Dr (Can) Ebing Karmiza, S.Ud, M.Si
Di tengah gelombang krisis
nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada
perubahan sosial saat ini, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
menghadapi krisis nilai-nilai kultural tersebut. Pendidikan harus memiliki mutu
agar dapat menghadapi permasalahan tersebut, dengan demikian pendidikan harus
meningkatkan profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan karena
kehadiran guru dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang penting, peran
guru belum dapat digantikan oleh teknologi seperti radio, televise, tape
recorder, internet, computer maupun teknologi yang paling modern. Banyak unsur
manusiawi yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang hanya didapatkan dari
guru.
Kajian tentang profesionalisme guru
dan mutu pendidikan ini juga menarik untuk dibahas karena antara
profesionalisme guru dengan mutu pendidikan ini sangat erat sekali kaitannya.
Guru yang profesional akan menciptakan mutu pendidikan yang bagus dan
sebaliknya guru yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya akan
menjatuhkan mutu pendidikan.
Berikut ini beberapa hal yang
mendorong pentingnya profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata dalam bukunya kapita selekta pendidikan
Islam.
1. Setelah lebih lima
puluh tahun Indonesia merdeka, barulah timbul perhatian yang sungguh-sungguh
dari pemerintah republik Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Perhatian ini antara lain dilakukan melalui perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun
1989 tentang system pendidikan Nasional, dan ditetapkannya anggaran pendidikan
20 % dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN), juga keluarnya
undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, peraturan pemerintah
republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,
peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 47 tahun 2008 tentang guru,
ditetapkannya berbagai paradigma baru: visi pendidikan nasional, kurikulum
pendidikan, proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Semua itu pada intinya
ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Munculnya berbagai
kebijakan pemerintah tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan penuh
tanggung jawab oleh para penyelenggara pendidikan, pemangku kepentingan,
stakeholder dan sebagainya, dan bukan hanya sekedar untuk mengejar kenikan gaji
dan tunjangan.
2. Para ahli pendidikan
pada umumnya sepakat, bahwa peningkatan mutu pendidikan sebagaimana tersebut di
atas pada akhirnya bermuara kepada tersedianya tenaga pendidik (guru dan dosen)
yang bermutu. Tersedianya dana yang besar, sarana dan prasarana yang lengkap,
serta berbagai komponen pendidikan lainnya yang serba baru, belum menjamin
tercapainya tujuan peningkatan mutu pendidikan, jika mutu pendidikannya tidak
ditingkatkan. Pernyataan ini mengingatkan tentang pentingknya meningkatkan mutu
pendidik sebagai upaya strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Kesadaran peningkatan mutu tenaga pendidik ini sekarang sedang tumbuh, dan
karenanya perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
3. Tenaga pendidik yang
bermutu dan professional antara lain wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi tersebut meliputi
kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi
professional yang dperoleh melalui pendidikan profesi. Hal ini mengingatkan
tentang pentingnya dilakukan pendidikan profesi keguruan yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi. Kebijakan ini ditempuh, mengingat bahwa pembina mutu tenaga
pendidik bukanlah perkara yang mudah.
Selain dari beberapa hal di atas,
perlunya peningkatan profesionalisme guru juga disebabkan bahwa guru merupakan
pendidik yang kehadirannya dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang
penting, peranan guru itu belum dapat digantikan oleh teknologi seperti
televisi, tape recorder, internet, computer maupun teknologi yang paling modern.
Banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai, perasaan, motivasi,
kebiasaan dan keteladanan, yang diharapkan dari hasil proses pembelajaran yang
tidak dapat dicapai kecuali melalui pendidik.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka pentingnya profesionalisme guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan merujuk kepada berbagai undang-undang peraturan, berbagai kebijakan
pemerintah, berbagai referensi kependidikan, hasil pengamatan dan pengalaman,
tulisan ini akan mencoba menawarkan sebuah usulan tentang langkah-langkah
strategis dalam membina mutu guru agar menjadi guru yang profesional, dengan
terlebih dahulu mengemukakan pengertian profesionalisme guru dan
isyarat-isyarat ayat al Quran dan Hadis tentang perlunya peningkatan mutu profesionalitas.
B. Pengertian
Profesionalisme Guru
Guru dan profesinya tidak dapat dipisahkan. Sebutan istilah guru
dipergunakan terkait dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal
ini terkait dengan kegiatan mengajar dan mendidik. Pekerjaan mengajar dan
mendidik merupakan sebuah profesi.
1. Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang
memerlukan keahlian khusus yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang, secara
rinci Imran Manan dalam buku karangan Dra. Afnibar, menyatakan:
Profesi adalah kedudukan atau
jabatan yang memerlukan ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh
sebagian lewat pendidikan atau perkuliahan yang bersifat teoritis dan disertai
dengan praktek, diuji dengan sejenis bentuk ujian baik diuniversitas atau
lembaga yang diberi hak untuk itu dan member kepada orang-orang yang memilikinya
(setifikat, lisence, brevet) suatu kewenangan tertentu dalam hubungannya dengan
kliennya.
Mc. Culy dalam Afnibar menyatakan
bahwa profesi adalah pekerjaan yang senantiasa menggunakan teknik dan prosedur
yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja,
terencana dan kemudian secara langsung dipergunakan demi kepentingan umum.
Dalam arti lebih luas Sikun Pribadi dalam Afnibar menyatakan:
Profesi itu pada hakikatnya adalah
suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan
dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang
tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Terkait dengan definisi tersebut,
Sikun Pribadi, selanjutnya menyatakan profesi itu adalah suatu lembaga yang
mempunyai otoritas yang otonom, karena didukung oleh beberapa criteria:
a.
Spesialisasi
ilmu sehingga mengandung arti keahlian;
b.
Kode etik yang
direalisasikan dalam melaksanakan profesi, karena hakikatnya ialah pengabdian
kepada masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri;
c.
Kelompok yang
tergabung dalam profesi, yang menjaga jabatan itu dari penyalahgunaan oleh
orang-orang yang tidak kompeten dengan pendidikan serta sertifikasi mereka yang
memenuhi syarat-syarat yang diminta;
d.
Masyarakat luas
yang memafaatkan profesi tersebut;
e.
Pemerintah yang
melindungi profesi dengan undang-undangnya.
Lebih lanjut Moh. Ali dalam bukunya
Afnibar mengemukakan syarat-syarat profesi:
a.
Menuntut adanya
keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
b.
Menekankan pada
suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya
c.
Menuntut adanya
tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
d.
Adanya kepekaan
terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
e.
Memungkinkan
perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
f.
Memiliki kode
etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
g.
Memiliki
klien/objek layanan yang tetap seperti dokter dengan pasiennya guru dengan
muridnya.
h.
Diakui oleh
masyarakat karena memang diperlukan jasanya di masyarakat.
Dari kedua pendapat ahli di atas,
terdapat persamaan dalam aspek spesialisasi, kode etik, organisasi profesi, dan
pemakai jasa. Hal tersebut memperlihatkan persamaan persepsi dalam memandang
arti profesi, sekalipun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut melengkapi
dari pengertian profesi.
2. Pengertian Profesi
Guru
Berdasarkan uraian tentang
pengertian profesi di atas, maka dapat dianalisis tentang pengertian profesi
guru. Profesi guru dalam keputusan National Education Association (NEA) dalam
Afnibar dinyatakan syarat-syarat guru yaitu:
Melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka) memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, yang menentukan standarnya sendiri, mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi dan mempunyai organisasi profesi yang kuat dan terjalin erat.[9]
Dari keterangan di atas, dapatlah
dianalisis keterkaitan persyaratan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi:
a.
Pekerjaan
sebagai guru memerlukan pendidikan khusus yaitu melalui Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK);
b.
Memberi manfaat
pada masyarakat yakni mendidik sumber daya manusia yang berkualitas;
c.
Memiliki kode
etik yaitu kode etik profesi guru;
d.
Memiliki subjek
sasaran yang jelas yaitu para siswa di sekolah;
e.
Keberadaannya
sangat dibutuhkan dan diakui oleh masyarakat dan memiliki organisasi profsi,
yakni organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dengan demikian
jelaslah pekerjaan guru adalah suatu profesi.
3. Guru yang Profesional
dalam Perspektif Islam
Untuk menjadi guru yang professional
tidaklah mudah karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan.
Kompetensi dasar bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot
potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Hal tersebut karena potensi
merupakan tempat dan bahan untuk memproses semua pandangan sebagai bahan untuk
menjawab semua rangsangan yang datang darinya.
W. Robert Houston mendefinisikan kompetensi
adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. Definisi ini mengandung arti
bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri menguasai sejumlah pengetahuan,
keterampian dan kemampuan khusus yang terkait dengan profesi keguruan, agar ia
dapat menjalankan tugasnya dengan baik, serta dapat memnuhi keinginan dan
harapan peserta didik.
Dalam buku Bukhari Umar dijelaskan
bahwa pendidik Islam yang professional harus memiliki kompetensi yang lengkap,
meliputi:
a.
Penguasaan
materi al islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama
pada bidang yang menjadi tugasnya.
b.
Penguasaan
strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk
kemampuan evaluasi.
c.
Penguasaan ilmu
dan wawasan kependidikan.
d.
Memahami
prinsip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keprluan
pengembangan pendidikan Islam di masa depan.
e.
Memiliki
kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung
kepentingan tugasnya.
Di Indonesia, masalah kompetensi
pendidik, terutama guru selalu dikembangkan. Dalam kebijakan Peraturan
Pemerintah No. 74/2008 tentang guru, Bab II, Pasal 2 ditegaskan bahwa guru
wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, seerta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan Nasional. Uraian tentang kompetensi dimaksud adalah sebagai berikut.
Kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesi
yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Pedagogik merupakan
kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang
sekurang-kurangnya meliputi:
a.
Pemahaman
wawasan atau landasan kependidikan;
b.
Pemahaman
terhadap peserta didik;
c.
Pengembangan
kurikulum atau silabus;
d.
Perancangan
pembelajaran;
e.
Pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f.
Pemanfaatan
teknologi pembelajaran;
g.
Evaluasi hasil
belajar; dan
h.
Pengembangan
peseta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian
sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang:
a.
Beriman dan
bertakwa
b.
Berakhlak mulia
c.
Arif dan
bijaksana
d.
Demokratis
e.
Mantap
f.
Berwibawa
g.
Stabil
h.
Dewasa
i.
Jujur
j.
Sportif
k.
Menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat
l.
Secara objektif
mengevaluasi kinerja sendiri, dan
m.
Mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi social merupakan
kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi
kompetensi untuk:
a.
Berkomunikasi
lisan, tulis atau isyarat secara santun
b.
Menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
c.
Bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan
satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik
d.
Bergaul secara
santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan system nilai yang berlaku,
dan
e.
Menerapkan
prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan
kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, atau seni dan budaya yang diampu, yang sekurang-kurangnya meliputi
penguasaan:
a.
Materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu,
b.
Konsep serta
metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan pelajaran,
dan kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
C. Isyarat al Quran
tentang Profesionalisme Guru
Di dalam al Quran surat an Nisa,
ayat 58 Allah menyatakan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hokum di
antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah maha
member pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha
mendengar lagi maha melihat.”
Dengan mengutip hadits Rosulullah SAW
yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Imam al-Maraghi, berpendapat, bahwa ayat
tersebut turun berkenaan penyerahan kunci ka’bah dari Rosulullah SAW kepada
Usman Ibn Thalhah pada peristiwa Fathul Makkah. Pada saat itu ada di antara
keluarga nabi Muhammad SAW, seperti Ali Ibn Abi Thalib, al Abbas yang ingin
mendapatkan kepercayaan mengurusi kunci ka’bah tersebut. Namun, nabi Muhammad
SAW tetap menyerahkan kunci ka’bah itu kebada Usman Ibn Thalhah, karena ia
dianggap lebih ahli, berpengalaman dan professional dibandingkan yang lain.
Selanjutnya Imam Bukhari salah
seorang penghimpun hadis yang sangat terkenal dan disegani, mengungkapkan bahwa
sebelum hijrah ke Madinah, nabi ingin sekali memasuki ka’bah untuk beribadah.
Ia meminta Usman Ibn Thalhah memberikan kunci ka’bah tersebut agar beliau dapat
membukanya. Tetapi Usman menolak memberikan kunci ka’bah tersebut. Waktu terus
bergulir, dan Nabi berhasil menakhlukkan Mekkah dan menguasai ka’bah dan
mengambil kuncinya dari Usman Ibn Thalhah. Namun, setelah beliau beribadah di
dalam ka’bah, beliau menyerahkan kembali kunci ka’bah tersebut kepada Usman Ibn
Thalhah, sekalipun di antara sahabat dan keluarga dekat Nabi menginginkan
diserahi kunci ka’bah tersebut.
Dari ayat 58 surat al Nisa berserta
penjelasan tentang asbab nuzul-nya sebagaimana tersebut di atas, terdapat
beberapa catatan penting dalam hubungannya dengan profesionalisme sebagai
berikut.
Pertama, seorang tenaga yang
professional adalah seorang yang bersifat al amin (dipercaya), al hafiz (dapat
menjaga amanah), dan al wafiya (yang merawat sesuatu dengan baik). Imam al
Maraghi lebih lanjut mejelaskan makna amanah yang terdapat pada ayat tersebut
menjadi tiga bagian, yaitu amanah al abd ma’a rabbihi, amanah al abd ma’a al
naas, dan amanah al abd ma’a nafsihi. Amanah al abd ma’a rabbihi adalah sesuatu
yang harus dijaga dan dilaksanakan oelh seorang hamba terhadap Tuhannya,
seperti memelihara segala perintahnya dan menghentikan segala yang dilarangnya
serta mengamalkan syariatnya dalam rangka mendapatkan manfaat dan mendekatkan
diri kepadanya. Sedangkan amanah al abd ma’a al naas adalah sesuatu yang harus
dijaga dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap orang lain, seperti seorang
pemimpin yang berbuat adilterhadap rakyatnya, seorang ulma yang berbuat adil
terhadap orang-orang awam dan menunjukinya kepada aqidah yang benar, berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat dengan jalan
memberikan pendidikan yang baik dan usaha yang halal. Selanjutnya amanah al abd
ma’a nafsihi, adalah seseorang yang menggunakan potensi dan kompetensinya hanya
untu sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan baginya di dunia dan
di akhirat, menjaga dirinya dari hal-hal yang merugikan, memelihara diri dari
berbagai penyakit dan mempelajari ilmu kesehatan.[20] Dengan demikian, tugas
pendidik adalah termasuk amanah al abd ma’a al naas. Pandangan mendidikan
sebagai amanah ini perlu dimiliki oleh seorang guru yang professional, sehingga
tidak kehilangan visi dan spirit transendentalitas, yakni pandangan dan
semangat, bahwa mendidik adalah merupakan amanah yakni sesuatu yang harus
dijaga dan dilaksanakan sebagai panggilan Tuhan. Visi dan spirit ini perlu
dijaga, agar para pendidik tidak tergoda oleh hal-hal yang bersifat
materialistic dan hedonistic yang merupakan pangkal kehancuran dan kejatuhan
mutu pendidikan. Praktik jual beli nilai, jual beli gelar, membocorkan soal
ujian Negara, dan lain yang merusak mutu pendidikan terjadi disebabkan
hilangnya visi dan spirit mendidik sebagai amanah.
Kedua, seorang tenaga pendidik
professional dalam pandangan Islam adalah seorang pendidik yang memiliki
keahlian. Kepercayaan yang diberikan oleh Rosulullah SAW kepada Usman Ibn
Thalhah untuk menjaga kunci ka’bah tersebut, karena Usman Ibn Thalhah sudah
teruji keahliannya secara bertahun-tahun. Nabi Muhammad SAW tidak terpengaruh
untuk menyerahkan kunci ka’bah tersebut kepada orang lain termasuk keluarga dan
sahabat dekatnya yang belum teruji keahliannya. Walaupun demikian kuat desakan
sahabat dan keluarga Nabi tersebut menyerahkan kunci ka’bah kepadanya, namun
Nabi Muhammad SAW tetap tidak tergoyahkan. Nabi Muhammad SAW tetap
professional, tidak tergoyahkan untuk bertindak kolusi atau nepotisme, sehingga
dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW menegaskan:
Jika suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinyam maka tunggulah
kerusakannya.
Jatuhnya mutu pendidikan di
Indonesia saat ini antara lain, karena banyak tenaga guru yang tidak memiliki
keahlian, namun berani tampil sebagai pendidik. Kerusakan dan jatuhnya mutu
pendidikan yang disebbakna oleh guru yang tidak ahli ini masih banyak terjadi.
Mereka yang tidak memiliki keahlian berani mengajar, karena kerusakan mutu
pendidikan yang disebabkan guru tidak ahlli tersebut tidak terjadi seketika,
melainkan setelah dua puluh lima tahun pendidikan tersebut dilakukan. Hal ini
berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter, yang apabila salah
dalam melakukan diagnose dan terapi, akibatnya langsung dapat dilihat pada
pasiennya. Karena itu, seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang
dokter tidak berani melakukan praktik medis, sedangkan mereka yang tidak
memiliki keahlian dalam bidang pendidikan tetap berani melakukan tugas
mendidik, karena akibatnya bersifat jangka panjang. Karena itu pendidik ada
lembaga pengawas yang memonitor dan mengawasi adanya guru-guru yang tidak
memiliki keahlian, namun tetap mendidik. Institusi perhimpunan wali murid,
seperti majelis madrasah atau komite sekolah harus mengawasi praktik guru yang
tidak memiliki keahlian yang berani melakukan tugas pendidikan.
Ketiga, seorang pendidik yang
professional dalam pandangan Islam adalah seorang yang bertindak adil, yakni
memberikan hak kepada yang memilikinya dengan cara yang paling efektif atau
tidak berbelit-belit. Kebencian terhadap seseorang karena kejelekan misalnya,
tidak boleh sampai menghalanginya untuk memberikan sesuatu yang menjadi
halknya. Kejengkelan seseorang guru terhadap muridnya, karena tingkahlakunya,
tidak boleh mengurangi nilai ujian, perhatian, dan kasih sayang kepadanya. Ini
sesuatu yang berat, tapi itulah sikap profesional.
D.
Langkah-langkah Mencetak Guru Profesional
Perhatian terhadap pembinaan guru
yang profesioanl merupakan agenda yang sudah berlangsung sejak nabi Adam AS,
zaman dinasti dan kerajaan di India, Cina, Persia, Mesir Kuno, Yunani dan
seterusnya. Di Indonesia, perhatian terhadap pembinan guru professional sudah
dilaksanakan sejak zaman kerajaan Hindu, Budha, zaman kerajaan-kerajaan Islam,
zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde lama, Orde baru, era reformasi sekarang.
Pembinaan guru yang professional tersebut disesuaikan dengan kenutuhan zaman.
Pembinaan guru professional di orde
lama dan orde baru misalnya, tampak lebih baik dari masa sekarang. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, di masa orde lama dan orde
baru, setiap orang yang ingin menjadi guru harus lulusan pendidikan keguruan.
Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ada pula program D-II
PGSD (Pendiidkan Guru Sekolah Dasar), D-III PGSM (Pendidikan Guru Sekolah
Menengah). Selanjutnya untuk guru MI ada pendidikan Guru agama 4 tahun (PGA 4
Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah ada pendidikan guru agama 6 tahun
(PGA 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM dapat melanjutkan ke IKIP (Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan PGA 6 Tahun dapat melanjutkan
ke fakultas tarbiyah. Dengan demikian, mereka yang masuk ke fakultas keguruan
(IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki teori dan praktik ilmu keguruan yang
matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini tidak ada lagi, sehingga input
yang masuk ke fakultas keguruan tidak memiliki bekal ilmu dasar keguruan yang
memadai. Untuk itu sekolah-sekolah keguruan tersebut perlu dipertimbangkan
untuk dihidupkan kembali.
Kedua, guna memperoleh kompetensi
akademik dan peadagogik yang matang, seharusnya pola pembinaan tenaga guru
dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara fakultas-fakultas non keguruan
dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru bidang fikih misalnya,
sebaiknya tamatan S-I Fakultas Syari’ah, kemudian mengikuti pendidikan profesi
keguruan di fakultas tarbiyah. Demikian pula untuk mendapatkan guru yang mahir
dalam bidang tafsir, diambil dari jurusan tafsir, guru yang mahir dalam bahasa Arab
diambil dari fakultas Dirasah Islamiah atau fakultas Adab jurusan sastra Arab
yang kemudian mengikuti pendidikan profesi keguruan di fakultas Tarbiyah. Untuk
itu perlu adanya kolaborasi antara fakultas-fakultas non keguruan dengan
fakultas keguruan.
Ketiga, bahwa tenaga pengajar pada
pendidikan profesi sebaiknya kaum profesional yang selain memiliki keahlian,
kemahiran dan kecakapan, juga memiliki pengalaman praktis di bidangnya. Guru
senior yang berprestasi kiranya lebih tepat diposisikan sebagai kaum
profesional untuk mengajar pendidikan profesi guru. Berkenaan dengan ini Ki
Supriyoko berpendapat, bahwa kaum professional wajib hukumnya menjadi tenaga
pengajar dalam pendidikan profesi guru. Jangan sampai tenaga pengajar dalam
program ini didominasi akademisi, meskipun mereka bergelar doctor atau
professor. Jika hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ada ubahnya
dengan pendidikan akademik sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya.
Keempat, bahwa pendidikan calon guru professional seharusnya dilakukan melalui system guru berjenjang dan berantai. System ini dijumpai pada pendidikan gratis untuk orang miskin sebagaimana dijumpai di pesantren. Pada tahun 70-an, pesantren Jauharun Naqiyah menerapkan system guru berjenjang dan berantai ini. Caranya, seorang murid yang cerdas dan pandai dari tingkat Tsanawiyah misalnya diberi kepercayaan mengajar murid Ibtidaiyah; dan seorang murid yang cerdas dan pandai di tingkat Aliyah diberi kesempatan mengajar di tingkat Tsanawiyah; dan selanjutnya para murid Aliyah belajar kepada Kiyai. Dengan cara ini banyak keuntungan yang didapat. Dengan system ini, seorang murid tidak hanya menguasai ilmunya dengan baik juga memperoleh pengalaman mengajar, memperoleh pengakuan terhadap ilmunya, menimbulkan rasa percaya diri, menumbuhkan keikhlasan dan terlaksana program pendidikan gratis bagi orang-orang yang kurang mampu. Pengalaman pengajar selama bertahun-tahun jauh lebih matang daripada pengalaman mengajar hanya satu semester pada Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksakan di fakultas-fakultas keguruan. Dalam rangka pembinaan mutu tenaga professional, system guru berantai dan berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan ada ahli pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil melaksanakan tugasnya mengajar. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman yang lama saja belum menjamin terciptanya guru yang professional. Seseorang mungkin memiliki pengalaman sepuluh tahun itu secara peadagogik atau ilmu keguruan bertentangan dengan prinsip-prinsip pengajaran yang didasarkan pada teori pendidikan yang sahih.
E. Penutup
Berdasarkan uraian makalah di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Bahwa pembinaan
tenaga guru yang profesional perlu dilakukan, karena guru yang profesional yang
akan medukung peningkatan mutu pendidikan.
2.
Guru yang
professional dalam pandangan Islam selain memiliki kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial dan akademik, juga harus didasarkan visi dam spirit ajaran
Islam, sehingga memiliki makna ibadah kepada Allah SWT, dan terhindar dari
pengaruh materialism dan hedonism yang menjadi sebab jatuhnya mutu pendidikan.
3. Dalam rangka meningkatkan guru profesional, perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah keguruan, kolaborasi antara fakultas non keguruan dan keguruan, melibatkan kaum profesional sebagai tenaga pengajar pada pendidikan profesi keguruan, dan dengan menerapkan system magang, konsep guru berantai dan berjenjang, serta tutor teman sebaya yang dimonitor, disupervisi dan dibina oleh guru senior berpengalaman dan profesional dalam mendidik calon-calon guru.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
________, Pendidikan dalam Kisah Mulia,
Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2008, cet. I
Afnibar,
Memahami Profesi dan Kinerja Guru Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005
Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, al-Mujallid al-Tsani, Beirut: Da al Fikr, tp.th.
Bukhari
Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010
LIhat
Ki Supriyoko, Problematika Pendidikan Profesi Guru, Kompas, Jum’at 31 oktober
2008
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Rostiah
NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara, 1982
Sayyid
Ahmad al Hasyim Bek Mukhtar al Ahadis al Nabawiyah a al Hukm al Muhammadiyah,
Mesir: Mathba’ah Hijaziy bi al Qahirah 1367H/1958, Cet. IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar