Dr. (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
A.
Pendahuluan
Muhammad Abduh adalah seorang
reformis, ia lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan
cinta ilmu pengetahuan. Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan
Khairullah, ia bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan
terhormat. Ibunya keturunan Arab yang silsilah sampai kepada Umar ibn Khathab.
Guru pertamanya adalah sang ayah,
yang mengajarinya membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka
waktu 2 tahun diumur 12 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat
Al-qur’an.Sejarah mencatat perjalanan panjang pendidikannya, saat ia menemukan
kekurangan dan merasakan putus asa, ia bertemu dengan orang yang tepat yaitu
Syekh Darwiys Khadr, sebelum ia berangkat ke Kairo, dan bertemu dengan
Jamaluddin al-Afghani, setelah ia belajar di al-Azhar.
Muhammad Abduh dalam sejarah
pendidikan, termasuk salah satu pembaharu yang harum namanya dan memiliki
pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi pendidikan yang dilakukannya.
Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam dunia pendidikan, Muhammad Abduh
juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al
Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan, bersama Jamaludin al-Afgani
menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya
menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada
umumnya.
Rintangan dan hambatan bukanlah
halangan baginya untuk menghantarkan pembaharuan pemikiran dalam pendidikan
Islam pada tempat yang layak, dan pada makalah ini akan diuraikan tentang
perjalanan hidup seorang Muhammad Abduh dari seorang biasa dalam belajar sampai
mendapat gelar Mufti di Mesir, dengan segala kesulitan yang ia temukan dan sampai
keberhasilan yang diperolehnya.
B.
Pemikiran
Pendidikan Islam Muhammad Abduh .
Suwito, dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Sosial Pendidikan Islam,
mengatakan bahwa bagi Muhammad Abduh, yang harus
diperjuangkan dalam satu system pendidikan adalah pendidikan yang fungsional,
yang meliputi pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan.
Semuanya harus mempunyai dasar membaca, menulis, berhitung dan harus
mendapatkan pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan
tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh percaya bahwa anak petani
dan tukang harus mendapatkan pendidikan umum, agar mereka dapat meneruskan
jejak ayah mereka.
Dalam pendidikan Abduh, siswa
sekolah menengah haruslah mereka yang ingin mempelajari syariat, milliter,
kedokteran, atau ingin bekerja pada pemerintah, kurikulumnya meliputi Pengantar
Pengetahuan, Seni Logika, Prinsip Penalaran, Teks tentang Dalil Rasional, serta
Teks Sejarah yang meliputi berbagai penaklukan dan penyebaran Islam. [1]
Latar belakang lahirnya ide-ide
pendidikan Muhammad Abduh disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan
situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan
bahwa kejumudan pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan
seperti bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Menurutnya salah satu
penyebab hal ini terjadi adalah karena faham dari akidah jabariah.
Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan untuk bersikap sikap fasif dan
kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga terjadinya penyimpangan dan
mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Dan faktor lain adalah sistem
pendidikan yang ada pada saat itu merupakan sistem yang dibangun oleh Muhammad
Ali pada abad ke sembilanbelas sebagai pembaharu awal pendidikan di Mesir. Ia
menilai bahwa pembaharuan itu tidak seimbang, karena hanya menekankan
perkembangan aspek intelek. Akibatnya sistem ini mewariskan dua tipe
pendidikan pada abad ke duapuluh yaitu: Tipe pertama adalah
sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang
tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang
dibangun
oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa
asing. Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan
lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan pendidikannya.
Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di
sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak
mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk
mengembangkan aspek jiwa tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang
lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak
pemikiran guru dan murid pada saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan
menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.[2]
Selain terjadinya kasus-kasus yang
demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan
spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta
tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk
mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi
muda, hasil pendidikan yang mulai pada abad ke sembilanbelas. Dengan ilmu-ilmu
Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat.
Muhammad Abduh melihat segi-segi negative dari kedua bentuk pemikiran yang
demikian. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat
dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mepertahankan pemikiran yang demikian
hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan
dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua ia melihat bahaya yang
mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran
modern yang mereka serap. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya
mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka
lebar dapat dipersempit.
Latar belakang inilah yang akhirnya
melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang
pemikiran pendidikan formal dan nonformal,
dengan bertujuan
untuk menghapus dualisme pendidikan.
Dalam bidang pendidikan formal
Muhammad Abduh mengarahkan pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan,
kurikulum, metode pengajaran, dan pemberian pendidikan terhadap wanita.
Arbiyah Lubis memaparkan ke empat
hal itu dengan jelas dalam bukunya Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh
: Suatu Studi Perbandingan, sebagai berikut :
a.
Tujuan Pendidikan ;
Muhammad Abduh merumuskan tujuan
pendidikan, yaitu :
“ Tujuan pendidikan ialah mendidik akal dan jiwa dan
menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian
hidup dunia dan akhirat.”
Dari rumusan tujuan pendidikan yang
deikian dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad
Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek
spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia mengingkan
terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak
hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan
Muhammad Abduh yang demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat
itu yang hanya mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang
lainnya.
Pusat perhatian Muhammad Abduh dalam
pendidikan dan pengajaran, yang ternyata juga merupakan tujuan hidupnya.
Muhammad Abduh menuliskan bahwa tujuan hidupnya adalah :
a. Membebaskan pemikiran dari
belenggu taklid dan memahami ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh
ulama zaman klasik (salaf), yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan paham, yang
kembali kepada sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.
b. Memperbaiki bahasa Arab yang
dipakai, baik oleh instans pemerintahan maupun surat-surat kabar dan masyarakat
pada umumnya, dalam surat menyurat mereka. [3]
Pendidikan akal ditujukan sebagai
alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berfikir, Muhammad Abduh berharap
kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan
dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak
hanya mampu berfikir kritis, juga memiliki akhalk mulia dan jiwa yang bersih.
Dengan demikian kedua aspek, akal spiritual, menjadi sasaran utmaa pendidikan
Muhammad abduh. Ia berkeyakinan bila kedua aspek tersebut dididik dan
dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama,
maka umat Islam akan dapat berpacu dengan barat dalam menemukan ilmu
pengetahuan baru dan dapat mengibangi mereka dalam kebudayaan. [4]
b.
Kurikulum Pendidikan
Kurikulum yang dimaksudkannya adalah :
1)
Tingkat Sekolah Dasar
a)
Membaca
b)
Menulis
c)
Berhitung sampai dengan tingkat
tertentu
d)
Pelajaran agama dengan bahan-bahan :
akidah menurut versi Ahl al-Sunnah, serta fikih dan akhlaq yang berkaitan
dengan hal dan hara, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam
masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup perbuatan dan sifat-sifat yang baik dan
buruk.
e)
Sejarah, yang mencakup sejarah Nabi
dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia, serta jasa mereka terhadap agama.
Diperkenalkan juga sebab-sebab Islam dapat berkuasa dalam waktu yang relative
singkat, sejarah Nabi dan sahabat ditambah dengan uraian-uraian tentang
Khalifah Usmaniah, yang kesemuanya diberikan dengan secara ringkas.
2)
Tingkat Menengah
a)
Manthiq atau logika dan dasar-dasar
penalaran
b)
Akidah yang dikemukan dengan
pembuktian akal dan dalil-dalil yang pasti. Pada tingkat ini pelajaran yang
diberikan belum menjangkau perbedaan pendapat. Di samping itu dijelaskan fungsi
aqidah dalam kehidupan.
c)
Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini
pelajaran fikih dan akhlak hanya memperluas bahan yang diberikan pada tingkat
dasar. Pelajaran lebih ditekakan pada sebab, kegunaan dan pengaruh, terutama
dalam mmasalah akhlak. Misalnya kegunaan berakhlak baik dan pengaruhnya dalam
kehidupan bermasyarakat. Pelajaran fikih lebih ditekankan pada hukum-hukum
agama dan kegunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua pelajaran tersebut
diberikan dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari masa
al-salaf al-shahih dengan landasan dalil-dalil yang shahih dan praktek dari
masa al-salaf al-shahih.
d)
Sejarah Islam, yang menyan gkut
dengan sejarah Nabi, sahabat dan penaklukan-penaklukan yang terjadi dalam
beberapa abad sampai pada penaklukan pada masa kerajaan Usmaniah. Semua
penaklukan tersebut, menurut Muhammad Abduh, dipandang dari aspek agama,
sekiranya pun motif politik dikemukakan juga, tetapi motif politik dibelakang
motif agama.
Murid-murid di sekolah menengah ini dipersiapkan untuk
menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Dari itu mereka harus memiliki
pengetahuan yang demikian.
3)
Tingkat Atas
Pelajaran agama ditingkat ini adalah untuk golongan mereka
yang akan menjadi pendidik yang disebutnya sebagai golongan yang arif (‘urafa’
al-ummat). Pelajaran yang diberikan kepada mereka mencakup:
a)
Tafsir
b)
Hadits
c)
Bahasa Arab dengan segala cabangnnya
d)
Akhlak dengan pembahasan yang
terinci sebagai yang diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulu al-Din.
e)
Ushul fikih
f)
Sejarah yang termasuk di dalamnya
sejarah Nabi dan sahabat yang diuraikan secara terinci. Sejarah peralihan
penguasa-penguasa islam, sejarah kerajaan Usmaniah dan sejarah jatuhnya
kerajaan-kerajaan islam ke tangan penguasa lain dengan menerangkan
sebab-sebabnya.
g)
Retorika dan dasar-dasar berdiskusi
h)
Ilmu kalam. Pada tingkat ini ilmu
kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam
dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada
tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak ditujukan untuk memperteguh akidah,
tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran.
Ketiga paket kurikulum di atas
merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam
setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu Barat
ke dalam kurikulum yang direncanakannya. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut, seperti
ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama
dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di atas. Ia tidak merincinya,
karena masing-masing sekolah ataupun jurusan mempunyai pandangan yang sendiri
tentang ilmu apa yang lebih ditekankannya untuk dipelajari pada jurusan atau
sekolah tertentu. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh
menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu, akidah, fikih, sejarah
islam, akhlak, dan bahasa.
c.
Metode Pengajaran
Dalam bidang metode
pengajaran ia pun membawa cara baru
dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengeritik degan tajam
penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktekkan di sekolah-sekolah
saat itu. Terutama sekolah-sekolah agama. Ia tidak menjelaskan dalam
tulisan-tulisannya metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi apa yang
dipraktekkannya ketika ia mengajar di al-Azhar tampaklah bahwa ia menerapkan
metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid.
Muhammad Abduh mengubah cara
memperoleh ilmu dari metode hafalan dengan metode rational dan pemahaman. Siswa
disamping menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya.
Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan dan
menjauhkan metode taklid buta teahadap para ulama. Ia juga mengembangkan
kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab
yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang
berkembang yang dapat diperg unakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan
modern kedalam bahasa Arab.[5]
Said Ismail Ali dalam bukunya Pelopor
Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran
yag dominan digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan
persoalan sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai
materi pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain
di hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesabaran.
Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini Abduh
merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini, Abduh
menekankan metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al- Azhar.
Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah “ Bagaimana cara kita mengetahui ? “
dan bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “ Pasalnya, melatih anak didik tentang
cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa
menuntun mereka pada perangkat utama dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan. Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu pengetahuan tertentu
maka mereka bisa mencari dan memperolehnya sendiri. [6]
Selain itu Abduh juga membuat sebuah
metode yang sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan pada lima
prinsip, yaitu:
a.
Menyesuaikan peristiwa-peristiwa
yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an.
b.
Menjadikan al-Qur’an sebagai sebuah
kesatuan.
c.
Menjadikan surat sebagai dasar untuk
memahami ayat.
d.
Menyederhanakan bahasa dalam
penafsiran
e.
Tidak melalaikan peristiwa-peristiwa
sejarah untuk menafsirkan ayat-ayat pada waktu itu. [7]
Kemudian dalam bidang pendidikan
nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan sebagai Islah (usaha perbaikan).
Dalam penyelengaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan
pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.
Muhammad Abduh menekankan mereka
dari golongan yang terdidik yang telah mendapat pendidikan dengan kurikulum
pendidikan tingkat atas . Tugas mereka terutama adalah :
1.
Menyampaikan kewajiban dan
pentingnya belajar
2.
Mendidik mererka dengan memberikan
pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka ketahui.
3.
Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta
pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Harapan Muhammad Abduh untuk
menghapus dualisme pendidikan, dengan alasan semua ilmu pada hakikatnya adalah
satu, terutama di universitas al-Azhar. Belum sepenuhnya berhasil, akan tetapi
beberapa hal sudah terjadi perubahan, terkhusus masuknya pelajaran umum pada
kurikulum al-Azhar seperti matematika, aljabar, ilmu ukur dan geografi.
Reformasi pemikiran pendidikan oleh
Muhammad Abduh, tidak hanya berlangsung di Mesir saja, tapi pada saat ia
diasingkan di Beirut yang masih berada di bawah kekuasaan Turki Ustmani.
Muhammad Abduh memberikan konsepsi untuk reformasi pendidikan di Turki Ustmani,
yaitu akidah yang shahih dan sama di dalam akal umat, dan pendidikan yang
bisa memudahkan yang sulit dan menjelaskan yang susah.
d.
Pendidikan Wanita.
Menurutnya wanita haruslah mendapat
pendidikan yang sama dengan lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak
yang sama dari Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah
ayat 228, yaitu :
“ … Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…” [8]8
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang
artinya :
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
“ . 29
Dalam pandangan
Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal
memndapatkan keampunan dan pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang
sama, baik dalam hal yag bersifat keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita
berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita”
katanya, “ harus dilepaskan dari rantai kebodohan “, dan yang demikian
hanya mungkin dengan memberi mereka pendidikan.[9]
C.
Agenda
Pembaharuan
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dan gerakan
pembaharuan yang dilakukan tidak terlepas dari karakter dan wataknya yang
mencintai ilmu pengetahuan. Dalam buku Modern Trends in Islam karya
Gibb, ia menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh, yaitu:
1.
Purifikasi yang memiliki arti
pemurnian ajaran Islam, mendapat perhatian serius dari Muhammad Abduh. Hal
ini berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang mempengaruhi kehidupan
beragama umat Islam. Sesuai dengan QS. 6 : 79, Muhammad Abduh menyatakan bahwa
umat Islam tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau
kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah karena perbuatan
tersebut merupakan salah satu bentuk kesyirikan.
2.
Reformasi, pada bagian ini Muhammad
Abduh memfokuskan reformasi pendidikan tinggi Islam pada universitas
almamaternya, yaitu al-Azhar. Bagi Muhammad Abduh, kewajiban untuk mempelajari
ilmu tidak hanya terbatas pada materi yang bersumber dari buku-buku
klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela islam. Tetapi
juga, ilmu pengetahuan yang mempelajari sains-sains modern, sejarah dan agama
Eropa, dengan tujuan untuk mengetahui sebab-sebab kemajuan yang telah dicapai
oleh dunia Eropa.
3.
Pembelaan Islam. Dalam buku Risalah
Al-Tauhidnya, Muhammad Abduh mempertahankan Identitas Islam dengan seluruh
kemurnian ajarannya . Adapun bukti pembelaan Islam yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh adalah dengan tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham
filsafat anti agama yang marak di Eropa, dan lebih fokus untuk
mengatasi serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4.
Reformulasi, yaitu
Muhammad Abduh membuka kembali pintu
Ijtihad dengan alasan bahwa umat Islam mengalami
kemunduran disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan
eksternal. Tujuan reformulasi yang dilakukan oleh Muhammad Abduh adalah untuk
menegaskan bahwa umat Islam harus bangkit dari tidur panjangnya dengan
memaksimalkan fungsi akal pikirannya.
Lebih lanjut, Wahyuddin Nur Nasution
dalam tulisannya yang berjudul Muhammad Abduh dan Pembaharuan Pendidikan,
ia mengungkapkan bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini, terutama
diarahkan kepada al-Azhar yang merupakan jantung intelektual umat Islam
khususnya Mesir, yang pada waktu itu secara umum sedang dilanda taklid, jumud,
dan khurafat. Selagi menjalankan tugasnya sebagai
hakim, ia berusaha sungguh-sungguh membawa perbaikan di Universitas al-
azhar yang sejak lama telah menjadi idamannya.[10]
Kemudian menurut Hasan Asari dalam
bukunya yang berjudul Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan,
beliau menambahkan :
Dalam pandangan Muhammad Abduh, kurikulum al-Azhar
mem-butuhkan reformasi mendasar yang setidaknya melibatkan dua aspek :
a.
Perlu mengganti buku-buku pegangan:
kitab-kitab komentar (syarh) harus diganti dengan karya-karya yang lebih awal
dan orisinal, semacam muqaddimah. Kajian-kajian Islam klasik yang
terabaikan-seperti etika, sejarah, dan geografi- perlu diperkenalkan kembali.
Hal ini ditujukan untuk menghidupkan kembali intelektualisme Islam seperti
zaman klasik.
b.
Memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam
kurikulum untuk menjamin bahwa al-Azhar tidak terus menerus menjadi “ lembaga
yang aneh atau Museum Zaman Pertengahan Islam “.[11]
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al-Azhar:
Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan, mengungkapkan bahwa Muhammad
Abduh menyampai lima proposal reformasi dalam al- Alzar. Pertama,
mengubah dari system halqoh menuju system kelas yang terjadwal. Kedua,
melaksanakan
ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis
setiap pelajar. Ketiga, menggunakan buku-buku primer yang ditulis para
ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada menggunakan buku-buku
sekunder yang ditulis oleh sebagian guru. Keempat, memperkaya kurikulum
dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah
keilmuan al-Azhar. Kelima, sentralisasi perpustakaan.[12]
Dari segi kurikulum ada dua katagori yang diajarkan di
al-Azhar pada masa itu, seperti yang dinyatakan oleh Bayard Dodge dalam bukunya
al-Azhar, A Millennium of Muslim Learning. This same law divided the
coursesbof study into the following catagories. In the first place there were
the Objects of Study, or al-maqasid, which included theology, religious ethics,
legal studies, the origins of the law, commentary and tradition. The second
category was the Means of Study, or al-wasail, including the two kinds of
grammar called al-nahw and al-sarf, the three kinds of thretoric known as
al-ma’ani, al-bayan and al-badi’, logic, the technical terms of tradition
called mustalah al-hadith, arithmetic, algebra, prosody, or al-arud, and rhyme
known as al-qawafi. Students were also entitled to study other courses, such as
Islamic history, composition, elocution, language and literature, and
elementary geometry. [13]
D.
Kesimpulan\
Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang
perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri,
sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi
melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.
Muhammad Abduh berguru kepada Jamaluddin al- Afghani, seorang yang dikenal
dalam dunia Islam sebagai mujahid dan mujaddid, ia juga ulama yang alim.
Muhammad Abduh mengagumi ilmu dan cara berfikir Jamaluddin yang modern,
sehingga ia belajar padanya, bahkan saat pengasingannya di Beirut, Jamaluddin
mengundang Muhammad Abduh untuk bersamanya berjuang di Perancis, menyebarkan
semangat perjuangan dan pembaharuan melalui penerbitan majalah. Walaupun pada
akhirnya penerbitan itu ditutup oleh Pemerintah Perancis karena dianggap
berbahaya. Dan sikap berani Muhammad Abduh untuk lebih konsentrasi pada
pembaharuan pendidikan, membuatnya namanya dikenal sampai saat ini.
Pembaharuan pendidikan yang dilakukannya meliputi tujuan pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kepribadian, moral agama, yang dengannya diharapkan mampu menumbuhkan sikap politik, sikap sosial, jiwa gotong royong, dan semangat ekonomis. Selanjutnya di dalam sekolah agama harus diajarkan pengetahuan modern, dengan menggunakan metode pengajaran yang membuat murid tidak sekedar ingat tetapi juga memahami apa yang diajarkan dan tentu saja pembelajaran berlangsung dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti, di samping itu dengan pengelolaan wakaf, Muhammad Abduh mampu menggaji guru dengan gaji dan layak. Kemudian khusus untuk al- Azhar, perubahan ditemukan dengan adanya peraturan yang memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur.
DAFTAR PUSTAKA
Bakir
Ihsan, (2005), Ensiklopedia Islam Jilid I, Jakarta, PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Asnil
Aida Ritonga (Editor) , (2008), Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus
Sejarah, Bandung, Citapustaka Media Perintis.
Arbiyah
Lubis, (1993), Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh :
Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, PT.Bulan Bintang.
Arif
Munandar Riswanto, (2010), Buku Pintar Islam, Bandung,
Mizan Media Utama.
Bayard
Dodge, (1961), AL-Azhar, A Millennium of Muslim Learning, The
Middle East Institute, Washington, D.C.
Harun
Nasution, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta,
UI-Press.
Hasan
Asari, (2007), Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan
, Bandung, Citapustaka Media.
Kementrian
Urusan Agama Islam, (1990), Al-Qur’an Dan Terjemahan , Arab
Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-haf,.
Muhammad
Abduh, ( 1992), Risalat’ut Tauhid, Risalah Tauhid, Firdaus AN,
Jakarta, PT. Bulan Bintang.
Mukti
Ali, (1995), Alam Pemikiran Islam Modern Timur Tengah, Jakarta,
Djambatan,
M.
Quraish Shihab, (1994), Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad
Abduh dan M. Rasyid Ridha, Bandung: Pustaka Hidayah.
Nurcholis
Madjid, (1989), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung,
Mizan.
Said
Ismail, (2010), Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh,
Jakarta, Pustka Al-Kautsar.
Samsul
Nizar, (2007), Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta, Kencana.
Suwito,
(2008), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana.
Toto
Suharto, (2006), Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Arruzz.
Zuhairi
Misrawi, (2010), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
[1]. Suwito, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana, 2008) h. 174-175
[2] .Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993) h.194 - 195, Lihat juga Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h.248
[3] .Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, ( Jakarta, UI-Press, 1987) h. 24.
[4] .Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, h.420
[5] .Ramayulis
& Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta:Quantum
teaching, 2005), h. 48
[6] . Said
Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta,
Pustka Al-Kautsar, 2010) , h. 164
[7] .Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 65.
[8] .
Kementrian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahan , (Arab
Saudi, Mujamma’ Al-Malik Fahd Li
Thiba’at Al-Mush-haf, 1990) h. 55 &. 673
[9] . Lihat
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh :
Suatu Studi Perbandingan, h.156-159
[10] . Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam
Dalam Buaian Arus Sejarah, h. 130
[11] .Lihat Hasan
Asari, Modernisasi Islam : Tokoh, Gagasan, dan Gerakan,
h.79
[12] .Zuhairi
Misrawi, Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan,
(Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2010) h. 202-203.
[13] .Bayard
Dodge, AL-Azhar, A Millennium
of Muslim Learning, The Middle East Institute,
(Washington, D.C, 1961), h. 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar