Baru juga terkait dengan perdebatan tentang bagaimana agama Islam harus
diinterpretasikan dan diterapkan dalam kehidupan politik. Beberapa kelompok
Islam lebih condong ke arah paham sosialisme dan keadilan sosial, sementara
kelompok lain lebih memperjuangkan prinsip-prinsip konservatif dan tradisional.
Secara keseluruhan, kekuatan politik Islam di masa
Orde Baru tergantung pada bagaimana agama Islam diinterpretasikan dan
diterapkan dalam kehidupan politik, serta kebijakan yang diambil oleh
pemerintah terkait dengan pengembangan agama Islam di Indonesia
C. PERUBAHAN POSISI, EKSPRESI KEKUATAN POLITIK ISLAM
Menjelang kejatuhan Soeharto dari jabatan
kepresidenan terdapat perubahan yang cukup fundamental menyangkut posisi dan
ekspresi kekuatan-kekuatan politik Islam di tanah air. Dua perubahan penting
itu antara lain:
1.
Mainstream para pemimpin
kekuatan Islam yang memasuki dekade 1990-an menerapkan strategi akomodasi
dengan pemerintah “menolak” melanjutkan politik akomodasi dengan presiden
Soeharto. Menjelang kejatuhan Soeharto, nampak sekali para pemimpin Islam dari
“sayap modernis” menerapkan kembali “strategi oposisi” terhadap pemerintah;
2.
Seiring dengan
berhembusnya angin kencang reformsi untuk menggulingkan Soeharto,
kekuatan-kekuatan Islam terlihat berusaha merevitalisasi perjuangan Islam
melalui gelanggang poltik partisan.
Menarik disimak bahwa menjelang lengsernya
Soeharto dari puncak piramida politik Indonesia pada Mei 1998, dia sesunggguhnya
berusaha mempertahankan gripnya terhadap kekuatan Islam melalui politik
akomodasinya. Beberapa indikasi kuat political will Soeharto untuk merangkul
kekuatan Islam itu antara lain:
1.
Pertama, masih banyaknya
pemimpin Islam yang terepresentasikan dalam fraksi-fraksi yang mewakili
kelompok koalisi pemerintah di DPR/MPR-RI dalam Sidang Umum 1998.
2.
Kedua, kelompok koalisi
pemerintah di MPR-RI dalam Sidang Umumnya 1998 melakukan terobosan akomodasi
baru terhadap tuntutan umat Islam menyangkut status aliran kepercayaan dalam
GBHN.
3.
Ketiga,
terepresentasikan elite muslim ke dalam struktur kabinet pembangunan VII.
Kendati Soeharto waktu itu masih terlihat
berupaya menjalankan poltik akomodasi dengan kekuatan Islam, dari kalangan
kekuatan Islam sebagean besar nampaknya menolak melanjutkan proyek politik
“simbolis mutualisme “dengan rezim Orde Baru. Gejala awal mengayunnya bandul
poltik konfrontasi elite Islam pada tahun 1995 ketika Dr.Sri Bintang Pamungkas,
salah satu pendiri ICMI, melakukan serangkaian kritikan keras terhadap
pemerintah yang berujung pada penangkapan dirinya oleh pihak keamanan karena
dituduh mempermalukan presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraannya ke
Dresden, Jerman. Beberapa bulan kemudian Dr. M. Amien Rais semakin lantang
menyerukan suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 1998. Dalam berbagai kesempatan,
intelektual muslim dari Yogya itu semakin tajam menyorot korupsi, kolusi,dan
nepotisme dalam pemerintahan Orde Baru.Rangkaian kritikan Amien Rais tersebut
kabarnya membuat berang Soeharto yang menemukan bentuknya lebih jelas pada
kritikan intelektual itu terhdap skandal tambang emas busang awal tahun 1997.
Presiden Soeharto selaku dewan pembina ICMI waktu itu melalui BJ. Habibie
menekannya untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI pada Maret
1997. Reaksi dari Soeharto semacam itu tidak melunakkan sikap para pemimpin
muslim dalam menyerang pemerintahan Soeharto.
Dalam perjalanan selanjutnya malahan Amien
Rais nyaris menjadi simbol determinasi dalam gerakan “penggusuran” Soeharto
dari panggung kekuasaaan pada Mei 1998. Munculnya radikalisasi beberapa tokoh
kunci elite Islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya wktu itu
merupakan persoalan yang layak untuk dikaji. Karena rezim ORBA itu hingga
hari-hari terakhir turunnya dari papan atas percaturan politik Indonesia
terlihat semakin memperjelas identifikasi kedekatannya dengan kekuatan Islam
melalui komite reformasi yang hendak dibentuknya. Dalam proses perencanaan
pembentukan komite reformasi dan kabinet reformasi Presiden Soeharto pada 19
Mei 1998 mengundang para tokoh-tokoh masyarakat terkemuka.
Menariknya, para pemimpim-pemimpin
masyarakat yang diajak berembuk Soeharto itu seluruhnya berasal dari
kekuatan-kekuatan besar sayap Islam, dari kelompok radikal hingga yang moderat.
Unsur-unsur penting faksi muslim tersebut antara lain, dari unsur NU KH.
Abdurrahman Wahid, KH. Ma’aruf Amin, Ahmad Bagja, KH. Ali Yafie. Dari kalangan
Masyumi terdapat Anwar Haryono, Yusril Ihza Mahendra. Dari kalangan
Muhammadiyah terdapat nama Malik Fajar, Sutrino Muhdam serta dari tokoh muslim
populer lain adalah Emha Ainun Nadjib dan Nurcholis Madjid serta beberapa nama
lainnya. Dalam team yang diundang Soeharto itu yang kemudian di media massa
disebut team “sembilan wali” tak ada satupun dari elemen kekuatan non-islam.
Dari sini sebenarnya terlihat sekali Soeharto ingin mempertegas kedekatannya
dengan kalangan Islam. Dengan predisposisi politik Soeharto seperti itu lantas
mengapa beberapa tokoh sentral Islam tetap mengambil sikap konfrontasi dengan
pemerintahan Soeharto? Ada beberapa penjelasan untuk menjawab teka-teki itu:
Pertama, adanya sumber ketegangan
menyangkut visi masa depan pemerintah Soeharto dengan para pemimpin Islam
menyangkut persoalan pertaruhan prinsip kekuasaan yang demokratis dan hampir
tidak lagi masalah perselisihan pure agama.
Kedua, Soeharto dianggap telah melakukan
politicking terhadap kelompok ICMI dalam proses rekruitmen di parlemen dan
penyusunan kabinet setelah SU MPR Maret 1998. Tak disangkal lagi bahwa
ketidakpuasan masalah disribusi politik itu menjadi salah satu pendorong sikap
konfrontatif elite islam terhadap pemerintah Soeharto menjelang kejatuhannya. Demikianlah
hubungan Islam dan negara dalam politik di Indonesia pada zaman kekuasaan ORBA
yang akhirnya dapat menjadi salah satu faktor tumbangnya pemerintahan ORBA.
D. ISLAM
DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
Sejarah hubungan internasional berdasarkan
negara berdaulat dapat ditelusuri hingga Perdamaian Westfalen tahun 1648,
sebuah batu loncatan dalam perkembangan sistem negara modern. Sebelumnya, organisasi
otoritas politik Eropa abad pertengahan masih didasarkan padaordo keagamaan
hierarkis yang tidak jelas. Berlawanan dengan kepercayaan masyarakat, Westfalen
masih menerapkan sistem kedaulatan berlapis, khususnya di dalam Kekaisaran
Romawi Suci. Selain Perdamaian Westfalen, Traktat Utrecht tahun 1713 dianggap mencerminkan
suatu norma baru bahwa negara berdaulat tidak punya kesamaan internal di dalam
wilayah tetapnya dan tidak ada penguasa luar yang dapat menjadi penguasa mutlak
di dalam perbatasan sebuah wilayah berdaulat.
Sejarah Hubungan Internasional dalam Islam
bisa dilihat pada saat pemerintahan Islam yang pertama yang berpusat di Madinah
tersebut, pemerintahan Islam telah memulai hubungan internasionalnya dengan
mengirimkan para diplomat untuk menyampaikan dakwah Islam kepada para penguasa
di belahan yang lain di dunia.
Beberapa di antaranya kepada Najasy di
Habasyah (Ethiopia),Hiroklius penguasa Romawi (Roa), Kisra penguasa Persia
(Iran), Muqauqis di Yaman, dan lain-lain. Dakwah terus berkembang dan mencapai
ke negeri-negeri yang sangat jauh. Selain mendapatkan kemenangan dalam merekrut
manusia ke dalam Islam, tetapi juga Islam semakin tersebar ke seluruh dunia.
Persia, Mesir, Yerussalem, Romawi dan sebagainya jatuh ke pangkuan Islam.
Dalam kondisi itulah interaksi antar
manusia, kelompok dan negara tidak dapat dihindari, dan tuntutan kepada aturan
yang jelas bagi aktivitas mereka menjadi suatu keharusan dalam bentuk
kesepakatan, perjanjian dan aturan yang selanjutnya menjadi hukum
internasional. Yaitu merupakan suatu tata hukum dengan ketentuan-ketentuan yang
mengatur pergaulan antara negara dan dalam rangka itu mengatur pula hubungan di
antaranya. (Hamodurrahman 1976: 90-92)Sejarah telah membuktikan bahwa Nabi
Muhammad SAW, sejak tahun ke 3 hijriah telah mengirimkan beberapa utusan
(envoys) ke negara-negara lain.
Demikian juga pada tahun ke 9 hijriah Nabi
Muhammad SAW. telah menerima duta dan utusan-utusan dari negara-negara lain,
sehingga tahun ini terkenal dengan sebutan tahun duta-duta. Delegasi yang
diterima Rasulullah SAW. pada tahun ke 9 hijrah (April630-Maret 631) adalah
dari Thaif, Kristen Najran, Bani Sa’ad, BaniThayyi, Bani Tamim, Bani Hanifa,
Raja-Raja Himyar, dan dari Kind.(Afza Iqbal 2000 : 49-74) Pada waktu itu
Heraklius dan Kisra masing-masing sebagai kepala kerajaan Romawi dan Persia,
dua buah kerajaan yang terkuat dizamannya merupakan dua orang yang telah
menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya.
Acharya dan Buzan sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Qobidl ’Ainul Arif, (Turkish Jornal of International Relation 2006 :
V.5No.4) mengatakan Islam memahami manusia dan memiliki tanggapan yang tepat
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan, dapat bertindak sebagai teori, hampir
sama seperti yang berada pada filsafat politik barat mengenai tindakan manusia.
Dalam buku ini mereka memberikan tiga sumber yang berbeda dalam dunia Islam dan
bagaimana seharusnya Islam berinteraksi dengan orang lain, yaitu :
1. Landasan dalam pemahaman teori hubungan
internasional bersumber pada Al Qur’an, Hadist, sunnah atau Ijtihad
2. Adanya pemberontakan terhadap ortodoksi
yang berlaku dan dipimpin oleh para pemimpin nasional
3. Adanya rekonsiliasi sebagai sebuah gerakan
Islamisasi untuk sebuah rekonseptualisasi ilmu sosial, dan ektensi teori hubungan
internasional.
Beberapa pertimbangan dari teori hubungan internasional
dalam Islam, pertama harus diklarifikasikan pendekatan yudisial dengan Al-Qur’an.
Kedua dalam hal Dar al Islam dan Dar al Harb sebenarnya tidak dinyatakan secara
jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah, tetapi diciptakan oleh para sarjana muslim. Ketiga,
dualisme (dakwah dan jihad) seharusnya menjadi konsep sentral dari teori
hubungan internasional dalam Islam, tujuan akhir Islam menurut pandangan ini
yaitu membentuk umat dimana aturan syariah dapat diterapkan. Keempat, hukum
Islam menjadi sebuah yang realis berdasarkan kekuasaan dan perang dimana adanya
interpretasi dari ayat-ayat dalam AlQur’an. Kekerasaan hanya boleh dilakukan
untuk membela diri, melindungi properti dan membela iman mereka.
Secara umum hukum internasional menurut
Islam mencakupseluruh aspek baik dalam kondisi perang maupun damai.
Pelaksanaannyadapat di implementasikan dalam tiga wilayah yaitu: pertama, Darul
Islam(Negara Islam yaitu negara yang menerapkan syari’at Islam) . Kedua, Darul
Harbi (Negara Kafir yaitu yang memerangi Negara Islam). Ketiga,Darul ‘Ahdi
(Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan NegaraIslam).
Adapun prinsip-prinsip dasar hukum
internasional dalam Islam adalah 1). Saling menghormati pakta-pakta dan
traktat-traktat (QS.8:58, 9:4&7, 16:91, 17:34). 2). Kehormatan dan
Integrasi Internasional (QS.16:92) 3). Keadilan internasional (QS.5:8). 4).
Menjaga perdamaian (QS. 8:61) 5). Menghormati kenetralan negara-negara lain
(Non Combatants) (QS. 4:89,90). 6). Larangan terhadap eksploitasi imperialis
(QS. 16:92, 28:83). 7). Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang
Islam di negara lain (QS. 8:72) 8). Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan
netral (QS. 60:8,9). 9). Kehormatan dalam hubungan internasional (QS. 55:60).
10). Persamaan keadilan untuk para penyerang (QS. 2:194, 16:126, 42:40-42).
Selain itu Islam menegaskan bahwa hak asasi manusia baik yang muslim maupun non
muslim, laki-laki maupun
perempuan dilindungi undang-undang. 1). Hak hidup (QS. Al-Isra:33,
Al-An’am:151). 2). Hak Milik (QS. Al-Baqarah:188, AnNisa:29). 3). Perlindungan
kehormatan (QS. Al-Hujurat:11-12). 4). Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi
(QS. An-Nur:27, AlHujurat:12). 5). Keamanan Kemerdekaan pribadi (QS. Al-Hujurat: 6) 6). Perlindungan dari hukuman
penjara yang sewenang-wenang (QS. Al-An’am: 164). 7). Hak untuk memprotes kelaliman (tirani) (QS. AnNisa:148, Al-Maidah: 78-79, Ali Imran:110). 8).
Kebebasan ekspresi (QS. At-Taubah:71). 9). Kebebasan hati nurani (QS.
Al-Baqarah: 256). 10). Status warga Negara non Muslim dalam negara Islam
dilindungi (Hadits Riwayat Abu Dawud). 11). Kebebasan berserikat (QS. Ali
Imran:104-105). 12) Kebebasan berpindah (QS. Al-Baqarah:84-85). 13). Persamaan
hak dalam hukum (QS. An-Nisa:1, Al-Hujurat:13). 14). Hak mendapatkan keadilan
(QS. Asy-Syura:15). 15). Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia (QS.
Adz-Dzariyat:19). 16). Hak mendapatkan pendidikan (QS. Yunus:101). (Syekh
Syaukat Hussain 1996 : 59-95)
Pelaksanaannya diimplementasikan dalam
hubungan internasional Islam yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip yaitu:
pertama, hubungan internasional dilandasi dengan prinsip untuk memelihara
ketertiban dan perdamaian di dunia. Prinsip perdamaian memiliki doktrin sebagai
berikut: 1). Umat manusia dan bangsa-bangsa di dunia berasal dari satu orang,
yaitu Nabi Adam as. 2). Al-Qur’an telah menggariskan suatu ketentuan asasi agar
manusia senantiasa menghormati perjanjian termasuk perjanjian perdamaian. 3).
Perang hanya diizinkan dalam keadaan-keadaan khusus, yakni apabila keamanan dan
pertahanan negara terancam oleh pihak musuh. 4). Islam tidak membenarkan dan
melarang paksaan dan kekerasan. 5). Islam mengajarkan agar perdamaian itu
dimulai dari hubungan perorangan.
Kedua, Islam memerintahkan kepada
pemeluknya agar supaya memenuhi persetujuan-persetujuan dan perjanjian
internasional. Ketiga, sejak zaman Nabi Muhammad SAW. hubungan internasional
dilaksanakan dengan cara pertukaran duta atau utusan (envoys). (H.M.
Daud Ali 1989 : 87-92)
Dasar
hukum hubungan luar negeri dalam Islam adalah berlandaskan ketentuan Syarī`ah.
Sumber hukum otentik dalam Syarī`ah itu sendiri adalah al-Qur’ān dan tradisi
Nabi (Sunnah). Turunan dari Syarī`ah tersebut adalah hukum Islam atau biasa
disebut sebagai Fiqh yang meliputi permasalahan-permasalahan yang banyak
ditemukan dalam kehidupan keseharian manusia.
Islam
merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan
internasional. Dalam pandangan Islam, hubungan internasional harus didasarkan
pada prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kerjasama yang saling
menguntungkan bagi seluruh negara.
Di
dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional,
seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang menekankan
pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip keadilan
(justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan adil
dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang menekankan
pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara
negara-negara.
Islam
juga mengajarkan pentingnya kerjasama antarnegara dalam mengatasi
masalah-masalah global, seperti perubahan iklim, kelaparan, dan kemiskinan.
Dalam hal ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam mencari solusi atas
masalah-masalah tersebut dan berpartisipasi dalam kerjasama internasional yang
saling menguntungkan.
Secara
keseluruhan, Islam memberikan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan
dalam menjalankan hubungan internasional yang sejahtera dan adil bagi seluruh
negara.
Islam
merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan
internasional. Dalam pandangan Islam, hubungan internasional harus didasarkan
pada prinsip-prinsip keadilan, toleransi, dan kerjasama yang saling
menguntungkan bagi seluruh negara.
Di
dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional,
seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang menekankan
pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip keadilan
(justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan adil
dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang menekankan
pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara
negara-negara.
Islam
juga mengajarkan pentingnya kerjasama antarnegara dalam mengatasi
masalah-masalah global, seperti perubahan iklim, kelaparan, dan kemiskinan.
Dalam hal ini, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam
diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam mencari solusi atas
masalah-masalah tersebut dan berpartisipasi dalam kerjasama internasional yang
saling menguntungkan.
Secara
keseluruhan, Islam memberikan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan
dalam menjalankan hubungan internasional yang sejahtera dan adil bagi seluruh
negara.
Islam
merupakan agama yang telah menyebar luas di seluruh dunia dan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia
internasional. Di dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur hubungan
internasional, seperti prinsip damai sejahtera (peace and security), yang
menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan keamanan di dunia; prinsip
keadilan (justice), yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dilakukan
dengan adil dan tidak diskriminatif; serta prinsip toleransi (tolerance), yang
menekankan pentingnya saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di antara
negara-negara.
Oleh
karena itu, di dunia internasional, Islam dapat memainkan peran dalam menjaga
keamanan dan stabilitas global, serta mempromosikan prinsip-prinsip keadilan
dan toleransi di antara negara-negara. Selain itu, Islam juga dapat memainkan
peran dalam mengatasi masalah-masalah global, seperti perubahan iklim,
kelaparan, dan kemiskinan, melalui kerjasama internasional yang saling
menguntungkan.
Selain
itu, Islam juga dapat memainkan peran dalam menjadi penghubung antarnegara dan
memfasilitasi dialog antarnegara, terutama di kawasan-kawasan yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Melalui dialog tersebut, negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dapat saling bertukar pikiran dan mencari
solusi atas masalah-masalah yang dihadapi bersama.
Secara
keseluruhan, Islam memiliki peran yang cukup signifikan di dunia internasional
dalam menjaga keamanan, stabilitas, dan keadilan global, serta memfasilitasi
dialog dan kerjasama internasional yang saling menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan
negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya
sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab
pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam
semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan
dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan
apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan
tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama
manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau
perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral
individu-individu pelaku politik.
Islam yang komprehensif, mencakup semua
aspek kehidupan, termasuk pula memberikan prinsip-prinsip pokok bagi hubungan
internasional, dan juga memberikan contoh-contoh konkrit bagaimana prinsip
tersebut dilaksanakan, sejak permulaan sejarah Islam. Hanya saja terdapat
beberapa prinsip hubungan internasional yang dilandasi dengan prinsip hukum
internasional yang didasarkan pada aspek kesetaraan, keadilan, kemanusiaan,
perlindungan atas diri dan properti.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Bulan BintangJakarta. 1989.
Ali
Mansur, Assyari’atul Islamiyyatu wal qanunut Dalliyu al’am. 1965 dalam
L. Amin Widodo. Fiqih Siasah Dalam Hubungan Internasional. Tiara
Wacana-Yogya. 1994.
David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 9, New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1969
The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, New York: Macmillan Publishing Company
Gergely Rosta,“Secularization or Desecularization in the Work of Peter Berger, and the ChangingReligiosity of Europe”, dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.
Ismail Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.), Menegakkan Demokrasi, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia
Memikirkan kembali teori hubungan internasional dalam Islam: Menuju Pendekatan yang Lebih Memadai- disadur dari Turkish Journal of Internasional Relation, vol. 5, no. 4, Winter 2006
Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1993.
Syekh Syaukat Hussain. Human
Right in Islam (terjemahan). Gema Insani Press-Jakarta. 1996.
T.M. Hasbi Ash-Shidieqy. Hukum
Antar Golongan Dalam Fiqih Islam.. Bulan Bintang-Jakarta. 1391 H/1971 M.
[1] David L. Sills (ed.), International
Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 9, (New York: The Macmillan Company
& The Free Press, 1969), hlm 387.
[2] David
L. Sills (ed.), International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 9,
(New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1969), hlm 395
[3] The Encyclopedia of
Religion, Vol. 13, (New York: Macmillan Publishing Company), hlm. 159.
[4] Gergely Rosta,“Secularization or
Desecularization in the Work of Peter Berger, and the ChangingReligiosity of
Europe”, dalamhttp://www.crvp.org/book/Series07/VII-26/chapter-14.htm.
[5] Ismail
Suny, “Menegakkan Prinsip Konstitusi”, dalam Denny J.A. (ed.),
Menegakkan Demokrasi, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia), h. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar