Senin, 05 Desember 2022

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH

 Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si


A.    Pendahuluan

Muhammad Abduh adalah seorang reformis, ia lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan.  Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah, ia bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibn Khathab.

Guru pertamanya adalah sang ayah, yang mengajarinya membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun diumur 12 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an.Sejarah mencatat perjalanan panjang pendidikannya, saat ia menemukan kekurangan dan merasakan putus asa, ia bertemu dengan orang yang tepat yaitu Syekh Darwiys Khadr, sebelum ia berangkat ke Kairo, dan bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani, setelah ia belajar di al-Azhar.

Muhammad Abduh dalam sejarah pendidikan, termasuk salah satu pembaharu yang harum namanya dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi pendidikan yang dilakukannya. Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam dunia pendidikan, Muhammad Abduh juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan, bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.

Rintangan dan hambatan bukanlah halangan baginya untuk menghantarkan pembaharuan pemikiran dalam pendidikan Islam pada tempat yang layak, dan pada makalah ini akan diuraikan tentang perjalanan hidup seorang Muhammad Abduh dari seorang biasa dalam belajar sampai mendapat gelar Mufti di Mesir, dengan segala kesulitan yang ia temukan dan sampai keberhasilan yang diperolehnya.

B.     Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh .

Suwito, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Sosial Pendidikan Islam,

mengatakan  bahwa  bagi Muhammad Abduh, yang harus diperjuangkan dalam satu system pendidikan adalah pendidikan yang fungsional, yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus mempunyai dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapatkan pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.

Dalam pendidikan Abduh, siswa sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, milliter, kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta Teks Sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam. [1]

Latar belakang lahirnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan bahwa kejumudan   pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan seperti bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Menurutnya salah satu penyebab hal ini terjadi adalah karena faham dari akidah jabariah.  Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan untuk bersikap sikap fasif dan kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga terjadinya penyimpangan dan  mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.

Dan faktor lain adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu merupakan sistem yang dibangun oleh Muhammad Ali pada abad ke sembilanbelas sebagai pembaharu awal pendidikan di Mesir. Ia menilai bahwa pembaharuan itu tidak seimbang, karena hanya menekankan perkembangan aspek intelek. Akibatnya sistem ini mewariskan dua  tipe pendidikan pada abad ke duapuluh yaitu: Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun

oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa asing. Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya.

Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak pemikiran guru dan murid pada saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.[2]

Selain terjadinya kasus-kasus yang demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang mulai pada abad ke sembilanbelas. Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Muhammad Abduh melihat segi-segi negative dari kedua bentuk pemikiran yang demikian. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama   tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mepertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit.

Latar belakang inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran Muhammad  Abduh  dalam  bidang  pemikiran   pendidikan  formal   dan nonformal,

dengan  bertujuan  untuk  menghapus  dualisme   pendidikan.

Dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh mengarahkan pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan, kurikulum, metode pengajaran, dan pemberian pendidikan terhadap wanita.

Arbiyah Lubis memaparkan ke empat hal itu dengan jelas dalam bukunya Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, sebagai berikut :

a.      Tujuan Pendidikan ;

Muhammad Abduh merumuskan tujuan pendidikan, yaitu :

Tujuan pendidikan ialah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat.”

Dari rumusan tujuan pendidikan yang deikian dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia mengingkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya.

Pusat perhatian Muhammad Abduh dalam pendidikan dan pengajaran, yang ternyata juga merupakan tujuan hidupnya. Muhammad Abduh menuliskan bahwa tujuan hidupnya adalah :

a.        Membebaskan pemikiran dari belenggu taklid dan memahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan paham, yang kembali kepada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.

b.       Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai, baik oleh instans pemerintahan maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya, dalam surat menyurat mereka. [3]

Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berfikir, Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berfikir kritis, juga memiliki akhalk mulia dan jiwa yang bersih. Dengan demikian kedua aspek, akal spiritual, menjadi sasaran utmaa pendidikan Muhammad abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan dapat berpacu dengan barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengibangi mereka dalam kebudayaan. [4]   

b.      Kurikulum Pendidikan

Kurikulum yang dimaksudkannya adalah :

1)    Tingkat Sekolah Dasar

a)        Membaca

b)        Menulis

c)        Berhitung sampai dengan tingkat tertentu

d)       Pelajaran agama dengan bahan-bahan : akidah menurut versi Ahl al-Sunnah, serta fikih dan akhlaq yang berkaitan dengan hal dan hara, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup perbuatan dan sifat-sifat yang baik dan buruk.

e)        Sejarah, yang mencakup sejarah Nabi dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia, serta jasa mereka terhadap agama. Diperkenalkan juga sebab-sebab Islam dapat berkuasa dalam waktu yang relative singkat, sejarah Nabi dan sahabat ditambah dengan uraian-uraian tentang Khalifah Usmaniah, yang kesemuanya diberikan dengan secara ringkas.

2)     Tingkat Menengah

a)        Manthiq atau logika dan dasar-dasar penalaran

b)        Akidah yang dikemukan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang pasti. Pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum menjangkau perbedaan pendapat. Di samping itu dijelaskan fungsi aqidah dalam kehidupan.

c)        Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih dan akhlak hanya memperluas bahan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran lebih ditekakan pada sebab, kegunaan dan pengaruh, terutama dalam mmasalah akhlak. Misalnya kegunaan berakhlak baik dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat. Pelajaran fikih lebih ditekankan pada hukum-hukum agama dan kegunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua pelajaran tersebut diberikan dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari masa al-salaf al-shahih dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari masa al-salaf al-shahih.

d)       Sejarah Islam, yang menyan gkut dengan sejarah Nabi, sahabat dan penaklukan-penaklukan yang terjadi dalam beberapa abad sampai pada penaklukan pada masa kerajaan Usmaniah. Semua penaklukan tersebut, menurut Muhammad Abduh, dipandang dari aspek agama, sekiranya pun motif politik dikemukakan juga, tetapi motif politik dibelakang motif agama.

Murid-murid di sekolah menengah ini dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Dari itu mereka harus memiliki pengetahuan yang demikian.  

3)    Tingkat Atas

Pelajaran agama ditingkat ini adalah untuk golongan mereka yang akan menjadi pendidik yang disebutnya sebagai golongan yang arif (‘urafa’ al-ummat). Pelajaran yang diberikan kepada mereka mencakup:

a)        Tafsir

b)        Hadits

c)        Bahasa Arab dengan segala cabangnnya

d)       Akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulu al-Din.

e)        Ushul fikih

f)         Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah Nabi dan sahabat yang diuraikan secara terinci. Sejarah peralihan penguasa-penguasa islam, sejarah kerajaan Usmaniah dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan islam ke tangan penguasa lain dengan menerangkan sebab-sebabnya.

g)        Retorika dan dasar-dasar berdiskusi

h)        Ilmu kalam. Pada tingkat ini ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak ditujukan untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran.

Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu Barat ke dalam kurikulum yang direncanakannya. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut, seperti ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di atas. Ia tidak merincinya, karena masing-masing sekolah ataupun jurusan mempunyai pandangan yang sendiri tentang ilmu apa yang lebih ditekankannya untuk dipelajari pada jurusan atau sekolah tertentu. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu, akidah, fikih, sejarah islam,  akhlak, dan bahasa.

c.       Metode Pengajaran

Dalam  bidang  metode  pengajaran  ia pun membawa cara baru

dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengeritik degan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktekkan di sekolah-sekolah saat itu. Terutama sekolah-sekolah agama. Ia tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi apa yang dipraktekkannya ketika ia mengajar di al-Azhar tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid.

Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hafalan dengan metode rational dan pemahaman. Siswa disamping menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya. Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta teahadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang yang dapat diperg unakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern kedalam bahasa Arab.[5]

Said Ismail Ali dalam bukunya Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran yag dominan digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan persoalan sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai materi pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain di hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesabaran. Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini Abduh merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini, Abduh menekankan metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al- Azhar. Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah “ Bagaimana cara kita mengetahui ? “ dan bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “ Pasalnya, melatih anak didik tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa

menuntun mereka pada perangkat utama dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu pengetahuan tertentu maka mereka bisa mencari dan memperolehnya sendiri. [6]

Selain itu Abduh juga membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan pada lima prinsip, yaitu:

a.       Menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an.

b.      Menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan.

c.       Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat.

d.      Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran

e.             Tidak melalaikan peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat pada waktu itu. [7]

Kemudian dalam bidang pendidikan nonformal,  Muhammad Abduh menyebutkan sebagai Islah (usaha perbaikan). Dalam penyelengaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.

Muhammad Abduh menekankan mereka dari golongan yang terdidik yang telah mendapat pendidikan dengan kurikulum pendidikan tingkat  atas . Tugas mereka terutama adalah :

1.      Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar

2.      Mendidik mererka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka ketahui.

3.      Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.

Harapan Muhammad Abduh untuk menghapus dualisme pendidikan, dengan alasan semua ilmu pada hakikatnya adalah satu, terutama di universitas al-Azhar. Belum sepenuhnya berhasil, akan tetapi beberapa hal sudah terjadi perubahan, terkhusus masuknya pelajaran umum pada kurikulum al-Azhar seperti matematika, aljabar, ilmu ukur dan geografi.

Reformasi pemikiran pendidikan oleh Muhammad Abduh, tidak hanya berlangsung di Mesir saja, tapi pada saat ia diasingkan di Beirut yang masih berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani. Muhammad Abduh memberikan konsepsi untuk reformasi pendidikan di Turki Ustmani, yaitu  akidah yang shahih dan sama di dalam akal umat, dan pendidikan yang bisa memudahkan yang sulit dan menjelaskan yang susah.

d.      Pendidikan Wanita.

Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak yang sama dari Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, yaitu :

“ … Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…” [8]8

Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :

“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “  . 29

Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag bersifat keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita” katanya, “ harus dilepaskan dari rantai kebodohan “, dan yang demikian hanya mungkin dengan memberi mereka pendidikan.[9]

C.    Agenda Pembaharuan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh  dan gerakan pembaharuan yang dilakukan tidak terlepas dari karakter dan wataknya yang mencintai ilmu pengetahuan. Dalam buku Modern Trends in Islam karya Gibb,  ia menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu:

1.      Purifikasi yang memiliki arti pemurnian ajaran Islam,  mendapat perhatian serius dari Muhammad Abduh. Hal ini berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang mempengaruhi kehidupan beragama umat Islam. Sesuai dengan QS. 6 : 79, Muhammad Abduh menyatakan bahwa umat Islam tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk kesyirikan.

2.      Reformasi, pada bagian ini Muhammad Abduh memfokuskan reformasi pendidikan tinggi Islam pada universitas almamaternya, yaitu al-Azhar. Bagi Muhammad Abduh, kewajiban untuk mempelajari ilmu tidak hanya terbatas pada materi yang  bersumber dari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela islam. Tetapi juga, ilmu pengetahuan yang mempelajari sains-sains modern, sejarah dan agama Eropa, dengan tujuan untuk mengetahui sebab-sebab kemajuan yang telah dicapai oleh dunia Eropa.

3.      Pembelaan Islam. Dalam buku Risalah Al-Tauhidnya, Muhammad Abduh mempertahankan Identitas Islam dengan seluruh kemurnian ajarannya . Adapun bukti pembelaan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah dengan tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa, dan  lebih fokus  untuk mengatasi serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.

4.      Reformulasi,  yaitu  Muhammad  Abduh  membuka kembali pintu

Ijtihad dengan alasan bahwa  umat Islam mengalami kemunduran  disebabkan oleh dua faktor,  yaitu internal dan eksternal. Tujuan reformulasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah untuk  menegaskan bahwa umat Islam harus bangkit dari tidur panjangnya dengan memaksimalkan fungsi akal pikirannya.

Lebih lanjut, Wahyuddin Nur Nasution dalam tulisannya yang berjudul Muhammad Abduh dan Pembaharuan Pendidikan, ia mengungkapkan bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini, terutama diarahkan kepada al-Azhar yang merupakan jantung intelektual umat Islam khususnya Mesir, yang pada waktu itu secara umum sedang dilanda taklid, jumud, dan khurafat.  Selagi  menjalankan  tugasnya  sebagai hakim,  ia berusaha sungguh-sungguh membawa perbaikan di Universitas al- azhar yang sejak lama telah menjadi idamannya.[10]

Kemudian menurut Hasan Asari dalam bukunya yang berjudul Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, beliau menambahkan :

Dalam pandangan Muhammad Abduh, kurikulum al-Azhar mem-butuhkan reformasi mendasar yang setidaknya melibatkan dua aspek :

a.              Perlu mengganti buku-buku pegangan: kitab-kitab komentar (syarh) harus diganti dengan karya-karya yang lebih awal dan orisinal, semacam muqaddimah. Kajian-kajian Islam klasik yang terabaikan-seperti etika, sejarah, dan geografi- perlu diperkenalkan kembali. Hal ini ditujukan untuk menghidupkan kembali intelektualisme Islam seperti zaman klasik.

b.             Memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum untuk menjamin bahwa al-Azhar tidak terus menerus menjadi “ lembaga yang aneh atau Museum Zaman Pertengahan Islam “.[11]

Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, mengungkapkan bahwa Muhammad Abduh menyampai lima proposal reformasi dalam al- Alzar. Pertama, mengubah dari system halqoh menuju system kelas yang terjadwal. Kedua, melaksanakan

ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar. Ketiga, menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada menggunakan buku-buku sekunder yang ditulis oleh sebagian guru. Keempat, memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar. Kelima, sentralisasi perpustakaan.[12]

Dari segi kurikulum ada dua katagori yang diajarkan di al-Azhar pada masa itu, seperti yang dinyatakan oleh Bayard Dodge dalam bukunya al-Azhar, A Millennium of Muslim Learning. This same law divided the coursesbof study into the following catagories. In the first place there were the Objects of Study, or al-maqasid, which included theology, religious ethics, legal studies, the origins of the law, commentary and tradition. The second category was the Means of Study, or al-wasail, including the two kinds of grammar called al-nahw and al-sarf, the three kinds of thretoric known as al-ma’ani, al-bayan and al-badi’, logic, the technical terms of tradition called mustalah al-hadith, arithmetic, algebra, prosody, or al-arud, and rhyme known as al-qawafi. Students were also entitled to study other courses, such as Islamic history, composition, elocution, language and literature, and elementary geometry. [13]

D. Kesimpulan\

            Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.

            Muhammad Abduh berguru kepada Jamaluddin al- Afghani, seorang yang dikenal dalam dunia Islam sebagai mujahid dan mujaddid, ia juga ulama yang alim. Muhammad Abduh mengagumi ilmu dan cara berfikir  Jamaluddin yang modern, sehingga ia belajar padanya, bahkan saat pengasingannya di Beirut, Jamaluddin mengundang Muhammad Abduh untuk bersamanya berjuang di Perancis, menyebarkan semangat perjuangan dan pembaharuan melalui penerbitan majalah. Walaupun pada akhirnya penerbitan itu ditutup oleh Pemerintah Perancis karena dianggap berbahaya. Dan sikap berani Muhammad Abduh untuk lebih konsentrasi pada pembaharuan pendidikan, membuatnya namanya dikenal sampai saat ini.

            Pembaharuan pendidikan yang dilakukannya meliputi tujuan pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kepribadian, moral agama, yang dengannya diharapkan mampu menumbuhkan sikap politik, sikap sosial, jiwa gotong royong, dan semangat ekonomis. Selanjutnya di dalam sekolah agama harus diajarkan pengetahuan  modern, dengan menggunakan metode pengajaran yang membuat murid tidak sekedar ingat tetapi juga memahami apa yang diajarkan dan tentu saja pembelajaran berlangsung dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti, di samping itu dengan pengelolaan wakaf, Muhammad Abduh mampu menggaji guru dengan gaji dan layak. Kemudian khusus untuk al- Azhar, perubahan ditemukan dengan adanya peraturan yang memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur.

DAFTAR PUSTAKA

 

Bakir Ihsan, (2005), Ensiklopedia Islam Jilid I, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Asnil Aida Ritonga (Editor) , (2008), Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, Bandung, Citapustaka Media Perintis.

Arbiyah Lubis, (1993), Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, PT.Bulan Bintang.

Arif Munandar Riswanto, (2010), Buku Pintar Islam,  Bandung, Mizan Media Utama.

Bayard Dodge, (1961), AL-Azhar, A Millennium of Muslim Learning, The Middle East Institute, Washington, D.C.

Harun Nasution, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  Jakarta, UI-Press.

Hasan Asari, (2007), Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan , Bandung, Citapustaka Media.

Kementrian Urusan Agama Islam, (1990),  Al-Qur’an Dan Terjemahan , Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf,.

Muhammad Abduh, ( 1992), Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN, Jakarta, PT. Bulan Bintang.

Mukti Ali, (1995), Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah, Jakarta, Djambatan,

M. Quraish Shihab, (1994)Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayah.

Nurcholis Madjid, (1989), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan.

Said Ismail, (2010),  Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, Jakarta, Pustka Al-Kautsar.

Samsul Nizar, (2007), Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,  Jakarta, Kencana.

Suwito, (2008), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana.

Toto Suharto, (2006), Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Arruzz.

Zuhairi Misrawi, (2010), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.



[1]. Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana, 2008) h. 174-175

[2] .Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993) h.194 - 195, Lihat juga Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h.248

[3] .Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, ( Jakarta, UI-Press, 1987) h. 24.

[4] .Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.420

[5] .Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta:Quantum teaching, 2005), h. 48

[6] . Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010) , h. 164

[7] .Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,  h. 65.

[8] .  Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li  Thiba’at  Al-Mush-haf, 1990)  h. 55 &. 673

[9] . Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.156-159

[10] . Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,  h. 130

[11] .Lihat Hasan Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, h.79

[12] .Zuhairi Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010) h. 202-203.

[13] .Bayard Dodge, AL-Azhar, A Millennium of Muslim Learning, The Middle East Institute, (Washington, D.C, 1961), h. 135

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar